Deretan Pasal Kontroversial KUHAP Baru Versi Koalisi Masyarakat Sipil

- Pasal 16 UU KUHAP memungkinkan aparat menciptakan tindak pidana dan merekayasa
- Pasal 5 ayat 2 memberikan kewenangan tanpa batas pada penyelidik
- Pasal 105, 112A, dan 132A memungkinkan upaya paksa tanpa izin hakim
Jakarta, IDN Times - DPR telah mengesahkan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru dalam sidang paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Rapat paripurna dipimpin langsung Ketua DPR RI, Puan Maharani, didampingi para wakil ketua, seperti Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, Cucun Ahmad Syamsurijal, dan Saan Mustopa. Rapat juga dihadiri pemerintah yang diwakili Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas.
"Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap RUU KUHAP apakah dalat disetujui menjadi UU?" tanya Puan dalam sidang paripurna.
Seluruh peserta rapat menyatakan setuju. Puan kemudian mengetok palu sidang, menandakan RKUHAP sah menjadi UU.
Pengesahan di tengah-tengah sorotan publik. Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pembaruan KUHAP mencatat sejumlah Pasal kontroversial di dalam KUHAP baru.
Berikut daftarnya:
1. Pasal 16 UU KUHAP: Semua bisa dijebak aparat
Koalisi Masyarakat Sipil menilai semua pihak bisa dijebak aparat penegak hukum dengan Pasal 16 UU KUHAP. Sebab, kewenangan operasi undercover buy dan controlled delivery yang sebelumnya ada di tahap penyidikan dan khusus narkoba, kini masuk ke tahap penyelidikan dan tidak diawasi hakim.
Koalisi menilai kewenangan tanpa batas ini berpotensi membuka peluang aparat menciptakan tindak pidana dan merekayasa.
2. Pasal 5 ayat 2: Semua bisa diamankan, ditangkap, dan ditahan tanpa kejelasan, bahkan di tahap penylidikan saat belum ada tindak pidana
Dalam Pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan, penggeledahan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan, mengambil sidik jari, mengidentifikasi, hingga menghadapkan pada penyidik. Padahal dalam penyelidikan tindak pidana belum terkonfirmasi.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai pasal ini merupakan pasal karet.
3. Pasal 90, 93: Semua bisa kena tangkap dan ditahan sewenang-wenang tanpa izin hakim
Upaya paksa penangkapan dan penahanan membuka lebar ruang kesewenang-wenangan aparat karena tidak ada pengawasan oleh lembaga pengadilan melalui pemeriksaan, serta penyimpangan aturan mengenai masa penangkapan yang terlalu panjang (lebih dari 1x24 jam) dalam undang-undang sektoral di luar KUHAP. Aspek penting ini juga sama sekali tidak diperbaiki dalam RUU KUHAP (Pasal 90, 93). Tragisnya skema penahanan RUU KUHAP dibuat alternatif antara surat perintah penahanan yang praktiknya bisa dibuat penyidik sendiri atau melalui penetapan hakim.
Skema ini terang-terangan mendorong penyidik menghindari pengawasan judisial (Pasal 93 ayat 1).
4. Pasal 105, 112A, 132A, 124: Semua bisa kena geledah, sita, sadap, dan blokir menurut subjektivitas aparat tanpa izin hakim
Koalisi Masyarakat Sipil menilai Pasal 105, 112A, 132A membuat upaya paksa penggeledahan, penyitaan, maupun pemblokiran bisa dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan mendesak berdasarkan penilaian subjektif aparat.
Dalam Pasal 124 KUHAP juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim dengan dilandaskan pada Undang-Undang.
Akibatnya, negara dapat memasuki ruang-ruang privat (komunikasi dan korepondensi pribadi) dengan semakin leluasa, dengan dalih untuk mengusut tindak pidana namun tidak jelas bagaimana perlindungan terhadap data pribadi yang telah dikuasainya. Akhirnya, celah-celah penyalahgunaan hingga pemerasan sangat mungkin bisa terjadi karena konstruksi aturan RUU KUHAP yang sedari awal bermasalah.
5. Pasal 74a, 78, 79: Semua bisa kena peras dan dipaksa damai dengan dalih restorative justice di ruang gelap penyelidikan
Dalam Pasal 74a UU KUHAP dijelaskan bahwa kesepakatan damai antara pelaku dan korban dapat dilaksanakan pada tahapan yang belum dipastikan terdapat tindak pidana atau penyelidikan.
Koalisi Masyarakat Sipil mempertanyakan hal ini. Sebab, bagaimana mungkin belum ada tindak pidana namun sudah ada subjek pelaku dan korban?
Selain itu, hasil kesepakatan damai yang ditetapkan oleh pengadilan hanya surat penghentian penyidikan, sedangkan penghentian penyelidikan sama sekali tidak dilaporkan ke otoritas manapun (Pasal 79), ini menjadi ruang gelap di penyelidikan.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai UU KUHAP gagal menjamin sistem check and balance oleh pengadilan dalam mekanisme restorative justice karena penetapan hakim untuk penghentian penyidikan hanya akan dianggap stempel, tanpa memandatkan kepada hakim untuk melakukan pemeriksaan secara substansial dan memberikan opsi menolak untuk menetapkan kesepakatan RJ yang tidak sesuai ketentuan, termasuk jika ada indikasi pemaksaan, pemerasan, atau penyalahgunaan lainnya oleh aparat. (Pasal 78, 79)
6. Pasal 7 dan Pasal 8: Semua bisa polisi kuasai dan bantuan hukum dibatasi
Koalisi Masyarakat Sipil menyebut semua PPNS dan Penyidik Khusus diletakan di bawah koordinasi Polisi, menjadikan Polri lembaga superpower dengan kontrol yang sangat besar (Pasal 7 dan Pasal 8). Padahal selama ini mestinya polisi yang harus diawasi.
7. Pasal 99: Semua penyandang disabilitas bisa tanpa perlindungan
Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan dalam Pasal 99 UU KUHAP akan memperlakukan orang gangguan fisik maupun mental berat tak setara dengan menambah durasi penahanan paling lama 60 hari.

















