Komnas HAM: Penghuni Kerangkeng di Langkat Kerja Paksa dan Tanpa Upah

Penghuni kerangkeng kerja di kebun sawit dan banyak lainnya

Jakarta, IDN Times - Kasus temuan kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin masih terus didalami oleh Komnas HAM. Komisioner Komnas HAM RI M Choirul Anam menjelaskan, insiden penyiksaan dan kekerasan yang dialami penghuni berkaitan dengan kerja paksa.

“Kami menemukan fenomena kerja paksa yang pertama adalah terkait upah,” kata Anam dalam keterangan video, Sabtu (5/3/2022).

Anam menjelaskan, penghuni kerangkeng diduga bekerja tanpa diberikan diupah. Pekerjaan yang diberikan juga dianggap sebagai penguatan keterampilan atau pembekalan selama berada di tempat tersebut.

“Kalau dikatakan bahwa ini bagian dari penguatan keterampilan, pembekalan dan sebagainya, menurut kami fenomena yang kami temukan tidak semata-mata demikian,” ujarnya.

Pekerjaan yang dilakukan tanpa upah ini juga diduga disertai dengan pemberian sanksi, sebagai konsekuensi jika penghuni malas-malasan atau tidak melakukan pekerjaan dengan baik.

Baca Juga: Terbit Rencana Berpotensi Jadi Tersangka Kasus Kerangkeng Manusia

1. Dua indikator penting dalam praktik perbudakan

Komnas HAM: Penghuni Kerangkeng di Langkat Kerja Paksa dan Tanpa UpahJumpa pers LPSK soal kasus kerangkeng milik Bupati Langkat pada Senin (31/1/2022) oleh Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu.(youtube.com/infolpsk)

Fenomena hukum terkait kerja paksa, kata Anam, sudah diatur Konvensi ILO dan sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.

Anam menjelaskan, ada dua indikator dalam praktik perbudakan kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana PA. Pertama adalah orang-orang tersebut tidak memiliki indikator atau tak punya kemerdekaan untuk menentukan dirinya sendiri.

“Jadi semacam dia tidak punya ownership terhadap dirinya sendiri,” kata dia.

Kemudian, kedua adalah kontrol dari luar tubuh yang sangat kuat, contohnya jika korban tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan perintah, maka dipukul atau mendapatkan perlakuan kejam yang bisa merendahkan martabat.

Termasuk juga instrumen pekerjaan itu menjadi salah satu indikator, bagaimana dia tidak tidak bisa menentukan dirinya sendiri dan sebagainya.

Baca Juga: Komnas HAM Nilai Ada Keganjilan Kasus Kerangkeng Manusia di Langkat 

2. Penghuni kerangkeng kerja di kebun sawit hingga jadi buruh bangunan

Komnas HAM: Penghuni Kerangkeng di Langkat Kerja Paksa dan Tanpa UpahSejumlah orang yang berada di dalam kerangkeng di rumah pribadi Bupati Langkat Nonaktif Terbit Rencana Peranginangin. (Dok.IDN Times/Istimewa)

Dia turut menyinggung surat pernyataan penghuni yang pada prakteknya itu membuat mereka kehilangan banyak hal, mulai dari menentukan dirinya sendiri, tak bisa melawan jika tidak suka dengan pekerjaan yang diberikan, hingga jika mendapat perlakuan kejam.

Dalam keterangan persnya pada Rabu (2/3/2022) lalu, Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Endang Sri Melani menjelaskan, penghuni kerangkeng tidak hanya bekerja di kebun sawit milik Terbit tapi juga mengelas, juru parkir, membersihkan ruang pabrik, mengangkut buah sawit, dan membersihkan peralatan. 

"Bahkan, para penghuni juga dijadikan sebagai buruh bangunan untuk pembangunan rumah TRP (Terbit Rencana Perangin Angin) termasuk di antaranya menguruk tanah di sekitar lokasi kerangkeng," kata Melani dilihat di Youtube Komnas HAM, Sabtu.

3. Keterlibatan korporasi dan kerja paksa

Komnas HAM: Penghuni Kerangkeng di Langkat Kerja Paksa dan Tanpa UpahIlustrasi Perkebunan Kelapa Sawit (IDN Times/Sunariyah)

Menurut Anam, kerja paksa dengan kebun sawit milik Terbit, berkaitan dengan bagaimana korporasi mempekerjakan orang-orang secara tidak layak dengan nuansa perbudakan.

“Ini problem serius bagi korporasi. Apalagi korporasi (Sawit) yang memang mau mendunia, produknya juga dibutuhkan dunia dan dia harus mengikuti instrumen-instrumen yang diatur oleh dunia ini,” ujarnya.

Berangkat dari isu ini, Komnas HAM juga meminta agar komoditas pengusaha di Langkat menjauhi praktek serupa dengan monitoring dan laporan agar lebih menghargai HAM dan menjalankan binis dengan tidak hanya berorientasi keuntungan, tapi juga menghormati HAM guna penikmatan kesejahteraan secara bersama-sama dan secara sehormat-hormatnya.

“Kalau terjadi pada perusahaannya segeralah untuk memperbaiki agar kita tidak memiliki risiko bisnis yang jauh lebih besar dan lebih strategis, dan tentu saja ini akan merugikan kita semua sebagai bangsa dan negara,” kata dia.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya