Studi: Gejala Parah Pasien COVID-19 Omicron Jauh Lebih Rendah

Studi bandingkan pasien gelombang Beta, Delta, dan Omicron

Data baru dari Afrika Selatan menunjukkan penurunan yang signifikan dalam kasus virus corona penyebab COVID-19 varian Omicron. Dikatakan kalau jumlah pasien di rumah sakit dengan penyakit parah pada gelombang Omicron secara signifikan lebih rendah daripada gelombang virus sebelumnya.

Temuan yang dituangkan dalam laporan pracetak berjudul "Clinical Severity of COVID-19 Patients Admitted to Hospitals in Gauteng, South Africa During the Omicron-Dominant Fourth Wave" dan diterbitkan dalam jurnal The Lancet pada 29 Desember 2021. Berikut ini ulasan selengkapnya.

1. Penurunan secara signifikan gejala parah pada pasien COVID-19 di rumah sakit dibanding gelombang Beta dan Delta

Studi: Gejala Parah Pasien COVID-19 Omicron Jauh Lebih Rendahilustrasi varian baru COVID-19, Omicron (IDN Times/Aditya Pratama)

Penelitian melihat data 4 minggu pertama gelombang varian Omicron pada pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit di Gauteng, Afrika Selatan, lalu membandingkannya dengan periode yang sama untuk gelombang kedua (varian Beta) dan gelombang ketiga (varian Delta) pada pasien COVID-19 di Gauteng, Afrika Selatan.

Data yang dilihat adalah periode 29 November–26 Desember 2020 (gelombang varian Beta), 2 Mei–29 Mei 2021 (gelombang varian Delta), dan 14 November–11 Desember 2021 (gelombang varian Omicron).

Banyaknya kasus COVID-19 yang dilaporkan (yang dinyatakan positif) selama bulan pertama setiap gelombang di Gauteng menurut data adalah:

  • Gelombang varian Beta: 41.046
  • Gelombang varian Delta: 33.423
  • Gelombang varian Omicron: 133.551

Sementara itu, persentase orang-orang yang dites positif COVID-19 yang dirawat di rumah sakit adalah:

  • Gelombang varian Beta: 18,9 persen (7.774/41,046)
  • Gelombang varian Delta: 13,7 persen (4.574/33,423)
  • Gelombang varian Omicron: 4,9 persen (6.510/133.551)

Jumlah pasien COVID-19 di rumah sakit yang mengalami penyakit parah tercatat: 

  • Gelombang varian Beta: 60,1 persen (4.672/7.774)
  • Gelombang varian Delta: 66,9 persen (3.058/4.574)
  • Gelombang varian Omicron: 28,8 persen (1.276/4.438) [2.072/6.510 pasien = bukan hasil rumah sakit yang terdokumentasi saat penelitian = telah diserahkan]

Yang dikategorikan sebagai penyakit parah adalah gangguan pernapasan akut (ARDS), suplementasi oksigen, penggunaan ventilator, perawatan di unit perawatan intensif, dan kematian.

Persentase pasien yang butuh suplementasi oksigen:

  • Gelombang varian Beta: 39,4 persen (3.063/7.774)
  • Gelombang varian Delta: 48,8 persen (2.231/4.574)
  • Gelombang varian Omicron: 19,7 persen (875/4.438)

2. Juga ditemukan penurunan pada lama rata-rata masa rawat inap di rumah sakit

Studi: Gejala Parah Pasien COVID-19 Omicron Jauh Lebih Rendahilustrasi varian baru COVID-19, Omicron (IDN Times/Aditya Pratama)

Rata-rata masa inap pasien COVID-19 di rumah sakit juga menurun.

  • Gelombang varian Beta: 7 hari
  • Gelombang varian Delta: 8 hari
  • Gelombang varian Omicron: 4 hari

Baca Juga: Studi: Sel T Bendung Gejala Parah COVID-19 Varian Omicron

3. Meski begitu, ada kenaikan jumlah pasien usia di bawah 20 tahun

Studi: Gejala Parah Pasien COVID-19 Omicron Jauh Lebih Rendahilustrasi pasien dirawat di rumah sakit (IDN Times/Sukma Shakti)

Persentase anak-anak dan remaja usia di bawah 20 tahun yang dibawa ke rumah sakit (sebagai persentase dari total admisi) meningkat.

  • Gelombang varian Beta: 3,9 persen (306/7.774)
  • Gelombang varian Delta: 3,5 persen (161/4.574)
  • Gelombang varian Omicron: 17,7 persen (1.151/6.510)

Akan tetapi, persentase pasien COVID-19 rawat inap yang usianya di bawah 20 tahun dengan penyakit parah mengalami sedikit penurunan pada gelombang varian Omicron.

  • Gelombang varian Beta: 22,5 persen (69/306)
  • Gelombang varian Delta: 23,0 persen (37/161)
  • Gelombang varian Omicron: 20,4 persen (172/844)

Dijelaskan pula, sementara efektivitas SARS-CoV-2 dalam mencegah infeksi asimtomatik dipengaruhi oleh kemunculan varian-varian baru, tetapi vaksinasi telah mengurangi risiko penyakit parah dari varian-varian sebelumnya. Mengingat cakupan vaksinasi di Gauteng lebih tinggi pada individu usia di atas 60 tahun, itu mungkin berkontribusi penting pada rendahnya gejala parah pada infeksi varian Omicron, terutama pada kelompok lansia.

Akan tetapi, vaksinasi tidak dapat sepenuhnya menjelaskan jumlah infeksi parah yang jauh lebih rendah pada individu usia 29–39 tahun, karena kurang dari sepertiga dari kelompok usia ini yang divaksinasi.

Dua dari satu vaksin yang banyak digunakan di Afrika Selatan adalah Ad26.COV2.S dari Johnson & Johnson, yang menghasilkan antibodi yang lebih rendah tetapi respons sel T yang lebih baik. Peran dari vaksin ini dalam menurunkan keparahan penyakit tetapi tidak pada infeksi klinis perlu mendapat perhatian.

Pertimbangan lebih lanjut sehubungan dengan dampak vaksin adalah bahwa Afrika Selatan memulai vaksinasi lebih lambat dari kebanyakan negara-negara berpenghasilan tinggi. Sebagai akibatnya, sejumlah besar individu yang divaksinasi telah mengalami infeksi sebelumnya.

Vaksinasi pada mereka dengan infeksi alami sebelumnya mempertahankan netralisasi Omicron lebih tinggi daripada vaksinasi saja. Kombinasi kekebalan alami dan vaksinasi dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan infeksi Omicron yang lebih rendah.

4. Kesimpulan

Studi: Gejala Parah Pasien COVID-19 Omicron Jauh Lebih Rendahilustrasi bentuk virus SARS-CoV-2 (pexels.com/CDC)

Data tersebut menunjukkan bahwa pasien yang dirawat di rumah sakit pada bulan pertama gelombang Omicron di Afrika Selatan 73 persen lebih rendah kemungkinannya untuk mengalami penyakit parah, dibanding pasien yang dirawat selama bulan pertama gelombang varian Beta dan Delta.

Dikatakan oleh Salim Abdool Karim, salah satu peneliti, bahwa Omicron menyebabkan infeksi empat kali lebih tinggi daripada Delta pada sebulan pertama gelombang Delta. Namun, pasien yang dibawa ke rumah sakit pada gelombang Omicron kurang lebih seperempat dari gelombang Delta.

Sebagai informasi, temuan studi ini masih bersifat pracetak. Studi ini juga tidak dapat memberi tahu seberapa banyak efek penyakit akibat Omicron yang lebih ringan, disebabkan oleh virus yang kurang virulen (kurang ganas), vaksinasi dan/atau kekebalan masa lalu (terutama vaksinasi pada mereka yang pernah terinfeksi COVID-19).

Karena kombinasi virus yang kurang virulen, penyakit penyerta, kekebalan tinggi dari infeksi sebelumnya atau vaksinasi dapat menjadi kontributor pada gejala Omicron yang lebih ringan. Temuan penelitian ini belum tentu benar atau sama untuk negara-negara dengan profil komorbiditas yang berbeda, sebelum infeksi atau cakupan vaksinasi.

Baca Juga: Perbedaan Gejala Varian Omicron pada yang Sudah dan Belum Divaksinasi

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya