Dulu Berlari Demi Sinyal, Kini Grace Tampil di Panggung AFS STEM 2025

- Grace tampil di panggung AFS STEM 2025 bersama 91 siswa-siswi pilihan dari seluruh Indonesia.
- Program fokus pada kesehatan dan AI dipilih secara strategis, sesuai minat peserta yang banyak membahas sustainability.
- Program ini lebih dari sekadar transfer ilmu pengetahuan teknis, melainkan pembentukan karakter dan jiwa kepemimpinan.
Jakarta, IDN Times – Demi sinyal internet, Jarvechia Graceline harus berlari ke sekolahnya di Tanimbar, Maluku. Seorang siswi kelas X yang lebih tertarik pada sosiologi, tak pernah menyangka akan berhadapan dengan dunia SAINS, robot dan kecerdasan buatan (AI).
Namun, pekan ini, ia berdiri di Jakarta, mempresentasikan proyek teknologi bersama 91 siswa-siswi pilihan dari seluruh Indonesia.
Grace mengaku, awalnya ragu karena berasal dari latar belakang sosiologi, dorongan dari panitia dan semangat program membuatnya yakin untuk bergabung.
"Banyak pelajaran baru yang aku dapat, terkhususnya aku lebih suka empathy dan self-respect. Ini melampaui sekadar ilmu teknis," ucap Grace di Kemayoran, Jakarta Utara.
1. Diikuti 92 pelajar dari seluruh Indonesia

Kisah Grace adalah cerminan dari semangat program AFS Global STEM Innovators 2025. Program intensif ini bukan sekadar ajang unjuk gigi bagi para jenius sains, melainkan sebuah kawah candradimuka yang menempa calon pemimpin masa depan Indonesia.
Selama lima hari, 92 peserta yang lolos dari saringan ketat 1.431 pendaftar tidak hanya duduk di kelas. Siswi yang disapa Grace ini merasakan langsung dunia Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM).
Mereka merakit robotic AI, belajar coding, membedah anatomi tubuh manusia di IMUSEUM IMERI FK UI, hingga berdiskusi langsung dengan para pakar di Fakultas Ilmu Komputer UI dan kantor SKK Migas.
2. Fokus program AI dan coding sesuai minat

Fanny Salsabila selaku Ketua Panitia menjelaskan bahwa workshop ini fokus pada kesehatan dan AI dipilih secara strategis.
"Fokus ini bukan tanpa alasan. Kami ambil karena dari 100 siswa yang terpilih, esai mereka banyak membahas tentang sustainability yang mengarah ke kesehatan, serta tema AI, IoT, dan Python," jelasnya.
3. Bukan sekedar transfer pengetahuan

Sementara Ketua Dewan Pembina Bina Antarbudaya, Asmir Agoes, menekankan bahwa program ini lebih dari sekadar transfer ilmu pengetahuan teknis. Menurutnya, fondasi utama yang ingin dibangun adalah karakter dan jiwa kepemimpinan.
"Ini bukan sekadar program teknis, ini tentang pembentukan karakter. Jadi watak dulu kita binanya. Kita membina anak-anak muda untuk menjadi pemimpin masa depan. Kami ingin rasa kebangsaan mereka meningkat. Seperti alumni kami dulu, kalau dengar lagu Indonesia Raya di luar negeri, nangis." katanya.
Kisah Grace menjadi cerminan dari semangat inklusivitas yang diusung Bina Antarbudaya, di mana setiap anak, terlepas dari lokasi dan keterbatasan, memiliki hak yang sama untuk berkembang.
















