Dukung Politisi Perempuan, Sistem Pemilu Minta Dievaluasi

- Perempuan politisi harus saling mendukung, bukan membonsai
- Sistem pemilu Indonesia dinilai kurang efektif dan cenderung menghambat kaderisasi partai politik
- Bias terhadap kandidat perempuan dan praktik politik transaksional menjadi tantangan utama dalam sistem pemilu
Jakarta, IDN Times - Peneliti senior BRIN, Prof. Dr. Siti Zuhro, menyatakan pentingnya sinergi di antara para politisi perempuan meskipun berasal dari partai yang berbeda. Perempuan, kata dia, tak boleh menjadi bonsai, tetapi harus saling mendukung satu sama lain, terlebih dalam kegiatan politik.
"Kita tidak boleh saling membonsai, tetapi harus membesarkan satu sama lain. Evaluasi mendalam terhadap sistem pemilu diperlukan untuk memastikan keberpihakan pada politisi perempuan," katanya dalam Seminar Nasional bertema "Apakah Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Menjadi Solusi bagi Perjuangan Politik Perempuan?" di Jakarta pada Kamis, 5 Desember 2024.
1. Indonesia sebaiknya kembali pakai sistem pemilu proporsional tertutup

Siti mengatakan, senerapan sistem pemilu era reformasi Indonesia menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan, terutama akibat sistem multipartai terbuka dan proporsional terbuka yang tidak memenuhi harapan. Reformasi yang tergesa-gesa itu disebut menimbulkan praktik "demokrasi yang diperjualbelikan", sehingga kualitas perwakilan menjadi buruk.
Sistem proporsional dinilai menciptakan ketidakadilan dalam pencalonan parlemen, dengan dominasi partai yang memicu praktik oligarki. Pemilu juga dinilai gagal menciptakan keseimbangan representasi dan keterwakilan yang tinggi.
Praktik manipulasi suara dan politik uang juga dianggap semakin meluas. Sementara, pemilih lebih memilih lambang partai atau calon nomor urut 1. Evaluasi menunjukkan proporsional tertutup lebih efektif dalam mengurangi politik transaksional.
Dia menjabarkan, Indonesia sebaiknya kembali menggunakan sistem pemilu proporsional tertutup karena proporsional terbuka menghambat kerja partai politik dan kaderisasi. Namun, untuk menghindari penyalahgunaan seperti pada masa Orde Baru, perlu ada syarat teknis, yaitu rekrutmen politik yang baik dan perubahan aspek teknis pemilu terkait sistem proporsional.
2. Perlunya partai politik kurangi bias pada kandidat perempuan

Sementara Dalam paparannya, Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi Golkar, Hetifah Sjaifudian, menyoroti perlunya partai politik mengurangi bias terhadap kandidat perempuan.
"Masih banyak partai yang tidak memberikan nomor urut prioritas kepada perempuan. Untuk mencapai representasi yang lebih baik, perlu ada jaminan konstitusional dan kelembagaan partai yang kuat," katanya.
Bias pemilih juga kerap menjadi tantangan bagi perempuan dalam politik. Preferensi atau prasangka pemilih terhadap kandidat berdasarkan gender, acap memengaruhi pilihan mereka di kotak suara.
“Memengaruhi hasil di sistem daftar terbuka, di mana nama kandidat dipilih langsung,” kata dia.
3. Indonesia terjebak pada debat terbuka versus tertutup

Perspektif terhadap sistem pemilu di Indonesia juga disoroti Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Dalam paparannya, dia menjelaskan sistem proporsional terbuka menciptakan persaingan intra-partai dan antar-partai yang tajam, dengan koordinasi antar caleg dalam satu partai yang lemah.
Struktur pemenangan juga dianggapnya lebih berbasis jaringan personal, dengan elite partai mengubah partai menjadi alat pemenangan personal. Demikian juga dengan praktik politik distribusi berbasis klientelisme, menggantikan politik berbasis program.
"Dari 400 lebih sistem pemilu yang ada di dunia, kita hanya terjebak pada debat terbuka versus tertutup. Fokusnya seharusnya pada sistem apa yang paling relevan untuk mendukung demokrasi dan keterwakilan perempuan di Indonesia," kata dia.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 114/PUU-XX/2022 menegaskan bahwa Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan peserta pemilu adalah partai politik, harus dipahami secara sistematis. Pasal ini terkait dengan Pasal 1 ayat (2) yang menegaskan kedaulatan rakyat. MK menilai, meski sistem proporsional terbuka lebih mendekati prinsip UUD 1945, sistem pemilu apapun yang dipilih, baik terbuka atau tertutup, tetap memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang bisa menyesuaikan sistem pemilu sesuai dinamika dan kebutuhan.
4. Tidak cukup hanya dengan kuota 30 persen

Seminar Nasional bertema "Apakah Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Menjadi Solusi bagi Perjuangan Politik Perempuan?" sendiri diselenggarakan B Trust Advisory Group, bekerja sama dengan Konrad Adenauer Stiftung, Kemendagri, dan DPP KPPI.
Total, ada 130 peserta yang berpartisipasi, termasuk anggota legislatif perempuan, kader partai politik, NGO, hingga akademisi, yang hadir membahas dinamika sistem pemilu di Indonesia serta mencari solusi atas tantangan demokrasi dan keterwakilan perempuan.
Direktur Senior B Trust Advisory Group, Siswanda H Sumarto, menyampaikan tentang pentingnya sistem politik yang mendukung perjuangan Perempuan.
"Keterwakilan perempuan dalam politik tidak cukup hanya dengan kuota 30 persen. Kita membutuhkan sistem politik yang benar-benar mendukung ketercapaian representasi perempuan secara adil dan efektif," kata dia.
Diskusi ini dipandu dengan dinamis Pemimpin Redaksi IDN Times, Zulfiani Lubis, yang menyoroti peningkatan jumlah kursi perempuan di parlemen hasil Pemilu 2024, di mana jumlahnya hanya bertambah tujuh kursi dibandingkan periode sebelumnya.
"Hal ini menunjukkan perlunya solusi sistemik agar Pemilu dapat mendukung representasi yang lebih baik bagi perempuan," ujar Zulfiani.