Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Buzzer Tidak Akan Punah karena Dipelihara Elite Politik

Ilustrasi buzzer. (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi buzzer. (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times - Kegiatan cyber troops (pasukan siber) atau yang lebih dikenal dengan istilah buzzer di ranah propaganda politik, ternyata bukan isapan jempol semata.

Baru-baru ini sebuah penelitian dari Universitas Oxford dan Institut Internet Oxford, Inggris membuktikan bahwa Indonesia adalah salah satu dari 70 negara yang terdeteksi memiliki buzzer.

1. Buzzer tidak akan berhenti karena dijadikan pekerjaan utama

Doc. IDN Times
Doc. IDN Times

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Politik Ujang Komaruddin menilai aktivitas para buzzer tersebut tidak akan pernah berhenti walaupun Pemilihan Presiden (Pilpres) telah berakhir.

“Pertama masalah priuk nasi, masalah pendapatan. Buzzer kan butuh hidup juga. Setelah Pilpres pendapatan mereka gak tentu, mereka butuh makan karena pekerjaan (utama) mereka ya itu buzzer,” kata Ujang saat dihubungi IDN Times, Minggu (6/10).

2. Buzzer akan terus dipelihara oleh elite

IDN Times/Panji Galih Aksoro
IDN Times/Panji Galih Aksoro

Kedua, sambung Ujang, para buzzer tersebut juga akan terus dipelihara oleh para elite politik untuk melawan serangan dari buzzer lawan di media sosial jika dibutuhkan.

“Justru kalau dibubarkan akan kecolongan diserang buzzer yang lain. Jadi buzzer itu bukan hanya setelah Pilpres dibuang, tapi dipelihara. Itu yang saya kira kenapa masih ada,” jelasnya.

3. Kerja buzzer akan berhenti jika mereka dikecewakan elite

(Ilustrasi) pexels.com/@andri
(Ilustrasi) pexels.com/@andri

Lebih jauh ia menjelaskan, kerja para buzzer akan terhenti jika mereka telah merasa dikecewakan lantaran janji-janji politik paska Pilpres tidak dipenuhi oleh elite Partai Politik.

“Misalkan si A buzzer, pasti dijanjikan oleh capres-cawapres ‘nanti kamu (buzzer) kalau saya jadi (menang pemilu) masuk Istana atau nanti jadi Komisaris atau Duta Besar’. Nah kalau janjinya tidak ditepati maka akan kecewa dan dia berhenti atau berpindah kepada buzzer lawan,” ungkapnya.

4. Penelitian Universitas Oxford sebut bayaran buzzer mencapai Rp50 juta

"The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation- Universitas Oxford
"The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation- Universitas Oxford

Sebelumnya, Universitas Oxford dan Institut Internet Oxford, Inggris melakukan penelitian terbaru yang berjudul "The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation".

Penelitian tersebut mengungkap sebuah aktivitas buzzer sebagai penggerak isu politik yang merupakan propaganda dari pihak politikus tertentu, di media sosial Twitter, WhatsApp, Instagram dan Facebook. Di balik perang tagar, ada peran buzzer politik untuk menaikkan isu menjadi sebuah trending topic.

Laporan penelitian yang ditulis oleh Samantha Bradshaw Philip N Howard dari Oxford mengungkap bayaran yang diterima buzzer berkisar antara Rp1 juta hingga Rp50 juta.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us