Anggota Komisi II DPR Tak Setuju Tugas DKPP Diperluas Bisa Tangani Peserta Pemilu

- Pertanyakan etika, independensi, transparansi, dan akuntabilitas
- Jimly Asshiddiqie dukung tugas DKPP diperluas
Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan, menegaskan tidak setuju terhadap wacana tugas dan kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) diperluas menjadi bisa menangani pelanggaran kode etik peserta pemilu.
Namun, Irawan menghargai usulan yang disampaikan Ketua DKPP periode pertama, Jimly Asshiddiqie tersebut.
"Kita hormati saja pendapat Prof Jimly. Tapi saya tidak setuju dengan usulan tersebut," kata dia kepada IDN Times, Kamis (12/6/2025).
1. Pertanyakan etika, independensi, transparansi, dan akuntabilitas

Irawan pun mengkritisi tentang etika, independensi, dan netralitas jika nantinya fungsi dan tugas DKPP diperluas.
"Alasan untuk menolaknya banyak, tergantung konteks dan jenisnya. Mulai dari etika dipandang dari sisi subjektifitas, independensi, imparsialitas, transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya," kata dia.
Saat ditanya lebih lanjut mengenai mekanisme yang akan diatur tentang pengawasan terhadap peserta pemilu, Irawan mengatakan, nanti akan dirancang dalam sistem pemilu dalam undang-undang.
"Nanti kita tata sesuai dengan rancang bangun sistem pemilu yang hendak kita wujudkan ke depan," ujar dia.
2. Jimly Asshiddiqie dukung tugas DKPP diperluas sehingga bisa tangani etik peserta pemilu

Sebelumnya, Ahli Hukum Tata Negara sekaligus Ketua DKPP periode pertama, Jimly Asshiddiqie, mendukung diperluasnya tugas, fungsi, dan kewenangan dari lembaga DKPP. Ia mendorong, ke depannya DKPP bisa menangani kode etik penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu.
Jimly mengatakan, tugas dan fungsi DKPP yang ditambah itu harus diakomodir dalam UU. Selain itu, kepanjangan DKPP juga perlu diubah, dari yang semula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menjadi Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu.
"Idealnya ini harus resmi masuk jadi public policy di undang-undang. Saya setuju sekali, tetap namanya DKPP, cuma kepanjangannya ditambahkan dua huruf, Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu sehingga termasuk peserta," kata dia dalam acara diskusi yang digelar DKPP, Rabu (11/6/2025).
3. Kebanyakan kasus pelanggaran penyelanggara pemilu karena dipengaruhi peserta

Pendiri dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pertama ini menjelaskan, mengapa kewenangan DKPP harus diperluas. Sebab, kebanyakan kasus pelanggaran kode etik penyelanggara pemilu karena dipengaruhi peserta pemilu.
"Karena dalam praktik, penyelenggara itu korban dari peserta. Dalam setiap hampir semua kasus, penyelenggara etika dari si penyelenggara ini gara-gara hawa nafsunya peserta. Jadi trigger point-nya itu di peserta, maka tidak adil kalau penyelengara diberi sanksi, pesertanya dibiarkan saja," kata Jimly.
Jimly tak memungkiri, sebenarnya saat ini sudah ada pihak yang mengawasi peserta pemilu melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) yang melibatkan berbagai unsur, seperti Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan. Sentra Gakkumdu ini menjadi pusat aktivitas penegakan hukum tindak pidana pemilu.
Namun menurut Jimly, dalam praktiknya, Sentra Gakkumdu tidak terlalu efektif dan fungsional.
"Walaupun ada sanksi sekarang, yaitu pidana pemilu tapi itu tidak semua harus dipidanakan, apalagi Gakkumdu tidak terlalu fungsional karena terlalu banyak perkara juga," kata dia.
Jimly menuturkan, ada perbedaan dalam menangani perkara jika DKPP diberikan kewenangan menindaklanjuti kode etik penyelenggara dan peserta pemilu. Secara garis besar penanganan etik bertujuan untuk memberikan sanksi agar memulihkan nama baik dan kepercayaan publik terhadap institusi terkait. Dalam hal ini, penyelenggara pemilu dan peserta pemilu.
Sementara, penanganan perkara dalam pengadilan hukum seperti Sentra Gakkumdu sifatnya retributif yakni untuk membalas kesalahan dan pelanggaran yang telah dilakukan.
Ia pun memprediksi, diperluasnya kewenangan DKPP berpotensi menimbulkan kontroversi. Namun seiring berjalannya waktu, setelah berbagai pihak mendapat banyak manfaat, tentu cenderung akan menerima secara perlahan.
"Walaupun tentu awalnya kontroversial dan juga harus hati-hati, yang realistis, jangan terlalu (keras hukumannya), dipecat ya gak bisa. Tapi kalau sanksinya mengimbau, ya, gak apa-apa kan kasih nasehat karena yang namanya etik ini tidak menghukum, beda dengan pengadilan hukum yang retributif, membalas kesalahan," ucap dia.