Bawaslu Akan Proses Pelanggaran Partai Coklat, Jika Ada Laporan

Jakarta, IDN Times - Badan Pengawas Pemilu Buma suara terkait adanya pelanggaran Pilkada yang dilakukan Partai cokelat yang kerap kali dialamatkan terhadap institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Anggota Bawaslu Lolly Suhenty mengatakan Bawaslu tidak tidak memiliki kewenangan untuk mengomentari tudingan atau asumsi yang beredar di media atau disampaikan pihak lain
"Kecuali jika telah ada laporan resmi yang masuk. Hingga saat ini, Bawaslu bekerja berdasarkan dua pintu utama: laporan dari masyarakat dan temuan langsung oleh jajaran pengawas pemilu," ujar Lolly dalam Media Gathering & Diskusi Media di Kepulauan Riau, Selasa (3/12/2024) malam.
1. Bawaslu siap proses jika laporan masuk

Lolly mengatakan Bawaslu siap memproses laporan dugaan pelanggaran dalam Pilkada sesuai mekanisme, termasuk laporan Partai Coklat.
"Jika ada laporan resmi terkait dugaan pelanggaran, termasuk yang melibatkan Partai Coklat, Bawaslu akan memprosesnya sesuai dengan mekanisme yang berlaku, mulai dari kajian awal hingga keputusan apakah laporan tersebut dapat diregistrasi," katanya.
2. Bawaslu tak proses jika opini

Lolly menegaskan jika laporan tersebut hanya sebuah opini saja, maka pelanggaran tersebut tidak bisa dilanjutkan atau diproses.
"Jika tudingan tersebut hanya berupa opini tanpa laporan resmi, maka Bawaslu tidak dapat bertindak lebih jauh," katanya.
3. Muncul istilah partai coklat

Partai cokelat bukanlah partai politik resmi yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Istilah ini lebih bersifat simbolis. Selama ini, partai coklat kerap kali dialamatkan terhadap institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Hal ini menindaklanjuti adanya dugaan keterlibatan dalam menggalang dukungan untuk kandidat tertentu, baik secara langsung maupun melalui jaringan informal mereka.
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, turut menyikapi pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. Ia mengaku mendapatkan laporan tentang masifnya penggunaan pejabat, kepala daerah, hingga aparatur kepolisian untuk tujuan politik elektoral.
"Di Jawa Tengah misalnya, saya mendapatkan laporan betapa masifnya penggunaan penjabat kepala daerah, hingga mutasi aparatur kepolisian, demi tujuan politik elektoral," kata dia di Jakarta, Rabu (27/11/2024).