Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jelang Pemilu, Junta Myanmar Cabut Jam Malam di Yangon

ilustrasi kota Yangon, Myanmar (Unsplash.com/Harish Shivaraman)
ilustrasi kota Yangon, Myanmar (Unsplash.com/Harish Shivaraman)
Intinya sih...
  • Militer Myanmar merebut kekuasaan melalui kudeta pada Februari 2021 dengan menggulingkan pemerintahan terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi.
  • Junta mengklaim pencabutan jam malam bertujuan untuk mendorong aktivitas masyarakat dan perekonomian.
  • Pemilu mau digelar Junta di tengah perang saudara
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah militer Myanmar mengumumkan pencabutan jam malam di Yangon sehari menjelang dimulainya pemilihan umum yang digelar Junta. Pencabutan ini diklaim sebagai langkah menuju normalisasi situasi politik.

Dalam pernyataannya pada Jumat (26/12/2025), Junta menyatakan pembatasan jam malam yang tersisa di Yangon akan dicabut sepenuhnya mulai Sabtu (27/12/2025). Jam malam tersebut sebelumnya diberlakukan sejak kudeta militer pada 2021 yang menggulingkan pemerintahan sipil terpilih.

Yangon, dengan populasi sekitar tujuh juta jiwa, merupakan pusat ekonomi dan politik Myanmar. Sejak kudeta, kota ini berada di bawah berbagai pembatasan keamanan ketat, termasuk larangan keluar rumah pada malam hari.

Pencabutan jam malam ini diumumkan di tengah rencana junta menggelar pemilihan umum secara bertahap mulai Minggu (28/12/2025) dan dijadwalkan berlangsung selama satu bulan, meskipun pemilu tersebut menuai kritik luas dari kelompok pro-demokrasi dan pengamat internasional.

1. Jam malam diberlakukan sejak kudeta 2021

potret Yangon, Myanmar (commons.wikimedia.org/Aung Myint Htwe)
potret Yangon, Myanmar (commons.wikimedia.org/Aung Myint Htwe)

Militer Myanmar merebut kekuasaan melalui kudeta pada Februari 2021 dengan menggulingkan pemerintahan terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi. Kudeta tersebut memicu gelombang demonstrasi besar-besaran di berbagai kota, termasuk Yangon.

Dalam upaya menekan aksi protes, aparat keamanan memberlakukan jam malam dari senja hingga fajar di Yangon. Langkah tersebut diambil bersamaan dengan pengerahan pasukan untuk membubarkan demonstrasi yang menuntut pemulihan demokrasi.

Seiring berjalannya waktu, durasi jam malam dipangkas secara bertahap. Namun, hingga akhir Desember 2025, pembatasan masih berlaku selama dua jam, yakni dari pukul 01.00 hingga 03.00 waktu setempat. Juru bicara Junta, Zaw Min Tunm mengatakan pencabutan pembatasan tersebut dilakukan karena situasi keamanan dinilai membaik.

"Stabilitas regional di wilayah Yangon kini semakin membaik," ujar Zaw dalam pernyataan resmi, dikutip Channel News Asia.

2. Keputusannya dibalut alasan ekonomi dan sosial

Pemimpin junta Myanmar Min Aung Hlaing. (Mil.ru, CC BY 4.0 , via Wikimedia Commons)
Pemimpin junta Myanmar Min Aung Hlaing. (Mil.ru, CC BY 4.0 , via Wikimedia Commons)

Dalam pernyataan yang sama, Junta mengklaim pencabutan jam malam bertujuan untuk mendorong aktivitas masyarakat dan perekonomian. Keputusan itu, menurut mereka, diambil untuk mendukung mobilitas warga dan kegiatan usaha.

"Keputusan ini diambil untuk meningkatkan urusan ekonomi, sosial, dan keagamaan, demi kenyamanan transportasi masyarakat serta pengembangan dunia usaha,” kata Zaw.

Meski jam malam hanya berlaku 120 menit, kehidupan di Yangon selama ini tetap terpuruk. Pembatasan ketat sejak pandemik COVID-19 dan kudeta membuat banyak restoran, bar, dan tempat hiburan, tutup lebih awal termasuk pada akhir pekan.

Warga juga kesulitan mendapatkan transportasi umum pada malam hari. Taksi semakin jarang beroperasi seiring bertambahnya malam, sementara banyak orang memilih membatasi aktivitas di luar rumah karena kekhawatiran keamanan.

3. Pemilu di tengah perang saudara

Suasana perbatasan Myanmar-Thailand yang tengah memanas akibat pertempuran kelompok etnis minoritas Myanmar dan junta Myanmar. (dok. @IrrawaddyNews)
Suasana perbatasan Myanmar-Thailand yang tengah memanas akibat pertempuran kelompok etnis minoritas Myanmar dan junta Myanmar. (dok. @IrrawaddyNews)

Di tengah pencabutan jam malam, Junta berencana menggelar pemilihan umum yang dimulai secara bertahap mulai besok. Militer menyatakan pemilu tersebut sebagai langkah untuk mengembalikan demokrasi di Myanmar.

Namun, pemilu ini digelar dalam situasi konflik bersenjata yang masih berlangsung. Setelah protes sipil dipukul mundur, banyak aktivis melarikan diri dari kota dan bergabung dengan kelompok gerilya serta tentara etnis bersenjata di wilayah pinggiran.

Konflik tersebut berkembang menjadi perang saudara, yang menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah menewaskan ribuan orang. Konflik ini juga memaksa lebih dari 3,6 juta warga mengungsi, dan membuat sekitar separuh populasi Myanmar hidup dalam kemiskinan.

Pemimpin yang digulingkan, Aung San Suu Kyi, hingga kini masih dipenjara. Sementara, partainya yang populer telah dibubarkan. Pemilu yang digelar Junta menuai kecaman luas dari pengawas demokrasi yang menilai langkah tersebut sebagai upaya melegitimasi kekuasaan militer, bukan pemulihan demokrasi sejati.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Satria Permana
EditorSatria Permana
Follow Us

Latest in News

See More

2 Skema Bantuan untuk Pengungsi Korban Bencana Sumatra: Huntara dan DTH

27 Des 2025, 20:30 WIBNews