Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kasus Kekerasan Gender Online, UNFPA Pertanyakan Sanksi Tech Provider

reka sendiri..jpeg
UNFPA Indonesia Assistant Representative Verania Andria pada konferensi pers di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (IDN Times/Anggia Leksa)
Intinya sih...
  • UNFPA menyoroti tanggung jawab teknologi untuk mencegah kekerasan gender online.
  • Penyedia layanan teknologi harus memiliki sistem internal yang mampu merespons aduan dan mendeteksi tindakan kekerasan digital.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – United Nations Population Fund (UNFPA) menyoroti belum adanya sanksi yang mengikat penyedia teknologi (technology provider) untuk mencegah dan merespons kekerasan berbasis gender secara online.

“Kelemahan regulasi ini sangat berbahaya, mengingat target kelompok UNFPA perempuan dan anak perempuan merupakan kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan digital,” kata UNFPA Indonesia Assistant Representative, Verania Andria, dalam konferensi pers di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025)

1. Belum adanya sanksi yang mengikat bagi penyedia teknologi

Sanksi pidana pajak
ilustrasi sanksi pidana (unsplash.com/Tingey Injury Law Firm)

Verania mengatakan, isu untuk mengikat tanggung jawab ini baru berupa surat edaran dan bukan regulasi setingkat undang-undang atau peraturan pemerintah, maka kebijakan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang tegas.

“Jadi kalau kita lihat di Komdigi, isu tentang bagaimana mengikat tanggung jawab teknologi provider itu baru berupa surat edaran. Tapi belum ada punishment,” kata Verania.

Dia mengatakan, para penyedia layanan teknologi harus memiliki sistem internal yang mampu merespons aduan dan mendeteksi tindakan yang dapat menyebabkan kekerasan seksual atau kekerasan digital lainnya.

2. Perlunya prinsip producer responsibility pada isu digital

Ilustrasi kekerasan seksual (Foto: IDN Times)
Ilustrasi kekerasan seksual (Foto: IDN Times)

Tak hanya itu, Verania membandingkan kondisi ini dengan isu-isu lain, seperti lingkungan, di mana ada producer responsibility yang mewajibkan produsen bertanggung jawab atas produknya, seperti mendaur ulang plastik.

Menurut dia, prinsip tanggung jawab kolektif ini seharusnya juga berlaku bagi penyedia teknologi dalam isu kekerasan berbasis gender.

Dia mencontohkan Meksiko yang telah mengesahkan Undang-Undang Olimpia pada tahun 2021 dan secara spesifik mengatur dan mengenali kekerasan digital.

"Jadi undang-undang olimpia sudah ada 2021 di Meksiko, dia mengesahkan undang-undang, kenali sebagai undang-undang kekerasan digital, sangat spesifik," ujar dia.

3. Upaya penanganan yang dinilai belum maksimal

Ilustrasi regulasi (IDN Times/Fadillah)
Ilustrasi regulasi (IDN Times/Fadillah)

Sebelumnya, layanan aduan kekerasan digital di Indonesia memang sudah tersedia melalui Komdigi dan kerja sama dengan Kemen PPPA (SAPA 129). Namun, tanpa regulasi yang kuat dan sanksi bagi penyedia teknologi, upaya penanganan dari hulu ke hilir dinilai masih pincang.

Oleh karena itu, UNFPA menekankan meskipun layanan aduan sudah ada, kekuatan regulasi yang lemah membuat penanganan tidak efektif. Tanpa adanya sanksi yang mengikat, penyedia teknologi tidak memiliki kewajiban hukum yang kuat untuk berinvestasi dalam pencegahan dan respons internal yang memadai, membuat kelompok rentan terus terancam di ruang digital.

Share
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us

Latest in News

See More

Nadiem Makarim dan Stafsusnya Calon Tersangka Korupsi Google Cloud

20 Nov 2025, 22:53 WIBNews