Kasus Korupsi Haji, Sekjen Kementerian Agama Era Yaqut Dipanggil KPK

- Nizar Ali diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan haji.
- Indonesia mendapatkan tambahan 20 ribu kuota haji, namun pembagiannya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp1 triliun, namun belum ada tersangka yang ditetapkan.
Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Sekjen Kementerian Agama era Menteri Yaqut Cholil Qoumas, Nizar Ali. Ia dijadwalkan diperiksa penyidik KPK dalam kasus dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan haji.
"Hari ini KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan tindak pidana korupsi terkait kuota haji untuk penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023-2024," ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo pada Jumat (12/9/2025).
1. Nizar Ali diperiksa sebagai saksi

Nizar Ali diperiksa sebagai saksi. Namun, hingga artikel ini dimuat, Nizar Ali belum hadir.
"Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK," ujarnya.
2. Indonesia dapat tambahan 20 ribu kuota haji

Diketahui, Indonesia mendapatkan kuota haji tambahan setelah Presiden RI ketujuh Joko "Jokowi" Widodo bertemu dengan Putra Mahkota yang juga Perdana Menteri (PM) Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman Al-Saud pada 19 Oktober 2023.
Berdasarkan Pasal 64 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen dari kuota haji Indonesia, 92 persennya untuk kuota haji reguler.
Indonesia mendapatkan 20 ribu kuota haji tambahan. Seharusnya, 18.400 kuota untuk jemaah haji reguler dan sisanya untuk haji khusus.
Namun, yang terjadi justru pembagiannya dibagi menjadi 10.000 untuk kuota haji reguler dan 10.000 untuk kuota haji khusus.
Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 yang ditandatangani Menteri Agama saat itu Yaqut Cholil Qoumas pada tanggal 15 Januari 2024.
3. Kerugian negara kasus ini mencapai Rp1 triliun

KPK pun telah menerbitkan surat perintah penyidikan (SPRINDIK) kasus ini. Namun, belum ada sosok yang ditetapkan sebagai tersangka.
Berdasarkan perhitungan sementara internal KPK, diduga kasus ini merugikan negara Rp1 triliun. Namun, hitungan ini belum melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan.