Sharmili Edwin Thanarajah et al., “Soft Drink Consumption and Depression Mediated by Gut Microbiome Alterations,” JAMA Psychiatry, September 24, 2025, https://doi.org/10.1001/jamapsychiatry.2025.2579.
"Hold the Diet Soda? Sweetened Drinks Linked to Depression, Coffee Tied to Lower Risk." American Academy of Neurology. Diakses Oktober 2025.
Studi: Minum Soda Bisa Tingkatkan Risiko Depresi pada Perempuan

- Studi di Jerman menemukan perempuan yang sering minum soda memiliki 17 persen risiko depresi lebih tinggi, sementara pada laki-laki tidak terlihat efek serupa.
- Peningkatan bakteri usus Eggerthella diduga jadi penghubung biologis antara soda, peradangan usus, dan depresi.
- Diet soda juga tidak aman; pemanis buatan dan pengawetnya berpotensi mengganggu kesehatan mental.
Efek buruk soda terhadap kesehatan fisik sudah lama diketahui. Minuman manis berkarbonasi ini terbukti meningkatkan risiko obesitas, diabetes tipe 2, penyakit jantung, bahkan dikaitkan dengan kanker.
Kini, sebuah studi terbaru menambahkan alasan lain untuk perempuan lebih waspada, bahwa minum soda terlalu sering dapat memicu pertumbuhan bakteri usus tertentu yang berhubungan dengan risiko depresi.
Studi baru ini menunjukkan bahwa kaitan antara minuman bersoda dan gejala depresi muncul melalui pengaruh mikrobioma. Mikrobioma sendiri adalah kumpulan triliunan bakteri, jamur, parasit, dan virus yang hidup berdampingan dalam tubuh manusia, terutama di usus.
Risiko lebih tinggi pada perempuan
Dalam penelitian yang melibatkan lebih dari 900 orang dewasa di Jerman, para peneliti menemukan kaitan yang jelas antara konsumsi soda dan diagnosis depresi. Hasilnya dipublikasikan dalam jurnal JAMA Psychiatry.
Namun, ada satu hal yang menarik: efek ini hanya terlihat pada perempuan.
Perempuan yang paling sering minum soda memiliki 17 persen lebih tinggi risiko depresi dibandingkan mereka yang jarang atau tidak mengonsumsinya. Selain itu, mereka juga cenderung melaporkan gejala depresi yang lebih parah, mulai dari kesedihan mendalam, pikiran untuk bunuh diri, rasa benci pada diri sendiri, hingga kelelahan ekstrem yang mengganggu aktivitas sehari-hari.
Mengapa cuma perempuan? Jawabannya belum pasti. Para peneliti menduga perbedaan hormonal atau reaksi sistem imun yang berbeda antara jenis kelamin mungkin berperan.
Kunci temuan ini ada pada bakteri usus bernama Eggerthella. Studi menemukan bahwa perempuan yang sering minum soda memiliki peningkatan signifikan jumlah bakteri ini.
Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa orang dengan depresi cenderung memiliki kadar Eggerthella yang lebih tinggi. Para peneliti menduga bakteri inilah penghubung biologis antara soda dan depresi.
Menurut para peneliti, terlalu banyak gula sederhana dalam soda mengganggu keseimbangan mikrobioma usus. Itu bisa melemahkan pertahanan usus, memicu peradangan, lalu berdampak ke otak.
Peradangan yang bermula di usus dapat meluas hingga ke sistem saraf pusat, memicu gejala depresi.
Bagaimana dengan soda diet?

Sayangnya, diet soda bukanlah solusi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa minuman rendah kalori dengan pemanis buatan juga bisa meningkatkan risiko masalah kesehatan mental.
Menurut para ahli, bahan tambahan dalam minuman bersoda, seperti pemanis buatan dan pengawet, bisa makin mengganggu keseimbangan mikrobioma usus dan berpotensi memengaruhi kesehatan mental.
Walaupun penelitian ini masih memiliki keterbatasan, yaitu semua peserta berasal dari Jerman, data makanan hanya berdasarkan laporan diri, serta sifat studi yang observasional, tetapi hasilnya menegaskan satu hal, bahwa pola makan bisa berperan besar dalam kesehatan mental.
Bahkan, depresi sendiri dapat membuat seseorang lebih suka makanan dan minuman manis, sehingga menciptakan siklus berulang yang sulit diputus.
Untuk memutus rantai itu, cobalah untuk mengurangi asupan minuman bersoda. Tidak perlu langsung berhenti total, tetapi coba perlahan beralih ke alternatif seperti teh tanpa gula, air mineral beraroma buah (infused water), atau sparkling water.
Referensi