Komnas Perempuan: Kasus Kekerasan ART di Batam Ada Indikasi TPPO

- Korban penyalahgunaan kekuasaan hingga pemanfaatan situasi rentan
- Indikasi kuat terjadinya kekerasan seksual berlapis
Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai kasus penyiksaan pada Asisten Rumah Tangga (ART) berinisial I di Batam, Kepulauan Riau (Kepri) terindikasi adanya praktik perdagangan orang. Korban penyiksaan adalah I seorang ART asal Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Komnas Perempuan, penting bagi polisi untuk mempertimbangkan penerapan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) dalam kasus ini. Hal ini berdasarkan keterangan pendamping korban.
"Fakta-fakta ini menguatkan dugaan adanya tindak pidana perdagangan orang. Pelaku dapat dikenai pidana 3 hingga 15 tahun penjara dan denda antara Rp120 juta hingga Rp600 juta," kata Komisioner Komnas Perempuan, Irwan Setiawan, dalam keterangan resmi, Kamis (26/6/2025).
1. Korban penyalahgunaan kekuasaan hingga pemanfaatan situasi rentan

Hal ini dilihat dari adanya tiga unsur TPPO, yaitu dari proses perekrutan untuk bekerja yang tidak dipahami dan disetujui korban, adanya penyalahgunaan kekuasaan dan pemanfaatan situasi rentan, serta tujuan eksploitasi berupa kerja paksa tanpa upah. Adapula ancaman jeratan utang, kekerasan seksual, serta pembatasan kebebasan.
Dua tersangka dalam tindak penyiksaan ini telah diringkus polisi. Mereka adalah R (43) majikan korban dan MLP (20) rekan sesama ART. Mereka dijerat Pasal 44 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1E dengan ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda Rp30 juta.
2. Indikasi kuat terjadinya kekerasan seksual berlapis

Komnas Perempuan juga menyoroti tindakan pelaku yang menyebut korban dengan kata-kata merendahkan seperti “pelacur” serta kekerasan yang menargetkan organ reproduksi seperti payudara dan vagina. Hal itu dinilai sebagai indikasi kuat terjadinya kekerasan seksual berlapis.
Bentuk kekerasan itu mencakup kekerasan seksual nonfisik, fisik, hingga penyiksaan seksual, sebagaimana dimaksud dalam UU 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Komnas Perempuan mengingatkan bahwa selain proses hukum pada pelaku, pemenuhan hak atas keadilan dan pemulihan bagi korban harus dilakukan, tidak hanya pemulihan fisik namun juga pemulihan psikologis dan hak korban lainnya," ujar Irwan.
3. Kekerasan yang dialami brutal dan berulang

Korban mengalami kekerasan dan eksploitasi sejak mulai bekerja pada Juni 2024. Dia dipukul berulang kali, diminta makan kotoran hewan, minum air comberan, tidak dibayar upahnya selama satu tahun, dan diperlakukan secara tidak manusiawi.
Kronologi kasus menyebutkan kekerasan bermula dari kelalaian kecil, yaitu lupa menutup kandang anjing yang berujung kekerasan brutal dan berulang.