Kronologi Ledakan Amunisi di Garut yang Diperoleh Komnas HAM

- Komnas HAM menyatakan ada kelalaian prosedur pemusnahan amunisi milik TNI AD yang menewaskan 13 orang pada 12 Mei 2025.
- Pemusnahan dilakukan dalam dua gelombang oleh Gudang Pusat Amunisi I dan III, melibatkan prajurit TNI AD serta 21 warga sipil tanpa sertifikasi.
- Kejadian ledakan amunisi terjadi saat hendak memusnahkan sisa detonator, yang menyebabkan korban tewas tanpa luka-luka.
Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merilis hasil penyelidikan mereka soal pemusnahan amunisi milik TNI Angkatan Darat (AD), yang menewaskan 13 orang pada 12 Mei 2025. Pemantauan dan permintaan keterangan dilakukan kepada sejumlah pihak, termasuk Kepala Pusat Peralatan Angkatan Darat (Puspalad).
"Kami melakukan permintaan keterangan kepada sejumlah instansi terkait, saksi dan keluarga korban pada 15-17 Mei 2025 di Kabupaten Garut. Kami juga melakukan pemanggilan kepada Kepala Puspalad dan jajaran pada 21 Mei 2025," ujar Komisioner Komnas HAM bidang pemantauan dan penyelidikan, Uli Parulian Sihombing ketika memberikan keterangan pers di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (23/5/2025).
Dari permintaan keterangan ke sejumlah pihak itu, diketahui pemusnahan amunisi milik TNI AD dilakukan dalam dua gelombang. Pertama, berlangsung pada 17 April 2025 hingga 5 Mei 2025. Aktivitas pemusnahan di gelombang pertama dilakukan oleh Gudang Pusat Amunisi I (Puspalad TNI-AD).
Gelombang pemusnahan kedua dilakukan pada periode 29 April 2025 hingga 15 Mei 2025, yang dilakukan oleh Gudang Pusat Amunisi III (Puspalad-TNI AD). Uli mengatakan, dalam aktivitas pemusnahan amunisi tersebut, biasanya akan melibatkan satu pleton prajurit TNI AD yang terdiri dari 30-50 prajurit.
"Kemudian mereka akan mendirikan sejumlah tenda untuk menginap bagi para prajurit, tenda untuk penyimpanan amunisi yang akan dimusnahkan, dan bahan pendukung lainnya termasuk dapur umum," tutur dia.
Komnas HAM pun menilai ada kelalaian yang dilakukan oleh TNI AD. Hal itu lantaran TNI AD ikut mengajak 21 warga sipil dalam aktivitas pemusnahan amunisi di Desa Sagara, Kecamatan Balong, Kabupaten Garut. Semua warga sipil itu tak memiliki sertifikasi dalam hal pemusnahan amunisi militer.
"Dua puluh satu (21) orang warga sipil itu dipekerjakan sebagai tenaga harian lepas," imbuhnya.
1. Cara TNI AD memusnahkan amunisi: dimasukan ke lubang dan diledakan

Lebih lanjut, Uli mengatakan, ledakan amunisi berujung maut terjadi pada pukul 09.30 WIB. Sebelumnya, pemusnahan amunisi kedaluwarsa berhasil dilakukan di dua lubang. Petaka terjadi ketika hendak memusnahkan sisa detonator.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh Komnas HAM, sebelum terjadi ledakan yang berujung maut, sempat ada perdebatan singkat antara Komandan Gapusmus dengan koordinator pekerja warga sipil yakni Rustiawan. "Mereka berdebat singkat mengenai penanganan detonator sisa. Biasanya detonator ditenggelamkan ke dasar laut untuk mempercepat proses disfungsi," kata Uli.
Tetapi, pada 12 Mei 2025, sisa detonator dimusnahkan dengan ditimbun di dalam lubang ketiga yang sudah disiapkan. Detonator itu semula juga bakal diledakan.
"Ketika ledakan terjadi, para korban sedang menurunkan sisa detonator yang telah dimasukan ke dalam drum yang akan dimasukan ke lubang (ketiga). Sebagian orang ada di dalam lubang dan sisanya berada di sekitar lubang serta mengangkut material detonator," tutur dia.
Ketika mereka sedang menurunkan sisa detonator, tiba-tiba sebagian detonator meledak. Bila dibandingkan dengan kronologi yang disampaikan oleh Mabes TNI Angkatan Darat (AD), keterangan yang diperoleh Komnas HAM sejalan.
2. Jenazah korban mengalami luka bakar dan tidak utuh

Komnas HAM turut mengklarifikasi bahwa dalam peristiwa ledakan amunisi kedaluwarsa pada 12 Mei 2025 lalu, tidak ada korban luka-luka. Semua korban ditemukan dalam keadaan meninggal dunia.
"Para korban ditemukan dalam keadaan luka bakar berat dan beberapa di antara jenazah, bagian tubuhnya sudah tidak utuh," kata Uli.
Semua jenazah korban kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pameungpeuk. Penanganan dan evakuasi korban melibatkan lima kendaraan medis dan tenaga medis dari Puskesmas Cibalong serta RSUD Pameungpeuk. Sebagian korban, kata Uli, juga dievakuasi oleh prajurit TNI menggunakan kendaraan militer.
"Jenazah para korban kemudian ditangani oleh tim Disaster Victim Identification (DVI), dokter forensik, tim INAFIS dan biddokes Polda Jawa Barat dan unsur Denpom yang tiba di hari yang sama menjelang sore," tutur dia.
3. Delapan dari sembilan warga sipil yang meninggal adalah pekerja yang bantu TNI AD

Komnas HAM juga menjelaskan, delapan dari sembilan warga sipil yang meninggal di titik lokasi pemusnahan amunisi kedaluwarsa merupakan pekerja lepas yang membantu TNI AD. Sedangkan satu warga sipil lainnya meninggal ketika sedang berkunjung ke lokasi untuk menemui temannya.
Sementara, empat korban meninggal lainnya merupakan prajurit TNI Angkatan Darat (AD). Salah satu korban meninggal merupakan Kepala Gudang Pusat Amunisi III, Kolonel Cpl Antonius Hermawan.
Uli mengatakan, dalam aktivitas pemusnahan amunisi kedaluwarsa ada 21 warga sipil yang ikut membantu. "Para pekerja sipil terkoordinir di bawah Saudara Rustiawan yang sudah memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun bekerja dalam proses pemusnahan amunisi baik dengan pihak TNI maupun Polri," katanya.
Para pekerja lepas itu dibayar dengan upah senilai Rp150 ribu per hari. Namun, mereka tak memiliki sertifikasi khusus soal pemusnahan amunisi militer.
"Para pekerja belajar secara otodidak bertahun-tahun dan tidak melalui proses pendidikan atau pelatihan yang tersertifikasi. Para pekerja juga tidak dibekali dengan peralatan khusus atau alat pelindung diri dalam melaksanakan pekerjaannya," imbuhnya.
Mereka memiliki sejumlah peran dan tugas, mulai dari sebagai sopir truk, penggali lubang, pembongkar amunisi, hingga juru masak.