Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kemenag Gelar AICIS untuk Kaji Ulang Relevansi Fikih di Era Digital

Kemenag gelar AICIS 2023 di Surabaya awal Mei 2023 (Dok. Kemenag)

Jakarta, IDN Times - Kementerian Agama akan menyelenggarakan Annual Conference on Islamic Studies (AICIS) 2023 pada 2-5 Mei 2023 di Surabaya, Jawa Timur. Forum ini akan dihadiri para pemangku kepentingan, yang terdiri dari ulama pesantren, akademisi, dan intelektual asing, untuk mengkaji ulang relevansi fikih dan kemanusiaan digital.

Pertemuan ini digelar karena mempertimbangkan perkembangan teknologi informasi dan transformasi digital, yang menghadirkan tantangan bagi relevansi produk yurisprudensi Islam atau fikih. Atas dasar itu, banyak persoalan baru yang harus direspons, antara lain terkait kemanusiaan digital (digital humanity) dan hukum Islam (Islamic Law).

Persoalan-persoalan itu akan dibahas bersama oleh para ulama jebolan pondok pesantren, akademisi perguruan tinggi Indonesia, dan sejumlah intelektual asing dalam forum AICIS Tahun 2023 yang mengangkat tema besar "Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace".

"Ini sebagai upaya menghasilkan rumusan agar praktik keberislaman terus relevan dengan kebutuhan global, khususnya dalam konteks kedamaian, keharmonisan, kesejahteraan kehidupan manusia, termasuk transformasi digital,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Ali Ramdhani dalam keterangannya, Sabtu (29/4/2023).

1. Tujuan diselenggarakannya AICIS 2023

Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Ali Ramdhani (youtube.com/Kemenag RI)

Dhani menjelaskan, AICIS 2023 bertujuan untuk mengembangkan perspektif dan merumuskan konsep baru fikih terkait kemanusiaan universal, kemanusiaan digital, dan perdamaian global, serta mempromosikan best practices keberagamaan di Indonesia pada kemanusiaan universal dan perdamaian global.

“Pendidikan fikih strategis dalam rangka menanamkan fikih ke dalam masyarakat muslim. Kehadiran ulama pesantren sangat penting, karena pesantren terbukti menjadi lembaga pendidikan yang mampu menyiapkan ahli-ahli fikih yang mumpuni. Pendidikan fikih di pesantren layak dijadikan model dalam pendidikan fikih di Nusantara bahkan dunia,” ujar Dhani.

Dijelaskan lebih lanjut, dari kalangan pesantren hadir Ketua Umum PBNU/Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, KH. Dr. (HC) Yahya Cholil Tsaquf; Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, KH. Dr. (HC). Afifuddin Muhajir; dan alumni Ma'had Aly dan Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo, KH. Dr. Muhammad Nahe’I, MA.

2. Tema-tema yang akan dikaji antara lain kontribusi fikih selesaikan masalah kontemporer

Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Ali Ramdhani (Dok. Kemenag)

Sementara itu, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Ahmad Zainul Hamdi menerangkan, kemanusiaan digital menjadi salah satu tema penting yang relevan dikaji.

"Dunia saat ini dihadapkan pada anomali seiring kemajuan informasi dan teknologi. Selain kemudahan, era digital juga membawa banyak masalah, mulai dari perlindungan privasi, pencemaran nama baik, kebebasan berpendapat, dan berekspresi di media sosial," ujar Zainul.

Topik relevan lainnya, lanjut Zainul, mengenai pemasaran digital (bisnis online), anti-plagiarisme, penggunaan teknologi kecerdasan buatan dalam penyelesaian sengketa hukum Islam di pengadilan agama.

Kemudian, juga dibahas peran lembaga keagamaan dalam melawan kekerasan dalam rumah tangga di era digital, memberdayakan kepala rumah tangga perempuan melalui konsep mubadalah dalam pemberdayaan ekonomi, dan menganalisis perspektif hukum Islam tentang kejahatan siber.

“Fikih harus berkontribusi dalam menyelesaikan masalah-masalah kontemporer di era digital ini. Konsep keseimbangan antara hak dan kewajiban, menjaga kehormatan dan melindungi privasi di domain publik dalam wacana fikih perlu dikembangkan menjadi paradigma baru dari kemanusiaan digital,” sebutnya.

3. Ada 4 sesi pleno untuk membahas relevansi fikih

Ilustrasi Al-Qur'an dan Buku Yasin (IDN Times/Besse Fadhilah)

AICIS 2023 terdiri dari empat sesi pleno. Sesi pertama mengangkat tema, "Rethinking Fiqh for Non-violent Religious Practices”. Sesi tersebut akan dipimpin Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, GRAD.DIP.SEA, M.PIL, Ph.D dan akan melibatkan tiga pembicara yakni KH. Dr. (HC). Yahya Cholil Staquf dari Indonesia, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA dari Indonesia, dan Prof. Abdullahi Ahmed An Na'im dari Amerika Serikat.

“Sesi ini akan mengkaji ulang sejumlah konsep fikih klasik yang berkenaan dengan perang, hubungan antaragama, dan status minoritas. Hal itu perlu dilakukan reinterpretasi dan rekontekstualisasi agar fikih selaras dengan perubahan yang mendukung masyarakat yang damai dan toleran,” tuturnya.

Sesi kedua mengangkat tema, "Recounting Fiqh for Religious Harmony." Sesi tersebut akan dipimpin oleh Dr. Muhammad Syairozi Dimyati Ilyas, Lc, MA. Ada empat pembicara, yaitu Prof. Dr. Usamah Al-Sayyid Al Azhary dari Universitas Al Azhar Mesir, Muhammad Al Marakiby, Ph.D dari Mesir, Dr. Muhammad Nahe'i, MA dari Indonesia, dan Prof. Dr. Rahimin Affandi Bin Abdul Rahim dari Malaysia.

“Sesi ini membahas sejumlah doktrin, fatwa, dan rumusan fikih yang dinilai berdampak pada hubungan antaragama. Misalnya, pembangunan rumah ibadah, ucapan hari raya keagamaan, perkawinan beda agama, dan pemurtadan. Ini penting dilakukan agar fikih tidak menjadi pembenaran bagi intoleransi beragama,” sebut Inung.

Sesi ketiga, "Maqashid al-Syariah as a Reference and Framework of Fiqh for Humanity". Sesi tersebut akan dipimpin oleh Prof. Siti Aisyah, MA, Ph.D dan akan melibatkan tiga pembicara yakni Prof. Mashood A. Baderin dari Inggris, KH. Dr. (HC). Afifuddin Muhajir dari Indonesia, dan Prof. Dr. Şadi Eren dari Turki.

“Bagaimana maqashid al-syariah menjadi acuan dalam memecahkan persoalan manusia belum dirumuskan secara jelas dan komprehensif. Padahal, fikih harus memberikan solusi yang didasarkan pada kemaslahatan umat dan kemanusiaan. Sesi ini akan membahas bagaimana kontribusi fikih dalam mengatasi persoalan manusia dapat dirumuskan dengan lebih baik,” jelas Inung.

Sesi keempat, "The Negotiated Shari'ah: Between Religiosity and Humanity in Current Development of Indonesia." Sesi tersebut akan dipimpin oleh Prof. Dr. Eka Srimulyani dan akan melibatkan tiga pembicara yakni Prof. Tim Lindsey Ph.D dari Australia, Prof. Dr. Mohd. Roslan Bin Mohd Nor dari Malaysia, dan Allisa Qotrunnada Wahid dari Indonesia.

4. Penyelenggaraan AICIS 2023 memanfaatkan teknologi digital

Kemenag gelar AICIS 2023 di Surabaya awal Mei 2023 (Dok. Kemenag)

Kasubdit Akademik Diktis Kemenag Abdullah Faqih mengatakan, penyelenggaraan AICIS 2023 di Surabaya akan memanfaatkan teknologi digital yang tersedia. Beberapa teknologi digital yang akan digunakan di antaranya electronic attendance. Para peserta AICIS cukup menunjukkan barcode dari kartu kepesertaannya untuk menunjukkan kehadirannya di masing-masing sesi.

Selain itu, AICIS juga menyediakan layanan aplikasi Onetouch, yaitu layanan sentuhan digital untuk mendapatkan segala informasi di setiap sesi pararel, materi, serta pembicara di konferensi ini. Dukungan teknologi lainnya yang disiapkan oleh AICIS Reform ini adalah siaran live streaming di platform YouTube dan Zoom.

AICIS ke-22 ini juga akan menampilkan 180 paper pilihan yang terbagi menjadi 48 kelas paralel. Ajang ini juga digelar berkolaborasi dengan 10 Pengelola Jurnal Scopus untuk mempresentasikan paper-paper yang telah disubmit ke Jurnal Scopus. Paper tersebut akan dipublikasikan di Jurnal Scopus atau Jurnal Bereputasi Internasional.

“Seluruh materi, termasuk Manual Book AICIS, tersaji dan dapat di-download melalui Pusaka Superapps Kementerian Agama dan AICIS One Touch yang bisa di-download di Play Store,” tambah Faqih.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us