Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jalan Panjang Penghayat untuk Memperoleh Hak Sama di Dunia Pendidikan

USBN. Septian di antara siswa lain saat mengikuti USBN mapel Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di SMPN 3 Gandrungmangu, Cilacap. Ia mengerjakan lembar soal mapel Kepercayaan itu seorang diri, sementara siswa lainnya di kelas sama mengerjakan lembar soal mapel Pendidikan Agama. Foto oleh Irma Mufikah/Rappler

Oleh Irma Mufikah

CILACAP, Indonesia—Eksistensi penghayat kepercayaan di dunia pendidikan semakin diakui. Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permedikbud) Nomor 27 tahun 2016 tentang layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 

Terbitnya regulasi itu adalah buah perjuangan para penghayat kepercayaan yang sadar akan pentingnya regenerasi. Maklum, anak penghayat selama ini harus dijejali materi mata pelajaran agama yang tidak sesuai dengan keyakinannya. 

Karena itu, penghayat kepercayaan di Cilacap termasuk yang paling getol memperjuangkan persamaan hak itu. 

Bahkan sebelum Permendikbud lahir, 2015 lalu, Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Cilacap mampu mendorong dua sekolah di Cilacap untuk membuka kelas mata pelajaran Kepercayaan bagi siswa penghayat. 

Landasan mereka untuk meyakinkan pihak sekolah adalah Undang Undang Dasar (UUD) yang menjamin pendidikan bagi setiap warga negara. 

Siswa pertama

Sekretaris MLKI Cilacap Muslam Hadiwiguna Putra mengatakan, populasi penghayat kepercayaan di Cilacap sekitar 100 ribu orang, di antaranya adalah anak yang bersekolah di lembaga formal.  Pembukaan layanan pendidikan untuk siswa penghayat diawali dari SMAN 1 Cilacap, 2015 silam. 

Seorang siswi baru, Adelia Permatasari dan orang tuanya kala itu menolak diberi mata pelajaran Agama. Adelia yang menganut kepercayaan Sapto Darmo ini menuntut dilayani pendidikan sesuai kepercayaannya. "Dari situ, kemudian kami (MLKI) berpikir, sudah saatnya dipikirkan regenerasi," katanya.

Pihak sekolah sempat kebingungan. Belum ada referensi sekolah di Cilacap yang lebih dulu membuka kelas Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Regulasi tentang itu pun masih mengambang. 

Terlebih, sekolah tidak memiliki guru khusus yang berkompeten mengajar pendidikan Kepercayaan. Gayung pun bersambut. MLKI Cilacap siap menyediakan guru bagi anak-anak mereka yang menempuh pendidikan di sekolah. 

Alhasil, di tahun ajaran baru itu, untuk pertama kalinya mata pelajaran Kepercayaan diajarkan di sekolah Cilacap. Muslam merelakan waktu dan tenaganya untuk mengajar Adelia, satu-satunya siswa penghayat di sekolah tersebut. Pembelajaran dilaksanakan di aula saat ruangan itu tak terpakai. "Meskipun siswanya hanya satu, harus dilayani karena itu hak,"katanya

Meski menjadi siswa pertama yang mendapatkan layanan pendidikan Kepercayaan, Adelia Permatasari tak merasa canggung. Ia cuek saja jika ada anggapan miring orang terhadapnya. Untungnya, ia merasa teman-temannya di sekolah bersikap inklusif dan bisa menerima perbedaan. 

Adelia kini baru saja menamatkan pendidikannya di SMA N 1 Cilacap. Ia juga termasuk siswa yang pertama kali mengikuti Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) 2018 untuk mata pelajaran Kepercayaan. 

Saat SD dan SMP, Adelia terpaksa mengikuti mapel Agama sebagai syarat mencapai kelulusan. Kini, saat pemerintah mulai mengakui hak pendidikan penghayat, Adelia enggan menyiakannya. Termasuk saat kuliah nanti, ia akan tetap menuntut haknya sebagai mahasiswi penghayat agar pihak kampus memberikan layanan pendidikan kepercayaan untuknya. 

Ia yang telah diterima di Universitas Negeri Solo (UNS) akan mengomunikasikan itu segera dengan rektorat sebelum kuliah dimulai. "Biasanya kalau semester awal dapat mata kuliah Agama, saya ingin dapat mata kuliah Pendidikan Kepercayaan. Nanti koordinasi dengan MLKI di Solo untuk pengajarnya," katanya.

Setahun setelah dua sekolah di Cilacap membuka kelas mapel kepercayaan, tahun 2016, Mendikbud Anies Baswedan menerbitkan Permendikbud Nomor 27 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 

Lahirnya regulasi itu semakin melegitimasi penghayat di Cilacap untuk mendorong sekolah-sekolah lain yang masih ragu untuk melayani siswa penghayatnya. Siswa dan orang tua penghayat di berbagai sekolah berbondong-bondong meminta layanan pendidikan Kepercayaan kepada pihak sekolah dengan dasar regulasi itu. 

Saat ini, 14 sekolah mulai dari tingkat SD sampai SMA di Cilacap telah resmi membuka kelas untuk mata pelajaran Kepercayaan. 

Bertahan dengan stigma

Mengawali perubahan bukan hal mudah bagi guru maupun siswa penghayat. Banyak aral melintang dalam usaha menyukseskan pendidikan Kepercayaan. Tidak semua kepala sekolah, guru, siswa hingga orang tua murid yang legawa menerima keberadaan penghayat di lingkungan sekolah. 

Hal ini tak dipungkiri Muslam. Keberatan mereka terhadap pembukaan kelas untuk penghayat ditarbelakangi banyak faktor, mulai ketidakpahaman mengenai regulasi, hingga cara pandang eksklusif yang menganggap kepercayaan bukan agama yang diakui pemerintah. 

Pandangan semacam itu melahirkan stigma terhadap guru maupun siswa penghayat. Di sini, mental dan keteguhan hati mereka diuji. 

Ada siswa penghayat di sebuah SMK di Cilacap yang putus sekolah karena tak kuat mental menghadapi tekanan di sekolah. Di sekolah lain, kata Muslam, seorang oknum wali kelas SD mengintimidasi murid-murid penghayatnya agar mau kembali ke mata pelaran agama. Pendidikan Kepercayaan di kelas itu pun sempat terhenti sebelum akhirnya dibuka kembali setelah sang guru mendapat teguran dari dinas. 

Septian, siswa penghayat di SMPN 3 Gandrungmangu Cilacap merasakan sendiri bagaimana beratnya menjadi kaum minoritas di sekolah. 

Ia mengaku sempat mendapat cibiran dari siswa lain yang mempermasalahkan keyakinannya. Untung Septian kuat mental hingga dia bisa melalui hambatan itu dan berhasil merampungkan pendidikannya setelah lulus dari Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) mapel kepercayaan, April 2018 lalu. "Ya dikatain penghayat gitu,"katanya.

Default Image IDN

Ujian berat tidak hanya dialami siswa, guru penghayat pun mengalami hal serupa. Jumadi, guru Kepercayaan di tiga sekolah di Kecamatan Adipala dan Binangun Cilacap sempat merasa dihakimi oleh para guru saat pertama kali menginjakkan kaki di sekolah. Ia dicecar beragam pertanyaan yang memojokkan terkait keyakinan yang dianutnya. 

Padahal kedatangannya hanya ingin memenuhi hak siswa penghayat di sekolah itu yang meminta dilayani pendidikan Kepercayaan. Siswa maupun orang tua sudah melayangkan surat pernyataan bermaterai yang isinya, memohon pihak sekolah memenuhi layanan pendidikan Kepercayaan untuk mereka.  

Pihak sekolah selanjutnya berkoordinasi dengan MLKI untuk menyediakan gurunya. "Saya anggap yang belum terima itu yang belum mengerti aturan, yang sudah tahu ya diam," katanya.

Jumadi juga menceritakan perjuangan beratnya untuk memenuhi hak siswa penghayat di sekolah yang diampunya. Ia harus mengajar siswa bukan di kelas, namun di laboratorium atau perpustakaan saat ruangan itu tak terpakai. 

Di awal-awal, sampai beberapa bulan pelaksanaan pembelajaran, ia bahkan harus membawa papan tulis dan perangkat pembelajaran lain sendiri karena pihak sekolah tak menyediakannya. "Papan tulis bawa sendiri, spidol, penghapus bawa sendiri, bahkan kursi bawa sendiri,"katanya

Jumadi tak masalah keluar modal asal pembelajaran bisa berjalan. Padahal ia tak mendapat pemasukan atau upah dari profesinya itu. 

Guru relawan

Kuswanto berpakaian rapi, lengkap dengan sepatu pantofel yang membuat penampilannya klimis saat mengajar di SMP N 3 Gandrungmangu Cilacap. Meski pakaiannya berbeda dengan seragam guru lainnya di sekokah itu, ia tetap percaya diri mengajar. 

Kuswanto mengajar Pendidikan Kepercayaan di tiga sekolah di tiga kecamatan berbeda, SMPN 3 Gandrungmangu, SMP N 1 Cipari dan SMK Yos Sudarso Sidareja. Setiap hari, Kuswanto harus pontang panting menuju sekolah di kecamatan lain dengan jarak cukup jauh  dari tempat tinggalnya. 

Nyaris tiada waktu bagi dia untuk mencari nafkah di bidang lain. Hari-harinya disibukkan dengan aktivitas mengajar. Sayang, untuk pekerjaan yang menyita banyak waktunya itu, Kuswanto tak mendapatkan upah layaknya guru lain meski menjalankan fungsi sama. 

Mengajar Kepercayaan bagi Kuswanto adalah pengorbanan. Tidak masalah ia mengajar gratisan, asal siswa penghayat dapat terpenuhi hak pendidikannya sesuai keyakinan yang dianut. 

Terlebih, pengakuan pemerintah terhadap hak siswa penghayat adalah momentum yang telah lama dinanti. Ia tak ingin kesempatan itu pupus hanya karena ketiadaan guru yang mengajar. 

Di lain sisi, tentu ia tak rela siswa penghayat diajar oleh guru yang tidak kompeten di bidangnya. Sebab pemerintah belum memiliki tenaga pendidik dengan kualifikasi Sarjana Pendidikan Kepercayaan. 

Karena itu, Kuswanto berkomitmen akan terus mengajar demi terlayaninya hak anak-anak penghayat. Meski untuk itu, duda anak satu itu harus berkorban banyak hal. "Sampai sekarang saya belum menikah lagi karena belum tentu calon istri saya siap dengan pekerjaan saya ini," katanya.

MLKI Cilacap begitu bersemangat untuk memikirkan pendidikan bagi anak-anak mereka.  Saat ini, MLKI bahkan memiliki kurang lebih 12 guru penghayat yang berbagi tugas untuk mengajar di 14 sekolah di Cilacap. 

Mereka rata-rata berpendidikan setingkat SMA, atau lebih rendah. Para guru relawan ini punya latar belakang profesi yang beragam, mulai dari petani, tukang bangunan hingga buruh serabutan. 

Menjadi guru bukan hal mudah. Mereka tidak punya latar belakang ilmu kependidikan. Padahal untuk mengajar butuh keahlian. Karena itu, tidak semua tokoh peghayat bisa mengajar,  meski pengetahuan mereka di bidangnya mumpuni. 

Ketua MLKI Cilacap Basuki Rahardja mengatakan, untuk memenuhi kualifikasi itu, pihaknya membekali calon guru sebelum diterjunkan ke sekolah untuk mengajar. MLKI memberikan diklat agar mereka punya kepercayaan diri dalam mengajar. Di antaranya terkait teknik mengajar, hingga pemahaman soal silabus, atau materi ajar. 

Angin segar kini berhembus di tengah mereka. Pemerintah melalui Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memberikan kesempatan kepada guru penghayat dengan kualifikasi pendidikan akhir minimal SMA dan usia di bawah 50 tahun untuk mengikuti diklat atau program sertifikasi. 

Basuki berharap diklat untuk guru penghayat ini bukan hanya meningkatkan kemampuan mereka mengajar, tetapi jadi langkah awal bagi pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan mereka. "Tentu harapannya ke arah situ, kesejahteraan. Karena mereka ini menjalankan tugas negara," katanya.

MLKI juga terlibat dalam penyediaan perangkat pembelajaran, baik guru maupun buku ajar mapel Kepercayaan yang telah disiapkan. Bahan ajar berisi intisari atau pokok ajaran dari seluruh paguyupan kepercayaan, antara lain menyangkut materi Ketuhanan dan budi pekerti. 

Kasi Sekolah Dasar (SD) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Cilacap Untung Mayogo mengatakan, pemerintah memang belum menyediakan anggaran khusus untuk guru Kepercayaan. Kendati demikian, menurut dia, terbuka kesempatan bagi guru kepercayaan untuk mendapatkan hak kesejahteraan dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sebagian alokasi BOS memang diperbolehkan untuk menggaji guru atau pegawai bukan PNS di sekolah. 

Masalahnya, kata Untung, pengajar kepercayaan tidak memenuhi kualifikasi guru, di antaranya mensyaratkan lulusan S1 atau mengajar sesuai jurusannya. Sedangkan guru penghayat rata-rata berpendidikan akhir SMA atau di bawahnya. Karena itu, mereka selama ini disebut penyuluh, bukan guru. 

Karena tak masuk kualifikasi guru, para pendidik ini, kata dia, masih bisa diberikan upah melalui alokasi BOS untuk tenaga non guru, semisal dimasukkan dalam kategori pembina ekstrakurikuler. "Ya paling yang memungkinkan itu, pembina ekstra," katanya.

—Rappler.com

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us