Kekerasan Anak seperti Fenomena Gunung Es, Pola Asuh Jadi Penting

Jakarta, IDN Times - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA men) mengungkapkan kekerasan pada anak yang terlihat selama ini seperti fenomena puncak gunung es.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 dan 2018, menunjukkan tren penurunan jumlah kasus kekerasan anak. Meski begitu, angkanya masih terbilang tinggi.
“Dalam data 2021, masih terdapat fakta bahwa empat dari 10 anak perempuan dan tiga dari 10 anak laki-laki mengalami kekerasan fisik, psikis, atau seksual,” kata Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta Nur dalam Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema ‘Negara Hadir Atasi Darurat Kekerasan Anak’, dikutip Selasa (14/11/2023).
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada Januari-November 2022, terdapat 1.664 anak berusia kurang dari enam tahun yang menjadi korban kekerasan.
1. Ketidakmampuan dalam mengasuh sebagai pendorong utama

Pelaku kekerasan seringkali orang-orang yang dikenal, termasuk orangtua sendiri. Survei juga mengidentifikasi faktor-faktor seperti kemiskinan, ketidaksetaraan sosial, dan ketidakmampuan dalam mengasuh sebagai pendorong utama. Pandemik COVID-19 ternyata jadi pemicu tambahan.
Pada masa itu, orangtua terpaksa menjadi guru selama periode pembelajaran jarak jauh, menambah tekanan pada dinamika keluarga.
“Faktor kesehatan mental juga menjadi isu yang semakin mencuat, menambah kompleksitas masalah kekerasan anak,” kata dia.
2. Parenting menjadi pekerjaan besar saat kondisi keluarga mulai banyak berubah

Sementara itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menyebut peran orangtua dan pola asuh menjadi kunci mitigasi kekerasan terhadap anak. Alhasil, parenting atau keterampilan pengasuhan anak jadi pekerjaan besar di tengah perubahan yang ada dalam tiap-tiap keluarga.
"Peran orangtua dan pola asuh sangat penting. Saat ini parenting menjadi pekerjaan besar, di tengah isu perceraian yang tinggi, beban ekonomi, hingga tingkat pendidikan orang tua yang rendah," ujar Inspektur Jenderal Kemendikbud Ristek, Chatarina Muliana.
3. Tak banyak orang tua mendapatkan pendidikan parenting

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah juga mengatakan tak banyak orangtua memahami pola asuh anak. Hal ini yang membuat kasus kekerasan anak juga muncul. Dari survei KPAI, hanya sekitar 23 persen orangtua yang pernah mendapatkan pendidikan parenting atau pengasuhan anak.
“Angka ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam persiapan orang tua dalam menghadapi peran penting mereka,” kata dia.


















