Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Fenomena Polisi Cepek, Dipertahankan atau Tidak Sesuai Aturan?

MENGATUR LALU LINTAS. Afendi yang setiap harinya mengatur lalu lintas jalan sebagai Supeltas. Foto oleh Tarida Angelina/Rappler

Oleh Tarida Angelina

JAKARTA, Indonesia —Jika Anda sering berpergian dengan mobil pribadi, taksi atau taksi online, pasti Anda sering menemukan orang-orang yang mengatur jalanan walaupun tidak memakai seragam resmi. Beberapa ada yang mengatur hanya ketika sedang ada kemacetan, tapi tak sedikit juga yang memang "bertugas" mengatur lalu lintas di situasi apapun.

Orang-orang tersebut biasa dipanggil polisi cepek atau juga akrab disebut pak ogah. Keberadaan para polisi cepek ini sering dijumpai di jalanan kota besar di Indonesia, terutama di jam-jam sibuk di pagi dan sore hari.

Kabarnya, asal nama "polisi cepek" atau "pak ogah" datang dari salah satu karakter di serial anak-anak Si Unyil. Ada Pak Ogah yang selalu meminta uang Rp 100 atau cepek dari anak-anak dan warga di lingkungannya. Zaman dahulu, tentu saja nilai Rp 100 masih lumayan tinggi. Di zaman sekarang, banyak yang memplesetkannya jadi "polisi gopek (Rp 500)" atau "polisi seribu)".

Keberadaan para polisi cepek ini juga menimbulkan dilema. Di satu sisi, mereka berperan membantu polisi resmi untuk mengatur lalu lintas. Tapi di sisi lain, tentu saja keberadaan mereka melanggar aturan lalu lintas yang ada. Ada yang merasa terbantu, tapi ada juga pengguna jalan yang terganggu, terutama jika para polisi cepek ini menunjukkan sifat tak ramah dan memaksa.

Pekerjaan yang menguntungkan

Adalah Aditya, seorang pria yang berprofesi sebagai polisi cepek yang sudah bekerja mengatur jalan sejak tahun 2000. Sehari-harinya ia mengatur jalanan sekitar Tol Bekasi Timur arah Cikampek. Ia mengaku pekerjaan ini adalah pekerjaan sehari-harinya karena tidak ada pekerjaan lain.

“Menurut saya menjadi polisi cepek itu baik-baik saja karena mengatur lalu lintas dan membantu masyarakat. Sebenarnya tidak ada istilah pak ogah atau polisi cepek sih,” kata Aditya yang mengaku hanya bekerja satu jam saja sehari, dimulai dari pukul 16:00 WIB.

Sejak menjalankan profesi sebagai polisi cepek, Aditya mengaku mendapatkan banyak keuntungan daripada kerugian. Selain pendapatan yang bertambah, Aditya pun senang karena ia bisa bertemu banyak orang dan membantu memperlancar lalu lintas.

Kata Aditya, ia pribadi tidak pernah mengharapkan agar setiap pengguna jasanya memberikan imbalan rupiah. Namun meski tidak menuntut, Aditya mengaku pendapatannya sebagai polisi cepek juga cukup baik untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Sehari-harinya, dalam kondisi lalu lintas normal dan padat, Aditya bisa meraup hingga Rp 100 ribu per hari. Namun jika jalanan sedang sepi, penghasilan Aditya terkadang hanya mencapai Rp 50 ribu. Penghasilan yang tak seberapa ini dikelola Aditya untuk membiayai rumah tangga dan membayar pendidikan anaknya.

Pro kontra aturan

Menurut Kompol M. Sianipar, Kapolsek Bekasi Kota, fenomena keberadaan polisi cepek bisa dimaklumi karena banyaknya area jalan atau rute lalu lintas yang belum bisa sepenuhnya dikendalikan atau dikontrol oleh polisi sepanjang hari. Apalagi jumlah jalan, rute lalu lintas dan jumlah kendaraan pun kian bertambah setiap harinya.

“Polisi juga sudah berkoordinasi dengan instansi terkait seperti Dinas Perhubungan untuk mengatur jalan-jalan yang masih membutuhkan banyak polisi agar berjalan dengan baik,” ujarnya saat ditemui Rappler beberapa saat lalu.

Terkait dengan peraturan, Sianipar sendiri mengatakan tidak ada peraturan khusus yang mengatur tentang polisi cepek. Sanksi juga tidak ada. Sebaliknya, polisi malah sudah sejak beberapa saat lalu mengumpulkan para polisi cepek untuk diberi arahan dan saran tentang apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Salah satunya yang ditekankan adalah bahwa mereka tidak diizinkan memaksa pengguna jalan untuk memberikan imbalan.

“Apalagi jika pak ogah itu meminta sesuatu demi kepentingan pribadi. Itu juga tidak bisa. Kalau ada orang yang memberi, ya dipersilakan, tapi polisi sudah memberi arahan kepada para polisi cepek,” tambah Sianipar yang mengaku juga mengetahui titik-titik di mana para polisi cepek ini beroperasi di wilayahnya. Karena itu ia pun rutin melakukan pertemuan dan pengarahan bagi para "polisi lalu lintas tak resmi" ini.

Berbeda dengan kondisi di Bekasi, di ibukota Jakarta, aturan soal keberadaan polisi cepek ini sebenarnya sudah tercantum di salah satu Perda tepatnya di pasal 7 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Aturan ini menyebut bahwa pada dasarnya setiap orang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kewenangan dilarang melakukan pengaturan lalu lintas pada persimpangan jalan, tikungan atau putaran jalan dengan maksud mendapatkan imbalan jasa. 

Default Image IDN

Kegiatan pengaturan lalu lintas ini dilakukan oleh orang perorang atau sekelompok orang yang terorganisir dengan maksud memperoleh imbalan uang.

Aturan Perda ini juga sudah menyebut soal sanksi yang bisa menjerat para pelanggar aturan, tepatnya di pasal 61 ayat (1) Perda 8/2007. Terhadap pak ogah atau polisi cepek yang melanggar ketentuan di atas, dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 10 (sepuluh) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari atau denda paling sedikit Rp 100 ribu (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 20 juta (dua puluh juta rupiah).

Default Image IDN

Tapi aturan Perda ini sebenarnya juga memuat pasal yang menyebut bahwa ada pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ketertiban umum.

Mungkin karena itu pula, pertengahan 2017 lalu sempat mengemuka wacana yang muncul dari Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya yang menyebut bahwa pihaknya akan merekrut para warga yang berprofesi sebagai polisi cepek untuk ikut secara resmi mengatur lalu lintas di jalanan ibukota. Bahkan Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Halim Pagarra saat itu menyebut bahwa pihaknya sudah mulai melakukan pembinaan terhadap sekitar 480 polisi cepek.

Para "polisi lalu lintas tak resmi" ini lantas tergabung dalam kelompok Sukarelawan Pengatur Lalu Lintas (Supeltas). Mereka dibekali jurus mengatur lalu lintas dan mengurai kemacetan di Jakarta. Tak lupa, mereka diajarkan soal peraturan berlalu lintas.

Afendi, polisi cepek yang beroperasi di area Bekasi membenarkan soal Supeltas ini. Ia sendiri mengaku sudah bergabung di Supeltas sejak tahun 2017 lalu. Meski sehari-harinya, Afendi beroperasi di jalanan kota Bekasi, tepatnya di perempatan Bekasi Timur menuju Jakarta.

Bekerja sejak 1999, Afendi mengetahui adanya peraturan yang melarang keberadaan polisi cepek. Tapi karena sudah "direkrut" oleh Polsek setemat sebagai Supeltas, Afendi tak khawatir dengan profesinya itu.

Default Image IDN

“Waktu itu saya diberikan arahan oleh Kapolsek untuk menjadi sukarelawan lalu lintas jadi saya sukarela lah mengatur jalanan dan boleh menerima uang asal tidak memaksa karena ada sanksinya,” jawabnya saat ditanyai Rappler beberapa saat lalu.

Afendi yang sehari-harinya bekerja selama 2 jam menggunakan penghasilannya untuk memnuhi kebutuhan keluarganya. Berbeda dengan Aditya, Afendi mengaku hanya menghasilkan Rp 50 ribu ketika jalanan sedang ramai dan Rp 30 ribu ketika jalanan sedang sepi.

Membantu pengguna jalan?

Sonang Lee (43), seorang karyawan swasta yang setiap harinya mengendari mobil ke kantor mengaku sering menemui para polisi cepek di jalanan, terutama di jam-jam sibuk. “Saya selalu kasih sih. Karena menurut saya mereka sudah bantu mengatur jalan apalagi panas-panasan untuk mengatur jalan luas yang kadang polisi tidak mengatur daerah itu,” jelasnya pada Rappler.

Pernah mendengar tentang rencana polisi cepek akan bekerjasama dengan Polsek setempat, Sonang pun setuju jika keduanya bisa bekerja sama dengan baik.

Pendapat berbeda disampaikan oleh Erika Meiliani (20), seorang mahasiswi yang mengaku sering memberi uang kepada polisi cepek walaupun tak sepenuhnya setuju dengan kehadiran mereka yang ikut mengatur lalu lintas.

“Keberadaan mereka malah bikin tambah macet. Kadang juga ngatur seenaknya. Saya pribadi kurang setuju kalau ada polisi cepek gitu. Tapi kalau ada peraturan ya kalau bisa mereka juga ditertibkan dengan benar jadi enggak seenaknya aja ngatur jalan,” katanya pada Rappler.

—Rappler.com

Share
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us