Kronologi Cluster di Bekasi Digusur Meski Penghuni Punya SHM

- Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II melakukan eksekusi terhadap sebagian bangunan di Cluster Setia Mekar Residence 2, Kabupaten Bekasi.
- Eksekusi berawal dari transaksi jual beli tanah pada 1990, yang melibatkan beberapa pihak dan berujung pada sengketa hingga saat ini.
- Warga penghuni cluster tak terima lahannya dieksekusi meskipun sudah memiliki surat hak milik (SHM) yang sah.
Bekasi, IDN Times - Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II melakukan eksekusi atau penggusuran terhadap sebagian bangunan di Cluster Setia Mekar Residence 2, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi pada Kamis (30/1/2025) lalu.
Eksekusi tersebut diketahui berdasarkan putusan Negeri Bekasi dengan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997 dan obyek pengosongannya berupa 27 bidang tanah seluas 3.100 meter persegi yang terdiri dari rumah dan ruko di sekitar lingkungan Cluster Setia Mekar Residence 2.
Meski sudah dilakukan eksekusi, penghuni cluster tak terima lahannya dieksekusi. Sebab, warga harus meninggalkan lahannya meskipun sudah memiliki surat hak milik (SHM).
1. Berawal dari transaksi pada 1990

Eksekusi 27 bidang tanah di Cluster Setia Mekar Residence 2 diketahui berawal dari transaksi jual beli terhadap tanah seluas 3,6 hektare pada 1990. Saat itu, tanah tersebut tercatat bersertifikat dengan nomor 325 atas nama Juju Saribanon Doli.
Perwakilan developer sekaligus penghuni cluster, Abdul Bari menjelaskan, pada 1990, Juju diketahui melakukan transaksi jual beli tanah dengan seseorang bernama Abdul Hamid.
Saat itu, Juju membuat akta jual beli (AJB) sebagai bukti kwitansi pembelian tanah. Meskipun baru hanya membayar uang muka, Juju langsung menyerahkan sertifikatnya ke Abdul Hamid.
Setelah sertifikat berpindah, Abdul Hamid langsung berniat menjual tanah tersebut ke pihak lain. Abdul Hamid pun meminta kepada Bambang Herianto untuk menawarkan tanah seluas 3,6 hektare tersebut ke calon pembeli.
"Ditunjuklah anak buahnya bernama Bambang Herianto. Dia diberikan kuasa untuk memasarkan tanah tersebut," kata Bari, dikutip Selasa (4/2/2025).
Bari mengatakan, Bambang langsung mendapatkan calon pembeli bernama Kayat tak lama setelah diberikan kuasa. Transaksi jual beli itu pun terjadi dan sertifikat tanah atas nama Juju berpindah ke tangan Kayat.
Setelah itu, Kayat meminta Abdul Hamid untuk dipertemukan dengan Juju dengan tujuan untuk mengubah nama sertifikat dari Juju ke Kayat. Setelah mengetahui permintaan tersebut, Abdul Hamid secara tiba-tiba langsung menghilang.
Abdul Hamid juga saat itu belum melunasi sisa pembayaran pembelian tanah kepada Juju. Merasa dirugikan, Juju langsung melaporkan Abdul Hamid ke ke Polda Metro Jaya pada 1991.
"Sehingga bukti transaksi jual beli antara Juju dan Abdul Hamid, menurut Juju, dibatalkan," jelas Bari.
Beberapa waktu kemudian, Kayat pum berhasil menemui Juju. Juju pun meminta Kayat menanggung sisa pembayaran Abdul Hamid yang belum dilunasi.
Kayat saat itu menerima permintaan tersebut. Setelah permintaan diterima, Juju kembali membuat AJB dan sertifikat bernomor 325 miliknya pun balik nama dari Juju menjadi atas nama Kayat dengan luas tanah 3,6 hektare.
Setelah balik nama, lanjut Bari, Kayat langsung menjual tanah tersebut. Namun, Ia menjual tanah tersebut dengan memecah sertifikat bernomor 704, 705, 706, dan 707.
"Dari keempat bidang itu, diperjualbelikan lagi kepada banyak pihak. Mungkin sampai hari ini, 50 bidang dari SHM 325," katanya Bari.
Bari menyampaikan, Kayat menjual dua bidang tanah dengan nomor sertifikat 704 seluas 2,4 hektare dan nomor 705 seluas 3.100 meter persegi kepada Toenggoel Paraon Siagian dan sertifkatnya telah dibalik nama menjadi milik Toenggoel.
"Sedangkan bidang tanah dengan sertifikat nomor 706 dan nomor 707 dijual secara acak oleh Kayat," jelas Bari.
2. Bari membeli tanah ke Toenggoel

Bari menjelaskan, anak Abdul Hamid bernama Mimi Jamilah melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bekasi setelah ayahnya meninggal pada 1996. Mimi mengajukan gugatan dengan bermodalkan AJB ketika ayahnya bertransaksi membeli tanah dari tangan Juju.
Terdapat empat pihak sebagai tergugat, yakni Bambang, Kayat, Juju, dan Toenggoel. Gugatan berlangsung panjang. Bahkan gugatan berlangsung hingga ke tingkat Kasasi.
"Tahun 2002 terjadi akta perdamaian antara Mimi dengan tergugat. Setelah perdamaian tersebut, sudah tidak ada lagi isu. Kayat kemudian meninggal," jelas Bari.
Setelah itu, Toenggoel menjual bidang tanah dengan nomor sertifikat 705 seluas 3.100 meter persegi ke Bari.
Sebelum membeli, Bari pun sempat mengecek terlebih dahulu bidang tanah tersebut. Hasilnya, Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Bekasi menyatakan bahwa bidang tanah tersebut tidak bermasalah.
Bari pun selanjutnya melakukan pembayaran sertifikat lahan tersebut berganti nama dari yang sebelumnya Toenggoel menjadi atas nama Bari.
Selanjutnya, Bari membangun cluster dan diperkuat dengan izin mendirikan bangunan (IMB) perumahan. Setelah mendirikan bangunan, Bari pun melakukan kerjasama dengan sebuah bank agar pihak bank memberikan fasilitas Kredit Kepmilikan Rumah (KPR).
"Kemudian balik nama kepada debiturnya. Kemudian pasang HT (Hak Tanggungan). HT yang terpasang 18 dari bank pelat merah," jelas Bari.
3. Penghuni melakukan gugatan

Setelah rumah dan ruko di Cluster Setia Mekar Residence 2 ditempati warga selama bertahun-tahun, para penghuni tiba-tiba kedatangan sebuah surat pemberitahuan eksekusi pengosongan lahan.
Bari mengatakan, warga penghuni cluster telah memiliki SHM sah yang dikeluarkan oleh Kantor ATR/BPN Kabupaten Bekasi. Warga dan developer pun mengaku tidak pernah dilibatkan dalam permasalahan sengketa tersebut.
"Kita tidak tahu duduk perkaranya. Pertempurannya antara siapa dengan siapa, kita enggak tahu," katanya.
Sebelum eksekusi, warga sempat terlebih dahulu mengajukan gugatan dan telah diterima Pengadilan Negeri Cikarang Kelas III. Jadwal sidang pertama pun telah ditetapkan akan berlangsung pada 10 Februari 2025 mendatang.
"Tapi (gugatan) tidak menghentikan proses eksekusi yang dilakukan PN Cikarang," jelasnya.