Jejaring Teror IS di Indonesia

JAKARTA, Indonesia—Serangkaian aksi bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya pada 13-14 Mei 2018 mengindikasikan jejaring kelompok teror yang berafiliasi dengan Islamic State (IS) di Suriah masih potensial menghadirkan ancaman keamanan bagi Indonesia.
Namun demikian, menurut pakar terorisme Institute for Policy Analysis of Conflic (IPAC) Sidney Jones, rangkaian aksi teroris yang terjadi di Indonesia bukan berarti menunjukkan kekuatan kelompok teroris yang berafiliasi dengan IS di Indonesia.
“Bisa jadi ini justru menunjukkan kelemahan kelompok teroris yang berafiliasi dengan IS. Di Suriah, Raqqa dan Mosul telah jatuh dan IS terus kehilangan teritorinya. Rekrutmen terus menurun dan mereka mencari taktik-taktik spektakuler untuk menunjukkan eksistensi mereka,” ujar Sidney di Jakarta, belum lama ini.
Sejak awal Mei, setidaknya 49 orang tewas dalam aksi ‘saling serang’ antara kepolisian dan kelompok teroris, sebanyak 12 di antaranya warga sipil, tujuh polisi dan 30 teroris. Serangkaian serangan dan penangkapan itu terjadi pascakerusuhan berdarah di Mako Brimob, Depok, pada 8 Mei 2018.
Serangkaian aksi teror tersebut, menurut Sidney, mengonfirmasi fakta bahwa pengikut IS di Indonesia tidak sepenuhnya bersatu di bawah satu bendera. Terdapat banyak kelompok teroris di Indonesia yang mendeklarasikan loyalitas terhadap pemimpin IS Abu Bakr al-Baghdadi pada Juni 2014, tak lama setelah al-Baghdadi menetapkan Mosul, Irak, sebagai ibu kota kekalifahan IS.
“Dan meskipun kelompok terbesar dalam jaringan ini ialah JAD tak semua aksi kekerasan pada Mei dilakukan oleh anggota JAD dan tidak semua aksi terorisme JAD terkoordinasi. Ketiadaan struktur organisasi payung membuat ideologi IS sulit untuk dihancurkan karena satu grup bisa saja tetap mempertahankan ideologi tersebut meskipun yang lain telah membuangnya,” ujar dia.
Berbasis data yang dipresentasikan IPAC, Rappler merangkum seluk beluk jejaring kelompok teroris yang berafiliasi dengan IS di Indonesia pascateror Surabaya.

Jamaah Ansharut Daulah (JAD)
JAD saat ini merupakan kelompok teroris berafiliasi dengan IS terbesar di Tanah Air. Selain dapat diindikasikan lewat rapatnya frekuensi serangan yang digelar JAD sejak 2016, hal itu tak terlepas dari kemampuan JAD merekrut anggota di bawah pimpinan Aman Abdurrahman. Aman disebut sebagai penerjemah kebijakan ‘IS’ untuk jejaring teror di Indonesia.
Aman yang bernama asli Oman Rachman lahir di Sumedang, Jawa Barat, pada 1972. Ia merupakan lulusan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) dan sempat menggeluti profesi sebagai guru di sejumlah pesantren di Jawa Barat sebelum memulai petualangannya sebagai ideolog bagi IS.
Keterlibatan Aman dalam dunia terorisme dimulai pada 2004 ketika ia membuka ‘kursus’ pembuatan bom bagi murid-muridnya di sebuah pesantren di Cimanggis, Bogor. Akibat perbuatannya itu, dia dihukum 7 tahun penjara dan dibebaskan pada 2007 setelah mendapat remisi.

Menggunakan nama pena Abu Sulaiman, pengaruhnya di kelompok jihadis menguat setelah dia menerjemahkan sejumlah karya milik Abu Muhammad al-Maqdisi, mentor mantan pemimpin Al Qaeda, Abu Musab al-Zarqawi. Zarqawi yang tewas pada disebut-sebut sebagai ‘bidan’ lahirnya IS di Suriah dan Irak. Bahkan, menurut peneliti RSIS Nanyang University, Singapura, V Arianti, kelompok-kelompok teroris di Indonesia butuh persetujuan dari Aman jika ingin bergabung dengan IS.
Pada 2015, Aman mendirikan JAD. Organisasi teroris tersebut dibentuk oleh Aman dengan maksud memayungi seluruh kelompok jihadis di Indonesia. Rata-rata anggota JAD merupakan bekas murid Aman. Pada saat didirikan, diketahui JAD memiliki 24 orang anggota. Meskipun tidak memiliki struktur yang jelas, anggota JAD memiliki jaringan yang lebih kohesif ketimbang kelompok teroris lainnya.
Pada 2016, nama JAD mulai mengemuka setelah mengarsiteksi aksi teror terkoordinasi di kawasan Thamrin, Jakarta. Dalam aksinya, JAD mengombinasikan serangan bom bunuh diri dengan serangan bersenjata. Ketika itu, 8 orang meninggal dan 25 lainnya luka akibat aksi teror JAD. Kelompok didikan Aman itu juga diduga menjadi dalang aksi bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu dan Bom Samarinda pada 2017. Terbaru, JAD juga menjadi dalang serangkaian aksi teror di Surabaya.
Aman yang saat ini mendekam di penjara dituntut hukuman mati karena keterlibatannya dalam kasus bom Thamrin dan sejumlah aksi teroris di Indonesia. Meskipun berada di balik jeruji, pengaruh Aman sebagai ideolog IS di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Tausiah-tausiah Aman kerap diduga menjadi motivasi bagi residivis kasus terorisme kembali menggelar aksi teror setelah keluar dari penjara.

Khatibul Iman
Menurut Sidney Jones, saat ini Khatibul Iman dipimpin oleh Abu Husna alias Abdurrohim. Sempat mendekam di penjara karena terlibat kasus terorisme di Poso, Abu Husna bebas pada 2015 lalu dan dikabarkan kembali ke kampung halamannya di Solo. “Pengikutnya ada di Jambil dan Solo. Khatibul Iman juga memiliki kontak di Suriah,” ujar Sidney.
Abu Husna merupakan alumni pesantren Ngruki yang dipimpin oleh Ustad Abu Bakar Ba’asyir. Ia bahkan sempat disebut-sebut sebagai pemimpin Jamaah Islamiyah yang baru setelah Zarkasih dan komandan laskar Abu Dujana tertangkap. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 2008 lalu, Abu Dujana mengatakan, Abu Husna pernah menjadi muridnya saat berlatih di Kamp Hubadia, Moro, Filipina, pada awal tahun 2000.
Meskipun pernah menolak kepemimpinan Aman Abdurrahman di JAD, menurut pengamat teroris Al Chaidar, Abu Husna merupakan salah satu sosok potensial yang diproyeksikan menggantikan peran Aman di jejaring teroris IS di Indonesia.
Al-Hawariyun
Nama Al-Hawariyun mulai mengemuka saat Densus 88 Polri menangkap ke-9 anggotanya dalam aksi unjuk rasa Bela Islam pada 4 November 2016. Al-Hawariyun yang dipimpin oleh Saulihun alias Abu Nusaibah ketika itu berencana menggelar aksi teror mendompleng unjuk rasa politik anti-Ahok. Abu Nusaibah dan kawan-kawannya juga berencana mengibarkan bendera IS di Istana Negara.
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar, ketika itu, Al Hawariyun berbahaya karena memiliki tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah. “Target mereka ikut perjuangan Daulah Islam. Mereka menyebut lebih baik jadi serigala daripada jadi kambing sepanjang masa. Walaupun kecil, tak bisa dipandang remeh. Mereka mencoba mengembangkan pengaruh menjadi besar,” ujar Boy.
Al-Hawariyun diberitakan turut mengirimkan kader-kader mereka ke Suriah dan Marawi, Filipina. Abu Nusaibah sendiri hingga kini masih mendekam di tahanan karena keterlibatannya sebagai provokator dalam aksi 411 dan dituntut hukuman 10 tahun penjara.

NII pro-IS
Jaringan Negara Islam Indonesia (NII) merupakan jaringan kelompok radikal yang dibentuk terinspirasi oleh paham yang dikembangkan Kartosuwiryo. Pada dekade 1960-an, Kartosuwiryo dan laskarnya menggelar perang gerilya dan kerap menggelar aksi teror sebagai bentuk kekecewaan terhadap berdirinya NKRI berbasis Pancasila.
Saat ini, tercatat ada 14 Komandemen Wilayah (KW) NII dengan jumlah anggota diperkirakan mencapai 15 ribu orang. Kelompok radikal ini memandang NKRI sebagai bentuk negara kafir dan siap melakukan segala cara untuk menjatuhkannya.
Menurut laporan BBC pada 2011, pondok pesantren Al Zaytun, Indramayu, Jawa Barat merupakan markas NII KW 9 yang dipimpin oleh Panji Gumilang alias Abu Toto. NII KW 9 disebut sebagai kelompok NII terbesar karena jumlah anggotanya yang besar dan pendanaan yang kuat. Al Zaytun juga kerap disebut sebagai markas seluruh NII di Indonesia.
Nama NII kembali mengemuka pascaaksi teror di Mapolda Riau, Pekan Baru, pertengahan Mei lalu. Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto sempat mengatakan kelompok terduga teroris di Riau merupakan anggota NI meskipun pernyataan itu kemudian dibantah oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Menurut Tito, terduga teroris tersebut masih berkaitan dengan JAD.
Pengamat teroris Al Chaidar mengatakan, tidak tertutup kemungkinan jika ada kelompok NII yang ikut bergabung bersama JAD, meskipun secara perseorangan. Pasalnya, tercatat ada 3 dari 14 faksi kelompok NII yang sudah besumpah setia kepada IS. Pada 2014, sejumlah anggota NII juga kedapatan berangkat ke Suriah untuk berperang bersama IS.

Mujahiddin Indonesia Timur (MIT)
Sepeninggal Santoso yang tewas pada Juli 2016, pucuk pimpinan MIT dikabarkan jatuh ke tangan Ali Ahmad alias Ali Kalora. Nama Ali Kalora merujuk pada tempat kelahiran Ali di Kalora, Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Di MIT, Ali merupakan salah satu pengikut senior Santoso bersama Basri dan Daeng Koro. Sepeninggal Daeng Koro, Ali dipercaya memimpin MIT dalam perang gerilya melawan pasukan gabungan Polri dan TNI di hutan Poso.
Menurut peneliti terorisme Universitas Indonesia Ridwan Habib, faktor kedekatannya dengan Santoso menjadi salah satu alasan kenapa Ali dipilih memimpin MIT. Selain itu, Ali yang tumbuh dan besar di pedalaman Poso juga mengenal medan gerilya dengan baik. Pada 2016, Ridwan sempat menyebut MIT di bawah Ali tidak akan bertahan lama karena Ali tidak memiliki militansi yang kuat seperti Santoso.
Namun demikian, hal itu tidak terbukti. Pascakerusuhan berdarah di Mako Brimob, Depok, 11 Mei lalu, Ali Kalora sempat muncul di jagat maya lewat sebuah video yang beredar di Youtube. Dalam video itu, Ali yang didampingi sejumlah anggota MIT lainnya menyerukan para narapidana teroris di Mako Brimob untuk melawan aparat kepolisian yang mengepung Mako Brimob hingga titik darah penghabisan.
Pakar terorisme IPAC Sidney Jones menyebut, ada kemungkinan MIT bangkit kembali di bawah pimpinan Ali. Di sisi lain, Kapolri Tito Karnavian telah menetapkan Ali sebagai buruan paling utama pasukan gabungan Polri dan TNI dalam operasi Tinombala yang saat ini masih digelar di Poso.
—Rappler.com