Pameran Macaque Macabre Museum Macan, Angkat Budaya Minahasa

Jakarta, IDN Times - Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum MACAN) kembali hadirkan pameran yang menarik. Kali ini bertajuk Primate Visions: Macaque Macabre yang merupakan pameran perdana dari Seniman Natasha Tontey. Uniknya, pameran ini terinspirasi dari budaya masyarakat di Minahasa Selatan.
Dalam konferensi pers pameran Primate Visions: Macaque Macabre pada Kamis (14/11/2024) di Museum MACAN, Jakarta Barat, Natasha menjelaskan cerita di balik pameran perdananya ini. Simak lengkapnya di bawah ini, yuk!
1. Pameran ini menggambarkan hubungan antara monyet makaka jambul hitam dengan masyarakat adat setempat

Dalam karya pameran ini, Natasha menelusuri hubungan antara populasi monyet makaka jambul hitam asli Minahasa Selatan (yaki) dengan masyarakat adat setempat. Natasha menghadirkan karya berupa semesta fiksi berwujud film dan instalasi.
Instalasi ini semacam mempertanyakan hubungan simbiosis antara hewan dan manusia. Karya ini merupakan karya komisi untuk Audemars Piguet Contemporary, yang direalisasikan melalui kerja sama antara tim kuratorial internal dengan Tontey dan Museum MACAN.
"Primate Visions: Macaque Macabre berupaya untuk membongkar dan mengamati hubungan yang rumit dan kerap kontradiktif antara manusia dengan yaki, monyet makaka jambul hitam di Minahasa. Melalui fiksi spekulatif, saya berupaya menjelajahi dinamika yang saling terkait antara primatologi, ekofeminisme, dan teknologi," jelas Natasha Tontey.
2. Sebelumnya, Natasha melakukan penelusuran dan penelitian yang panjang

Sebelum menggelar pameran ini, Natasha melakukan berbagai penelusuran. Di karya-karyanya ini, ia merujuk pada keikutsertaannya dalam praktik-praktik ritual, juga pada pengamatannya terhadap norma-norma sosial yang berlaku di kampung halamannya (Minahasa).
Natasha melanjutkan, "Monyet makaka jambul hitam dianggap oleh masyarakat adat sebagai bagian dari struktur kehidupan sosial sehari-hari. Namun, terkadang dianggap juga sebagai hama karena kerap turun ke desa dan mencuri hasil panen. Hubungan tersebut makin pelik dengan diakuinya status yaki sebagai spesies yang terancam punah, sehingga mendorong organisasi-organisasi internasional untuk menggalakkan pelestariannya."
Pameran ini secara keseluruhan membongkar hubungan antara manusia dan hewan. Menggambarkan bagaimana sebuah dunia yang memungkinkan terciptanya pemahaman antar spesies secara lebih mendalam.
3. Ada film hingga beragam instalasi yang unik

Ada juga ragam film hingga instalasi yang unik. Instalasi kostum dan perangkat lainnya yang ditampilkan merupakan alat-alat yang juga hadir di film. Sehingga bisa membawa para audiens menjelajah lebih jauh ke narasi film saat berinteraksi dengan objek-objek tersebut dalam lingkungan fantastisnya.
Film ini juga menerapkan kualitas format film kelas B, film horor, dan metode produksi teatrikal swakarya. Pameran ini menempatkan karya Tontey dalam tradisi panjang produksi film Indonesia yang didorong oleh energi kreatif.
4. Mengajak para pengunjung untuk menjelajahi imaji narasi yang spekulatif

Pameran ini dirancang untuk mengajak para pengunjung menyelami imajinasi yang melampaui batasan realitas sehari-hari. Melalui karya-karya yang dihadirkan, pengunjung diajak untuk menjelajahi dunia spekulatif yang menyuguhkan berbagai narasi unik dan tak terduga. Setiap karya mengandung unsur naratif yang mengajak kita membayangkan skenario-skenario.
Venus Lau, Direktur Museum MACAN, berkata, "Pameran ini juga membangkitkan kesadaran tentang warisan budaya yang terabaikan dan keterkaitan antara manusia dan non-manusia. Karya yang menggugah ini mengajak kita untuk merenungi batas-batas budaya dari berbagai bentuk kehidupan di dunia ini, dari sudut pandang spesies lain."
5. Natasha menciptakan pameran dengan lingkungan yang terasa hidup dan multisensoris

Natasha menciptakan sebuah pameran yang membawa para pengunjung ke dalam pengalaman yang benar-benar hidup dan multisensoris. Dalam ruang pameran ini, setiap elemen dirancang untuk melibatkan seluruh indra pengunjung. Mulai dari visual yang memikat, suara yang mendalam, hingga aroma yang mendukung suasana.
"Pameran ini menyingkap kemiripan yang tak terduga antara manusia dan spesies lain, serta membayangkan sebuah masa depan yang lebih kolaboratif. Kami merasa bangga telah mendukung sang perupa dalam proses komisi karya ini, karyanya yang berukuran paling besar dan rumit, dengan bekerja erat bersama tim di Museum MACAN untuk mewujudkan proyek ini di Jakarta," pungkas Denis Pernet, kurator.
Pameran Primate Visions: Macaque Macabre dimulai pada 16 November 2024 hingga 6 April 2025. Harga tiketnya untuk weekdays yakni Rp45 ribu (dewasa), Rp40,5 ribu (pelajar, mahasiswa, lansia), dan Rp36 ribu (anak). Sedangkan untuk weekdays adalah Rp50 ribu (dewasa), Rp45 ribu (pelajar, mahasiswa, lansia), dan Rp40 ribu (anak). Silakan kunjungi https://www.museummacan.org/ untuk pembelian tiket.