Greenpeace Kritik Pemerintah Fokus Jual Karbon tapi Abai Masalah Dasar

- Greenpeace Indonesia mengkritik fokus pemerintah pada perdagangan karbon di COP30. Masalah mendasar seperti deforestasi, ketergantungan energi fosil, dan perlindungan masyarakat adat dinilai belum tuntas.
- Mekanisme Article 6 Perjanjian Paris seharusnya digunakan untuk meningkatkan ambisi iklim, bukan sekadar mencari efisiensi biaya.
- Tantangan mendasar seperti lemahnya koordinasi antar instansi, integritas data emisi, serta pelibatan masyarakat adat dan lokal belum terselesaikan.
Jakarta, IDN Times - Greenpeace Indonesia mengkritik fokus pemerintah pada perdagangan karbon di COP30, sementara masalah mendasar seperti deforestasi, ketergantungan energi fosil, dan perlindungan masyarakat adat dinilai belum tuntas.
Kritik ini mengemuka saat pemerintah mempromosikan 44 proyek karbon dalam forum "Sellers Meet Buyers" di konferensi iklim COP30, Belem, Brasil.
“Pasar karbon terus dipromosikan, sementara di dalam negeri kita masih berkutat dengan masalah FPIC (Free, Prior, and Informed Consent), hak masyarakat adat, deforestasi, dan ketergantungan energi fosil,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, dikutip dalam keterangan pers, Jumat (14/11/2025).
1. Pasar karbon digenjot, risiko mengorbankan standar sosial dan lingkungan

Di tengah promosi 44 proyek karbon dengan potensi 90 juta ton CO2e di COP30, Greenpeace Indonesia menyoroti kondisi kesenjangan antara retorika internasional dan realitas di lapangan dalam melakukan penjualan karbon. Menurut Iqbal, ketimpangan struktural antara negara penjual dan pembeli menjadi permasalahan yang harus diperhitungkan.
“Negara maju memiliki sumber daya dan kapasitas teknis jauh lebih besar, sementara negara berkembang seperti Indonesia berada dalam posisi tawar yang lemah,” kata Iqbal.
Iqbal menyebut kondisi ini bisa menimbulkan race to the bottom, yaitu negara berlomba menawarkan harga karbon yang lebih murah, serta mengorbankan standar sosial dan lingkungan.
“Akibatnya, masyarakat adat dan lokal yang menjaga ekosistem terpinggirkan,” ujar Iqbal.
2. Risiko greenwashing internasional

Selain itu, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, juga menyoroti langkah pemerintah untuk tetap menjual karbon meski penurunan emisi belum mencapai target.
Nadia mengutip laporan Indonesia First Biennial Transparency Report (2024) yang justru menunjukkan capaian penurunan emisi Indonesia pada 2019, masih berada di atas target penurunan emisi yang seharusnya. Emisi sempat sejajar target selama pandemik 2020, namun kembali meningkat setelahnya.
Sementara, Climate Action Tracker (CAT) menilai komitmen iklim Indonesia masih critically insufficient untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5°C.
Menurut Nadia, Mekanisme Article 6 Perjanjian Paris seharusnya digunakan untuk meningkatkan ambisi iklim, bukan sekadar mencari efisiensi biaya. Namun menurut analisis civil society, jika NDC Indonesia masih jauh dari sains iklim, penjualan kredit karbon berisiko menjadi bentuk greenwashing internasional. Negara maju dapat membeli karbon murah tanpa benar-benar meningkatkan ambisi global.
Nadia mengingatkan sebelum menjual kredit karbon ke luar negeri, pemerintah harus memastikan pencapaian target NDC terlebih dahulu.
"Kalau target nasional belum tercapai, menjual kredit karbon justru bisa membuat kita kehilangan kesempatan untuk menurunkan emisi sendiri," tegasnya.
3. Masyarakat adat dan tantangan integritas karbon Indonesia

Sementara pemerintah menyiapkan perangkat regulasi, termasuk Perpres No. 110/2023 tentang Nilai Ekonomi Karbon dan sistem registri nasional, payung hukum bagi masyarakat adat justru tertunda. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat belum juga disahkan, padahal masyarakat adat adalah garda terdepan dalam menjaga hutan dan ekosistem penyerap karbon.
“Pemerintah terlihat lebih sibuk menyiapkan mekanisme perdagangan karbon dan NEK (Nilai Ekonomi Karbon) yang katanya inklusif, daripada menuntaskan perlindungan hukum bagi masyarakat adat yang selama ini menjaga karbonnya,” kata Iqbal.
Wakil delegasi Indonesia di COP30, Eddy Soeparno, menilai sistem pasar karbon Indonesia sudah sangat aplikatif dan siap menarik investor internasional. Namun tantangan mendasar seperti lemahnya koordinasi antar instansi, integritas data emisi, serta pelibatan masyarakat adat dan lokal belum terselesaikan.


















