[CERPEN] Karena Aku Perempuan

Karena aku ini perempuan...

“Brrrr... Kutub selatan pindah ke sini,” celetukku sembari meraih kamera dan syal dari dalam tenda.

Dieng masih subuh dan suhunya hanya lima derajat Celcius, cukup untuk sekadar membuat telapak kakiku beku. Tapi aku harus bergegas meninggalkan tenda demi bisa menyaksikan golden sunrise di Bukit Sikunir. Padahal jika sedang di rumah, sepagi ini aku pasti masih meringkuk di balik selimut, berkali-kali mematikan alarm yang sibuk berteriak membangunkanku dari mimpi panjang.

“Kita kesiangan nggak, sih?” tanyaku pada Bayu yang berjalan beberapa langkah di depanku.

“Mungkin. Soalnya rombongan yang ada di depan kita tadi sudah jauh di depan sana,” sahutnya sembari menunjuk jauh ke dalam kegelapan yang ada di hadapannya. Jalan setapak serupa lorong hitam yang entah berujung di mana.

Gelap, hanya itu yang bisa kulihat. Tapi aku mengangguk, seolah mengiyakan apa yang dikatakan Bayu. Satu hal yang aku tahu, jalan yang sedang kami lalui ini akan mengantarkan kami ke puncak Bukit Sikunir.

Bayu membuat penerangan dengan ponselnya. Mempersilakanku untuk berjalan di depannya, supaya aku bisa mendapatkan penerangan yang cukup katanya. Pria ini tahu kalau daya ponselku sudah habis sejak semalam, jadi aku tidak punya penerangan yang cukup memadai. Meskipun pada kenyataannya penerangan ponselpun masih belum mampu menembus kegelapan. Ditambah lagi kabut tampak menyelimuti jalanan yang kami lalui.

Jalanan yang mulus perlahan berubah menjadi terjal dan menanjak. Bayu mendahului langkahku, mengulurkan tangannya untuk membantuku yang sama sekali tidak kesulitan.

“Nikah yuk,” celetuknya saat aku meraih tangannya.

“Yuk! Tapi setelah aku lulus S2.”

“Kenapa harus S2, kamu sekarang bahkan belum lulus S1. Sudahlah, nggak usah lanjut S2 ya.”

“Kenapa? Karena aku perempuan yang nanti kerjanya di dapur?” aku balik bertanya, menghentikan langkahku sembari melemparkan tatapan tajam ke arah Bayu. Meskipun tentu tidak terlihat dengan jelas dalam kegelapan.

Bayu tidak menyahut, hanya menyunggingkan senyumnya sambil melemparkan pandangan ke rombongan yang berada tidak jauh di belakangnya. Seolah menyembunyikan fakta bahwa dia mengiyakan tuduhanku atas pemikirannya. Aku membiarkannya kembali memimpin perjalanan, “Kamu tahu Bay? Aku benci laki-laki yang menganggap enteng perempuan.”

“Pendidikan itu sangat penting bagiku, Bay. Karena aku ini perempuan, yang nantinya akan menjadi guru pertama bagi anak-anakku. Jadi, aku mau anak-anakku mendapatkan yang terbaik.” Aku berhenti sejenak memasang sarung tangan yang sedari tadi hanya kusimpan di dalam saku jaket.

“Perempuan itu tugasnya tidak cukup satu, Bay. Akuntan pribadi yang harus pandai mengatur keuangan keluarga, guru pribadi untuk anak-anaknya, koki, dokter pribadi, bahkan penasehat. Semakin banyak yang diketahuinya, bukankah semakin baik dalam menjalankan perannya?”

“Tapi, aku kan cuma anak SMK, Rein.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Memangnya kenapa? Kamu penganut paham perempuan pendidikannya nggak boleh lebih tinggi dari laki-laki? Kamu takut diremehkan? Takut jadi suami yang gajinya nggak lebih tinggi dari istri? Lucu!”

Mimik wajahnya berubah, “Ya, asal istrinya nggak tiba-tiba menggugat cerai karena alasan ekonomi. Nanti katanya suami nggak memberikan nafkah yang cukup atau semacamnya. Hal seperti itu menakutkan bagi laki-laki, Rein.”

“Itu tandanya memang nggak jodoh, Bay. Masih banyak kok perempuan yang nggak berpikiran seperti itu. Karena istri itu kan pendamping, jadi bukan ada di kepala atau di kaki suami. Tidak untuk mengendalikan atau mengambil peran suaminya, bukan juga untuk diperlakukan dengan cara yang tidak layak.”

Bayu hanya tersenyum, entah karena apa. Aku sendiri berlari-lari kecil saat melihat puluhan manusia sudah duduk berjajar di puncak Bukit Sikunir. Aku memilih berada di jalur tengah, bermaksud menghindari jurang karena medan yang masih tertutup kabut. Sementara Bayu berdiri di hadapanku, mulai sibuk memotret dengan ponselnya.

Aku melirik jam di tangan kanan Bayu, baru jam 5.10 WIB. Artinya, masih dua puluh menit lagi untuk bisa menyaksikan matahari terbit. Meskipun meragukan karena kabut cukup tebal dan belum ada tanda-tanda matahari akan menampakkan diri. Hanya gelap dan suhu sudah mencapai -2 derajat Celcius. Cukup untuk membuat tubuhku yang dibalut tiga buah jaket perlahan menggigil.

Aku berkali-kali mengubah posisi duduk setelah memastikan arah matahari terbit melalui kompas yang ada di ponsel Bayu. Naik ke tempat yang lebih tinggi, merebut posisi beberapa rombongan yang memutuskan untuk turun karena putus asa. Lima menit sebelum semburat keemasan mulai menampakkan diri dari balik kabut tebal. Golden sunrise Dieng!

Seketika kameraku berduet dengan ponsel Bayu untuk mengabadikan setiap inci cahaya matahari yang tampak. Perlahan tapi pasti, kabut mulai menghilang dan Gunung Prau tampak tinggi menjulang, gagah bersanding dengan matahari yang sudah tampak bulat.

Bayu mendekat, menarik tanganku ke belakang tubuhnya, “Turun yuk. Mataharinya sudah naik, tuh.”

Aku hanya mengekor di belakangnya, sambil sesekali memotret hal-hal menarik yang secara tidak sengaja kutemui. Sementara Bayu terlihat begitu serius memperhatikan jalanan yang sebenarnya tadi sudah kami lewati. Bedanya saat ini tampak lebih jelas karena sudah terang.

“Nanti beli carica sama tempe kemul dulu ya, Rein.”

Bayu sama sekali tidak melihat ke arahku saat mengucapkannya. Pria ini terkadang terasa sedingin Dieng, dalam situasi tertentu. Saat inipun begitu, mendadak dingin tanpa pemberitahuan dan penyebab yang jelas. Meskipun begitu, aku mengangguk mengiyakan apa yang baru saja dia katakan.

“Soal yang tadi, sepertinya aku nggak bisa menikah sama kamu,” ucap Bayu tiba-tiba, masih tanpa melihat ke arahku.

Aku tetap diam. Ingin rasanya aku menanggapinya dengan gelak tawa. Karena bagiku, bukan masalah jika dia memilih untuk meninggalkanku hanya karena opini yang sedari tadi kulontarkan. Toh, jika benar seperti itu, Tuhan sudah menunjukkan bahwa dia bukanlah lelaki yang cintanya patut kuperjuangkan.

“Seenggaknya sampai kamu berhasil meraih apa yang kamu inginkan. Tapi aku cuma bisa mendukungmu dengan cara seperti sekarang ini, tidak lebih.”

Bayu berbalik, tersungging senyum di bibirnya. Tangannya sibuk mengacak-acak rambutku yang memang sudah berantakan. Aku terkekeh, kulayangkan tamparan lembut ke pipinya. Dia selalu pintar membuat kejutan, dan itu selalu berhasil. Tak terkecuali hari ini.

Baca Juga: [CERPEN] Kota Ini Penuh dengan Binatang

Reksita Galuh Wardani Photo Verified Writer Reksita Galuh Wardani

Menulis adalah bekerja dalam keabadian - Pramoedya Ananta Toer

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya