Menuntut Keadilan di Seperempat Abad Marsinah

JAKARTA, Indonesia—Bak orang linglung, sosok perempuan tak beralas kaki itu mondar-mandir di pelataran Taman Demokrasi, Jakarta Pusat, Selasa sore, 8 Mei 2018. Terik matahari yang menyengat tak dihiraukannya. Mulutnya terus menggerutu. Sesekali ia membunyikan kentungan yang ia pegang.
“Ah Tuhan, kehidupan macam ini? Aku tidak pernah ingin mencari kekayaan. Aku hanya ingin membantu teman-temanku,” teriaknya gusar seraya melemparkan kentungan.
Ia kemudian duduk bersimpuh. Di belakang si perempuan itu, terlihat sebuah spanduk raksasa dibentangkan. Ada nama Marsinah di spanduk itu.
“Tangangku terikat. Mulutku dibungkam. Malam kelam, aku diseret. Moncong senjata diarahkan ke kemaluanku. Dua puluh lima tahun. Ah, kehidupan macam apa ini? Tolong! Tolong aku!” cetusnya terus bermonolog.
Tak butuh lama untuk memahami bahwa perempuan itu sedang memerankan sosok hantu Marsinah. Di panggung yang letaknya tak jauh dari Istana Negara itu, hantu buruh pabrik arloji di Sidoarjo itu sedang menuntut keadilan yang tak ia dapatkan selama seperempat abad.
Monolog hantu Marsinah menjadi pembuka ‘perayaan’ 25 tahun kematian Marsinah. Sejak pukul 15.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB beragam pertunjukan ditampilkan untuk 'merayakan' Marsinah, mulai dari serangkaian orasi, pembacaan puisi hingga penampilan musisi.

Ratusan peserta aksi hadir dalam aksi unjuk rasa Panggung Demokrasi: Berikan Peradilan HAM untuk Marsinah itu. Selain berasal dari elemen buruh, sejumlah perwakilan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga turut menyemarakkan acara tersebut.
“Jika kita membiarkan kasus Marsinah tidak diungkap dan pelaku-pelaku tidak diadili, maka kita membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya terjadi lagi nanti. Pemerintah harus memberikan peradilan HAM bagi Marsinah,” ujar Ketua Umum Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah dalam salah satu orasi.
Tepat 25 tahun lalu, jasad Marsinah ditemukan terbujur kaku di Hutan Wilangan Nganjuk, Jawa Timur. Hasil otopsi menunjukkan luka-luka di sekujur tubuh buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS), Porong, Sidoarjo itu. Salah satu luka yang paling parah ialah luka bekas peluru pada kemaluannya.
Sebelum ditemukan tewas pada 8 Mei 1993, Marsinah berada di garda terdepan barisan buruh PT CPS dalam aksi-aksi unjuk rasa memperjuangkan keadilan bagi kaum buruh, di antaranya menuntut kenaikan upah minimum regional, upah lembur dan cuti hamil bagi perempuan.
Kasus kematian Marsinah sempat disidik dan sejumlah tersangka pernah mendekam dalam penjara, di antaranya pemilik PT CPS Yudi Susanto dan beberapa stafnya. Namun, pada 3 Mei 1995, di tingkat kasasi, semua terdakwa dinyatakan bebas murni oleh Mahkamah Agung (MA). Aroma rekayasa kasus pun mulai tercium saat itu.
Penyelidikan dan penyidikan ulang kemudian digelar untuk mengungkap pembunuh Marsinah. Sebanyak tiga kali makam Marsinah dibongkar demi kebutuhan penyelidikan. Sejak Orde Baru berakhir pada 1998, pemerintah berulangkali menjanjikan bakal mengungkap kasus Marsinah. Namun, hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkuasa, pembunuh Marsinah belum juga diadili atau bahkan ditangkap.

Butuh komitmen pemerintah
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani mengatakan, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mengungkap siapa pelaku pembunuhan terhadap Marsinah jika ada komitmen dari pemerintah. Pasalnya, fakta-fakta seputar pembunuhan terhadap Marsinah bertebaran.
“Sangat mungkin diungkap jika ada kemauan politik. Jokowi pernah mencatut nama Marsinah. Tapi, sampai sekarang tidak ada tindak lanjut yang nyata. Jangan-jangan memang kasus-kasus pelanggaran HAM ini hanya dijadikan tunggangan untuk meraih dukungan saja,” ujar Yati menyinggung Piagam Perjuangan Marsinah yang pernah ditandatangani Jokowi saat berkampanye pada Pilpres 2014 lalu.
Salah satu fakta yang paling gamblang dalam kasus Marsinah ialah dugaan keterlibatan anggota Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Diketahui, anggota Kodim Sidoarjo sempat ‘ditugaskan’ PT CPS untuk mengamankan aksi unjuk rasa para buruh. Kodim Sidoarjo bahkan sempat memanggil 13 buruh rekan Marsinah dan memaksa mereka mengundurkan diri dari PT CPS.
“Yang kita ketahui ada pengadilan kambing hitam dan rekayasa. Di sisi lain, ada komando militer yang bisa ditelusuri. Harus ada yang bertanggung jawab. Komnas HAM perlu membuka kembali kasus Marsinah,” ujar Yati.
Saat aksi masih berlangsung, suara bernada pesimistis muncul dari Istana. Kepada wartawan, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, bakal sulit mengungkap kasus pembunuhan Marsinah.
"Background-nya waktu itu berbeda dengan situasi sekarang. Jadi kalau diproyeksikan sekarang akan sulit. Tidak mungkin Presiden mengintervensi hukum, itu saja rumusnya. Jadi, apapun hasilnya ya kita tidak bisa (intervensi),” kata Moeldoko.
Di Sidoarjo, bekas pabrik PT CPS kini telah terkubur lumpur Lapindo. Namun demikian, di depan Istana, para buruh masih mengenang inspirasi dari Marsinah.
“Jokowi seharusnya malu memakai nama Marsinah untuk piagamnya. Jokowi hanya mencatut namanya, bukan semangat dan inspirasi Marsinah,” kata Sekretaris Nasional Perempuan Mahardika, Mutiara Ika Pratiwi.
—Rappler.com