Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

LPSK Terima Permohonan Perlindungan 86 Korban Ledakan SMAN 72

Suasana SMAN 72 usai terjadi ledakan pada Jumat (7/11/25). (IDN Times/Santi Dewi)
Suasana SMAN 72 usai terjadi ledakan pada Jumat (7/11/25). (IDN Times/Santi Dewi)
Intinya sih...
  • Ancaman terhadap nyawa menjadi dasar hukum untuk pelindungan LPSK
  • Polda Metro Jaya ajukan perhitungan restitusi
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima pengajuan permohonan pelindungan dari Polda Metro Jaya untuk 86 anak korban ledakan di SMAN 72 Jakarta pada 17 November 2025.

Permohonan tersebut berkaitan dengan tindak pidana dengan sengaja menimbulkan ledakan dan atau keadaan yang membahayakan nyawa orang lain, sebagaimana diatur Pasal 355 KUHP, Pasal 187 KUHP, serta Pasal 1 Ayat 1 UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.

Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias, menegaskan, pemulihan korban anak adalah prioritas utama yang bisa dilakukan oleh LPSK.

“Yang paling utama adalah memastikan anak-anak tidak menanggung trauma ini sendirian. Negara wajib hadir memberikan pelindungan menyeluruh,” ujar Susilaningtias dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/11/2025).

1. Ancaman terhadap nyawa menjadi dasar hukum untuk pelindungan LPSK

Suasana SMAN 72 usai terjadi ledakan pada Jumat (7/11/25). (IDN Times/Santi Dewi)
Suasana SMAN 72 usai terjadi ledakan pada Jumat (7/11/25). (IDN Times/Santi Dewi)

LPSK menjelaskan, peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta masuk dalam kategori tindak pidana lain yang mengancam keselamatan jiwa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

“Artinya, meskipun kasus ini tidak termasuk dalam kelompok tindak pidana khusus seperti terorisme, ancaman terhadap nyawa korban menjadi dasar hukum kuat bagi korban untuk mendapatkan pelindungan LPSK,” ujar Susi.

Selain itu, karena mayoritas korban adalah anak, maka ketentuan dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak turut diberlakukan. Di dalam undang-undang tersebut, anak korban berhak atas pelindungan dan restitusi, yaitu ganti rugi yang dibayarkan oleh pelaku atas kerugian yang dialami anak.

“Oleh karena itu, LPSK menegaskan bahwa seluruh korban anak dalam kasus ini berhak diproses permintaannya untuk restitusi sesuai kerugian yang timbul,” lanjutnya.

2. Polda Metro Jaya ajukan perhitungan restitusi

Pelaku ledakan SMAN 72 ditetapkan sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). (IDN Times/Irfan Fathurohman)
Pelaku ledakan SMAN 72 ditetapkan sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Bentuk perlindungan yang diajukan oleh Polda Metro Jaya yakni berupa perhitungan restitusi dan pendampingan korban dalam menjalani proses hukum.

Terkait hal itu, Susi mengatakan, LPSK akan melakukan perhitungan restitusi atau nilai kerugian yang dialami masing-masing korban yang dibebankan kepada pelaku sesuai mandat PP Nomor 7 Tahun 2018 yang diubah ke dalam PP 35 Tahun 2020 tentang ganti rugi korban tindak pidana.

Namun, dalam perkara pelaku anak, tanggung jawab pembayaran restitusi dapat dibayarkan melalui pihak ketiga.

“Restitusi adalah hak anak sebagai korban. Nilainya akan dihitung berdasarkan kerugian nyata yang dialami, termasuk biaya medis, psikologis, serta penderitaan yang dialami oleh korban. Dalam perkara pelaku anak, restitusi dapat dibayarkan oleh pihak ketiga sesuai ketentuan hukum. Fokus LPSK adalah memastikan hak itu diterima oleh setiap anak korban,” ujar Susi.

3. LPSK telah mendatangi sekolah

Pelaku ledakan SMAN 72 ditetapkan sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). (IDN Times/Irfan Fathurohman)
Pelaku ledakan SMAN 72 ditetapkan sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Sebelumnya, LPSK telah mendatangi sekolah pada 8 November 2025 dan mengidentifikasi kebutuhan korban, serta menyampaikan bahwa anak-anak memiliki hak untuk mengakses pelindungan negara. Selain itu, LPSK mendatangi korban yang dirawat di RS Islam Cempaka Putih dan RS Yarsi.

Susi juga menekankan, kesaksian anak akan menjadi fokus dalam proses pelindungan. LPSK memastikan akan mendengarkan langsung apa yang disampaikan anak-anak, bukan hanya melalui orangtua atau pendamping.

Dalam pemberian pelindungan dan restitusi, LPSK akan berbicara secara intens kepada anak korban terkait dengan kebutuhan mereka, pemenuhan hak mereka, termasuk informasi-informasi penting yang mereka punya untuk membantu mengungkap kasus ini.

“Anak-anak ini sudah berada pada usia remaja dan punya pandangan serta kebutuhan yang harus dihormati. Karena itu, kami akan berbicara langsung dengan mereka, selain keterangan dari orang tua atau pendamping. Pemulihan yang adil bagi anak hanya bisa tercapai kalau suara mereka benar-benar didengar,” ujar dia.

Terkait status anak yang diduga sebagai pelaku, LPSK menegaskan, hingga saat ini belum memiliki mandat untuk memberikan perlindungan kepada anak pelaku tindak pidana.

Mandat perlindungan LPSK berdasarkan undang-undang hanya diberikan kepada saksi, korban, ahli, pelapor, dan saksi pelaku. Dengan demikian, selama anak tersebut diidentifikasi sebagai pelaku murni, LPSK belum memiliki kewenangan untuk masuk memberikan pelindungan.

Namun, LPSK membuka ruang apabila dalam perkembangan proses hukum ditemukan bahwa anak tersebut justru menjadi korban tindak pidana lain dalam rangkaian kasus ini. Jika ada indikasi bahwa anak mengalami eksploitasi, manipulasi, tekanan, atau bentuk viktimisasi lainnya, statusnya dapat masuk dalam kategori korban, dan LPSK dapat memberikan perlindungan dalam kapasitas tersebut.

Selain itu, kata dia, makna perlindungan selain secara fisik, juga bantuan atau pemulihan kepada korban. Pemulihan ini dapat meliputi pemulihan medis, psikologis, psikososial, dan/atau restitusi.

Itu sebabnya, dalam menangani permohonan dari Polda Metro Jaya tersebut, LPSK akan menelaah semua hal dalam aspek pelindungan tersebut.

“Terkait penanganan kasus ini, LPSK siap bekerja sama dengan lembaga dan instansi negara terkait termasuk aparat penegak hukum, lembaga pelindungan anak, maupun penyedia layanan guna memastikan pemulihan berjalan komprehensif dan berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child),” kata Susi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us

Latest in News

See More

DPR Dorong Korlantas Jadi Badan Lalu Lintas, Sesuai Reformasi Polri

27 Nov 2025, 15:05 WIBNews