Eks Sekjen Kemenag Diperiksa soal SK Kuota Haji yang Diteken Yaqut

- Nizar Ali diperiksa KPK sebagai saksi selama dua jam
- Indonesia mendapatkan tambahan 20 ribu kuota haji, namun pembagiannya tidak sesuai aturan
- Kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp1 triliun menurut perhitungan sementara internal KPK
Jakarta, IDN Times - Mantan Sekjen Kementerian Agama Nizar Ali diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan haji.
Ia mengaku ditanya soal Surat Keputusan yang diteken Yaqut Cholil Qoumas terkait penentuan kuota haji itambahan.
"Ya biasa nanya soal mekanisme keluarnya SK itu," ujarnya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (12/9/2025).
1. Nizar Ali baru diperiksa KPK sekitar dua jam

Nizar baru diperiksa KPK sekitar dua jam sebagai saksi. Ia mengaku belum banyak ditanya oleh penyidik KPK.
"Hanya sedikit kok," ujarnya.
2. Indonesia dapat tambahan 20 ribu kuota haji

Diketahui, Indonesia mendapatkan kuota haji tambahan setelah Presiden RI ketujuh Joko "Jokowi" Widodo bertemu dengan Putra Mahkota yang juga Perdana Menteri (PM) Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman Al-Saud pada 19 Oktober 2023.
Berdasarkan Pasal 64 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen dari kuota haji Indonesia, 92 persennya untuk kuota haji reguler.
Indonesia mendapatkan 20 ribu kuota haji tambahan. Seharusnya, 18.400 kuota untuk jemaah haji reguler dan sisanya untuk haji khusus.
Namun, yang terjadi justru pembagiannya dibagi menjadi 10.000 untuk kuota haji reguler dan 10.000 untuk kuota haji khusus.
Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 yang ditandatangani Menteri Agama saat itu Yaqut Cholil Qoumas pada tanggal 15 Januari 2024.
3. Kerugian negara Rp1 triliun

KPK pun telah menerbitkan surat perintah penyidikan (SPRINDIK) kasus ini. Namun, belum ada sosok yang ditetapkan sebagai tersangka.
Berdasarkan perhitungan sementara internal KPK, diduga kasus ini merugikan negara Rp1 triliun. Namun, hitungan ini belum melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan.