Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Dunia Kini Darurat Iklim dan Indonesia Berkontribusi di Hal Ini

(Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Keadilan Energi melakukan aksi menyambut pelaksanaan KTT G20 di Jepang dengan membawa poster di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (21/6/2019). Dalam aksinya mereka mendesak tiga perusahaan Jepang yang beroperasi di Indonesia yakni Marubeni, Sumitomo dan Mizuho Bank Ltd untuk memotong kebijakan investasi energi dalam bahan bakar fosil yang berkontribusi dalam pemanasan global dan perubahan iklim.) ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
(Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Keadilan Energi melakukan aksi menyambut pelaksanaan KTT G20 di Jepang dengan membawa poster di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (21/6/2019). Dalam aksinya mereka mendesak tiga perusahaan Jepang yang beroperasi di Indonesia yakni Marubeni, Sumitomo dan Mizuho Bank Ltd untuk memotong kebijakan investasi energi dalam bahan bakar fosil yang berkontribusi dalam pemanasan global dan perubahan iklim.) ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Jakarta, IDN Times - Laporan dari Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menjelaskan bahwa hanya tersisa 12 tahun untuk mencegah bencana iklim ekstrem karena suhu akibat pemanasan global akan naik di atas 1,5 derajat.

Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI, Yuyun Harmono, menyebutkan bahwa kondisi perubahan iklim saat ini sudah genting.

"Jadi kondisi secara global sudah cukup genting, makanya kemudian bisa disebut saat ini sebagai darurat iklim atau krisis iklim," Ujar Yuyun saat dihubungi IDN Times pada Kamis (19/9).

1. Komitmen negara di dunia pada pengurangan emisi karbon

Ilustrasi emisi buatan manusia/Via Antara foto/Sigid Kurniawan
Ilustrasi emisi buatan manusia/Via Antara foto/Sigid Kurniawan

Negara-negara berkembang dan maju saat ini harus lebih berkomitmen mengurangi produksi emisi mereka.

"Tentu melihat sejarah emisi historis masing-masing negara berbeda, sehingga komitmennya harus tiga atau empat kali lipat dari standar sekarang," kata Yuyun.

Tiongkok sendiri merupakan negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Pada tahun 2018, produksi emisi karbon dioksida di seluruh dunia menembus angka 40,9 miliar ton, naik 2,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

2. Berkaca dari sumber emisi utama di Indonesia

Ilustrasi lahan (ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid)
Ilustrasi lahan (ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid)

Mengurangi jumlah emisi di Indonesia harus dilakukan dengan menyelidiki kembali sumber utama emisi di Indonesia. Sumber utama emisi di negara ini adalah sektor berbasis lahan.

"Kita harus lihat sumber emisi utama di Indonesia, sumber utama emisi di Indonesia masih dari sektor berbasis lahan yakni penggundulan hutan atau deforestasi, degradasi hutan dan lahan, alih fungsi lahan untuk properti atau buka lahan, dan juga kebakaran hutan dan lahan, itu sumber emisi utama Indonesia," ujar Yuyun.

Menurut WALHI, jika masih ada kebakaran hutan, sama saja indonesia masih berkontribusi untuk krisis iklim.

3. Harus ada perubahan secara struktural

Sampah impor. Dokumentasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Sampah impor. Dokumentasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

Gaya hidup hanya sedikit membantu perubahan iklim. Perubahan gaya hidup dengan mengurangi konsumsi energi listrik atau mengurangi sampah plastik memang bagus. Namun, peran pemerintah sangat penting untuk membangun perubahan secara struktural. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri harus menghentikan aktivitasnya.

"Kalau kita berubah gaya hidup tapi korporat membuat tambang batu bara dan membangun PLTU batubara, ya sama saja," pungkas Yuyun.

Perubahan gaya hidup akan kurang bermakna harus ada keselarasan antara perubahan perilaku dan struktural.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Isidorus Rio Turangga Budi Satria
EditorIsidorus Rio Turangga Budi Satria
Follow Us