Bappenas: 75 Persen Anak Merasa Dilibatkan Rencana Aksi Daerah Layak

Jakarta, IDN Times - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Wahana Visi Indonesia (WVI), meluncurkan laporan “Keterlibatan Pengurus Forum Anak dalam Proses Perencanaan Kebijakan di Indonesia,” Kamis (9/12/2021).
Peluncuran tersebut bertujuan untuk mendukung dinas dan lembaga terkait di setiap daerah, agar menjadikan anak sebagai agen perubahan dalam proses pembangunan daerah, guna mewujudkan Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA).
Survei ini melibatkan 151 responden dari 115 Forum Anak (FA) dengan metodologi kuantitatif secara daring dan kualitatif dengan FGD daring, serta survei pertanyaan terbuka pada sejumlah FA dan informan dari Bappeda, hingga perwakilan pemerintah desa.
1. Sebanyak 75 persen anak merasa dilibatkan pembuatan rencana aksi daerah layak anak

Data KemenPPPA menyebutkan saat ini sudah ada lebih dari 4.500 FA yang tersebar di berbagai tingkat daerah di Indonesia. Dari hasil kajian, sebanyak 75 persen responden menjawab FA dilibatkan dalam pembuatan Rencana Aksi Daerah Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), dan 80 persen responden mengatakan FA dilibatkan dalam implementasinya.
Namun, dukungan pendanaan terhadap Forum Anak belum merata. Sebanyak 17 persen FA kabupaten/kota/provinsi, 21 persen FA tingkat kecamatan, dan 15 persen FA tingkat desa tidak mendapatkan dana dari sumber mana pun. Ketiadaan anggaran tersebut menyebabkan aktivitas FA menjadi lumpuh atau vakum.
2. Menghargai pandangan jadi satu bentuk pemenuhan hak anak

Deputi Bidang Pemenuhan Hak anak KemenPPPA Agustina Erni menjelaskan pemenuhan hak anak telah menjadi komitmen pemerintah, salah satu prinsip dasarnya adalah menghargai pandangan anak.
Dia mengklaim pemerintah melalui KemenPPPA sudah mengembangkan kebijakan dan wadah partisipasi anak dalam pembangunan, yaitu FA sejak 2011. Implementasinya, kata Agustina, partisipasi anak dalam pembangunan dapat sambutan cukup baik, terlihat dari jumlah FA yang terus bertambah hingga di tingkat desa dan kelurahan.
Tapi dari kualitas, menurut Agustina, pelaksanaan partisipasi anak dalam pembangunan yang bermakna masih harus terus ditingkatkan. Dia juga menekankan inklusivitas dalam FA belum maksimal.
“Hasil kajian menyebutkan bahwa sebanyak 20-30 persen pengurus Forum Anak belum melibatkan ABK (anak berkebutuhan khusus). Hal ini juga sebaiknya menjadi perhatian lembaga-lembaga daerah, agar tercipta kesempatan yang merata bagi semua anak yang tidak membedakan jenis kelamin, etnis, latar belakang sosial budaya dan ekonomi, termasuk anak yang memerlukan perlindungan khusus,” ujarnya.
3. Ciptakan praktik partisipasi anak dengan sejumlah hal

Sementara, Ketua Tim Perlindungan Anak WVI, Emmy Lucy Smith, mengatakan untuk mendorong terciptanya praktik-praktik baik Partisipasi Anak dalam Perencanaan Pembangunan (PAPP), ada tiga rekomendasi kajian.
Pertama, menambahkan tingkat partisipasi anak sebagai indikator kinerja pemerintah daerah dan menyusun pedoman, serta kode etik pelibatan anak dalam forum Musrenbang.
Kedua, membuat pelatihan bagi anggota Forum Anak, dan ketiga, menciptakan ruang partisipatif yang ramah anak menggunakan platform digital hingga memberikan ruang bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
“Upaya pemenuhan hak partisipasi ini hanya akan berjalan jika kesempatan dan ruang diberikan kepada anak-anak untuk ikut dalam proses dialog bersama dengan orang-orang dewasa yang memiliki kewenangan. Kami berharap hasil kajian ini menjadi titik tolak di mana anak memperoleh haknya untuk berpartisipasi dalam perencanaan setiap aspek pembangunan yang mempengaruhi kehidupan mereka,” kata Emmy.
4. Libatkan anak usia 13-16 tahun

Kajian “Keterlibatan Pengurus Forum Anak dalam Proses Perencanaan Kebijakan di Indonesia” dilakukan dengan melibatkan sejumlah anak yang terlibat dalam Forum Anak, dengan rentang usia antara 13-16 tahun.
Ruang lingkup penelitian ini melihat dari empat kriteria antara lain, wadah yaitu bagaimana menyediakan wadah yang aman dan inklusif bagi anak untuk mengekspresikan pandangannya. Suara, yakni bagaimana menyediakan informasi yang tepat dan fasilitas bagi anak untuk menyalurkan aspirasinya.
Dialog, yakni bagaimana menjamin suara anak dapat dikomunikasikan kepada seseorang yang memiliki tanggung jawab untuk mendengar, dan pengaruh, yakni bagaimana menjamin pandangan anak ditindak lanjuti dengan serius dan dilaksanakan dengan tepat.