Mabes TNI Usulkan RUU yang Bolehkan Prajurit Berbisnis

- Mabes TNI mengusulkan prajurit TNI boleh berbisnis, meski saat ini dilarang oleh UU TNI.
- Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI menyebut larangan bisnis seharusnya diberlakukan pada institusi TNI, bukan prajurit.
- Poin lain yang jadi perdebatan adalah penempatan prajurit aktif di instansi sipil yang tidak tercantum dalam pasal 47 ayat 2 UU TNI.
Jakarta, IDN Times - Kontroversi revisi Undang-Undang (UU) nomor 34 tahun 2004 mengenai TNI terus berlanjut. Selain memperluas peluang baru prajurit TNI aktif untuk duduk di instansi sipil, Mabes TNI juga mengusulkan anggotanya bisa ikut berbisnis.
Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI, Laksamana Muda Kresno Buntoro, mengatakan poin yang melarang prajurit berbisnis semula ada di pasal 39 huruf c UU TNI. Kresno mengambil contoh kehidupannya sehari-hari di mana istrinya membuka warung.
"Istri saya membuka warung di rumah. Bila (pasal) ini diterapkan, maka saya kena hukuman, 'prajurit dilarang di dalam kegiatan bisnis'. Aku mau gak mau pasti terlibat, wong aku yang anter belanja dan sebagainya. Lha, mau gak mau (pasal) ini kan exist. Pasal ini seharusnya dibuang," ujar Kresno seperti dikutip dari YouTube Kemenko Polhukam pada Senin (15/7/2024).
Ia kemudian juga memberikan contoh lain sopirnya. Usai bekerja mengantarkanya ke rumah dan tempat aktivitas, sopirnya mengerjakan pekerjaan sampingan sebagai sopir ojek.
Alih-alih melarang prajurit TNI berbisnis, UU tersebut, kata Kresno, seharusnya melarang instansi TNI yang memiliki bisnis. "Kalau prajurit (yang berbisnis), wong buka toko kelontong aja ndak (dibolehkan)," katanya.
Di pasal itu, juga tertulis larangan bagi prajurit TNI menjadi anggota partai politik, mengikuti kegiatan politik praktis dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu.
1. Prajurit TNI aktif diberi peluang lebih besar untuk duduk di instansi sipil

Poin lain yang kini jadi perdebatan di dalam revisi UU TNI yaitu pasal 47 mengenai i penempatan prajurit aktif di instansi sipil. Di dalam pasal 47 ayat 2, prajurit TNI aktif hanya dibolehkan menduduki jabatan di instansi sipil yang terkait Kemenko Polhukam, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung (MA).
Sementara, pada kenyataannya prajurit TNI aktif juga ada yang ditugaskan di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Selain itu, TNI juga ada di Bakamla. Itu tidak ada di pasal 47 ayat (2). TNI ada di Bakamla berdasarkan Undang-Undang Kelautan. Kemudian, TNI ada di organisasi BNPT, dasarnya apa? Dasarnya Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Terorisme. Ini juga tidak tercantum di pasal 47. Karena di sana hanya dicantumkan 10 instansi," kata Kresno.
Ia juga menyebut TNI juga bertugas di Kejaksaan Agung. Namun, anggota TNI ditugaskan di sana berdasarkan Undang-Undang Kejaksaan.
"Pertanyaannya adalah mau didasarkan pada UU TNI, maka penempatan di sana ilegal. Tapi, kalau didasarkan pada undang-undang yang sifatnya sektoral tadi, maka legal. Pertanyaannya, kenapa ini gak diakomodasi di pasal 47 ayat 2? Tidak kita listed, melainkan tetap dibiarkan begitu," ujarnya.
Ia menggaris bawahi usulan agar pasal 47 disesuaikan didasarkan pada keinginan TNI untuk patuh terhadap aturan hukum.
2. Prajurit TNI yang bantu istrinya buka toko kelontong tidak masuk kategori berbisnis

Sementara, dalam pandangan Setara Institute, contoh yang diberikan oleh Mabes TNI yaitu membuka warung kelontong dengan dorongan agar membolehkan prajurit TNI berbisnis tidak nyambung. Peneliti HAM dan sektor keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie, mengatakan membantu untuk mengelola toko warung kelontong tidak bisa serta merta dikatakan seorang prajurit TNI berbisnis.
"Hal itu justru berbeda konteks dengan norma pasal 39 di dalam UU TNI. Mencabut norma larangan berbisnis bagi anggota TNI seperti yang tertuang di dalam pasal 39 justru dapat berdampak terhadap keterlibatan dalam aktivitas bisnis yang lebih besar dan menjauhkan profesionalitas TNI," ujar Ikhsan di dalam keterangan tertulis pada Senin (15/7/2024).
Lebih lanjut, ia khawatir bila pasal 39 dihapus, maka bisa menjerumuskan prajurit TNI ke dalam praktik buruk kegiatan bisnis. "Misalnya menjadi beking satu entitas bisnis," katanya.
Oleh sebab itu, dalam pandangannya, alih-alih menghapus ketentuan berisi larangan prajurit TNI berbisnis, Setara Institute mengusulkan diberikan ketentuan yang lebih rinci batasan bisnis yang dimaksud. Misalnya dengan memberikan penjelasan di pasal 39 UU TNI tersebut.
"Bukan malah menghapus larangan bagi prajurit TNI terlibat dalam kegiatan bisnis," imbuhnya.
3. Membuka lebih lebar prajurit TNI di instansi sipil mendorong terjadinya politik akomodasi

Ikhsan juga menyoroti usulan agar prajurit TNI diberikan peluang lebih lebar untuk duduk di instansi sipil. Meski usulan itu tidak berkaitan dengan politik praktis tetapi dengan membuka ruang lebih lebar bagi prajurit TNi duduk di instansi sipil membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer.
"Dampak jangka panjangnya bisa menimbulkan utang budi politik karena semua ruang kementerian atau lembaga dibuka berdasarkan kebijakan presiden yang notabene merupakan produk politik hasil kontestasi dalam hasil pemilu," kata Ikhsan.
Dengan adanya catatan-catatan tersebut, Setara Institute mendorong DPR RI periode 2019-2024 menunda pembahasan RUU TNI. "Sebaiknya terlebih dahulu dilakukan partisipasi bermakna yang melibatkan para pakar, publik, akademisi dan masyarakat sipil," ujarnya.
Kepercayaan publik dan citra institusi TNI, kata Ikhsan, harus terus dijaga dengan merawat dan melakukan penguatan agenda-agenda reformasi di tubuh TNI. Sehingga, TNI menjadi tentara yang kuat dan profesional di bidang pertahanan negara.