Forum Purnawirawan TNI Surati DPR, MPR dan DPD Desak Pemakzulan Gibran

Jakarta, IDN Times - Forum Purnawirawan TNI menyurati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk memakzulkan Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka. Surat berjumlah satu lembar itu bernomor 003/FPPTNI/V/2025.
"Dengan ini kami mengusulkan kepada MPR RI dan DPR RI untuk segera memproses pemakzulan (impeachment) terhadap Wakil Presiden berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku," demikian bunyi surat tersebut sebagaimana dikutip IDN Times, Selasa (3/6/2025).
Sekretaris Forum Purnawirawan TNI, Bimo Satrio, membenarkan telah mengirimkan surat usulan pemakzulan tersebut ke parlemen, baik DPR RI, MPR RI, dan DPD RI. Ia mengatakan, pihaknya bahkan sudah menerima surat tanda terimanya pada Senin (2/6/2025).
"Ya betul. Sudah. Sudah ada tanda terimanya dari DPR, MPR dan DPD," kata Bimo saat dikonformasi IDN Times melalui pesan suara.
Bimo mengatakan, pihaknya telah menjelaskan secara rinci dari segi hukumnya. Ia mengatakan, Forum Purnawirawan TNI mengaku siap dipanggil oleh DPR, MPR, dan MPR RI bila ingin meminta penjelasan lebih jauh atas maksud pemakzulan itu.
"Ya betul. Jadi surat itu kita kasih dalam segi hukumnya nanti kalau belum jelas dari DPR, MPR, DPD RI kita siap purnawirawan untuk rapat dengar pendapat," kata dia.
Adapun, yang mendasari Forum Purnawirawan TNI mengusulkan pemakzulan terhadap Gibran adalah UUD 1945 amandemen II Pasal 7 A yang berbunyi: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7 B :
Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
2. TAP MPR RI No. XI/1998
Pasal 4 berbunyi: Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglemerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia.
3. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (2) yang berbunyi: ”Mahkamah Konstitusi memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden.”
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 3 ayat (1): ”Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian
pengadilan”.
Pasal 17 ayat (5): Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Pasal 17 ayat (6): Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 17 ayat (7): Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.