Mahfud: Lebih Baik Punya Parpol dan DPR yang Jelek Daripada Dibubarkan

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menolak usulan yang beredar santer di media sosial agar parlemen dan partai politik dibubarkan. Menurutnya, lebih baik memiliki parpol dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang jelek dibandingkan kedua institusi itu ditiadakan.
Pernyataan Mahfud itu merespons kegeraman publik, usai menyaksikan rapat kerja Komisi III DPR pada 29 Maret 2023 lalu yang membahas dugaan transaksi mencurigakan Rp349 triliun. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu terlihat 'dikeroyok.' Maka, tak heran rapat tersebut berlangsung hingga 8 jam dan dihadiri secara fisik oleh 51 anggota Komisi III DPR.
"Kalau negara berubah ke monarki, potensi kesewenang-wenangan di negara apapun itu besar. Sementara masyarakat tidak memiliki peluang untuk mengontrol," ungkap Mahfud ketika berbicara di Masjid UGM dan dikutip dari YouTube, Senin (3/4/2023).
Ia menambahkan, di dalam negara berdemokrasi meski parpol memiliki kualitas yang buruk tetapi tetap bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki negara. Parlemen pun, kata dia, hadir untuk memberikan solusi dari masalah yang dihadapi oleh rakyat.
"Oleh sebab itu jangan berpikir dalam situasi saat ini, sudah lah jangan berubah dari (konsep) negara kita yang sudah demokrasi, ndak boleh! Harus tetap demokrasi! Pilihannya, partai-partai itu harus diperbaiki sama-sama," kata dia.
Saat ini, total ada sembilan parpol yang memiliki wakil di parlemen. Sementara, di era Orde Baru, wakil parpol hanya ada tiga.
Lalu, apa solusi yang ditawarkan oleh Mahfud untuk memperbaiki kualitas parpol?
1. Parpol harus dikembalikan kepada fungsinya untuk rekrutmen kepemimpinan

Lebih lanjut, kata Mahfud, parpol perlu dibenahi dan dikembalikan ke fungsi awalnya, yakni salah satunya untuk merekrut calon pemimpin bangsa. "Oleh sebab itu, parpol harus bersaing untuk memilih pemimpin atau wakil rakyat yang benar," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Ia mengatakan, keberadaan parpol tidak boleh untuk saling meniadakan atau membunuh. Justru, menurutnya parpol yang menang harus diterima sebagai produk persaingan yang adil.
"Jadi, jangan saling memfitnah. Kalau pilihanmu yang menang ya dihormati. Anda bergabung (ke pemerintahan) boleh, beroposisi juga boleh. Tapi, oposisi juga ada batas-batas konstitusionalnya. Yang penting partai dan parlemen sehat," tutur dia.
Ia mengingatkan, tidak ada satu parpol yang buruk atau benar-benar baik. Di partai apapun, kata Mahfud, pasti ada orang baiknya.
"Tetapi, di partai manapun juga ada koruptornya. Inilah yang harus diperbaiki," kata dia.
2. Mahfud akui pemerintah sulit serap aspirasi rakyat karena tak didukung parpol dan DPR

Di sisi lain, Mahfud kemudian membandingkan era pemerintahan pasca-reformasi dengan di masa kepemimpinan Bung Karno dan Orde Baru. Ia memuji di era Bung Karno, setiap aspirasi rakyat yang muncul bisa diserap dan dijadikan undang-undang. Di era Orde Baru pun jumlah undang-undang yang dibuat dari kebutuhan rakyat tergolong lumayan banyak.
Namun, usai reformasi, ia mengakui pemerintah sulit meloloskan undang-undang yang dinilai baik untuk pembangunan hukum. Meski tak menyebut UU yang dimaksud, tetapi publik menduga kuat aturan tersebut adalah RUU Perampasan Aset.
"Saya kemarin bicara kok sekarang susah ya mengajukan aspirasi-aspirasi yang baik bagi pembangunan hukum, selalu gagal di DPR?" tanya Mahfud.
"Ada beberapa undang-undang penting, tapi gak bisa lahir. Parpolnya menolak, begitu juga DPR-nya. Ketika ditanya kok DPR ikut menolak? (Ada) bos!" tutur dia lagi yang disambut tawa para jemaah di Masjid UGM.
Kalimat Mahfud itu mengutip pernyataan yang disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto. Dalam rapat pada 29 Maret 2023 lalu, Bambang menyebut bila pemerintah ingin RUU Perampasan Aset disahkan, maka harus lobi sembilan ketum parpol yang punya perwakilan di DPR. Para anggota Komisi III DPR baru dapat bergerak bila diperintah oleh ketum parpol masing-masing.
3. Mahfud heran praktik korupsi di DPR tak juga sembuh

Hal lain yang disinggung Mahfud dalam ceramahnya yakni soal anjloknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022. Bila sebelumnya Indonesia pernah mencapai angka 38, kini melorot ke skor 34. Presiden Joko "Jokowi" Widodo pun gusar dan terkejut mengetahui hal itu.
Mahfud mengaku sempat diajak Jokowi berdiskusi di pesawat usai kembali dari peringatan 1 Abad Nahdlatul Ulama (NU). Ia pun menceritakan data yang diperoleh dari Transparency International Indonesia (TII), Litbang Harian Kompas, dan pemangku kepentingan lain.
Berdasarkan temuannya, IPK Indonesia anjlok lantaran pertama, korupsi ditemukan di sektor birokrasi, terutama di perpajakan dan bea cukai. "Itu clear! Itu kesimpulan TII. Di situ, Presiden agak takjub. Kok (korupsi) ndak sembuh-sembuh," ujarnya.
Penyebab kedua, tingkat korupsi di parlemen yang cukup tinggi. "Apa bentuk korupsi di DPR? Ya, konflik kepentingan itu. Anggota DPR ada yang merangkap pemilik perusahaan ini dan itu," kata dia.
Alhasil, ketika anggota DPR itu menyusun anggaran, ia menitipkan agar perusahaan miliknya ikut mendapat jatah. "Jadi, dia berfungsi ganda," kata Mahfud.
Penyebab ketiga, anggota DPR yang berprofesi sebagai pengacara. Mereka ikut mengurusi perkara orang.
Penyebab keempat, kasus-kasus di pengadilan masih bisa diatur dan dibayar. Namun, menurutnya hal tersebut sudah diatasi dengan menangkap sejumlah hakim.
"Ini yang memberi tahu adalah investor-investor asing. Mereka cerita 'Pak, kalau kami ke DPR, harus bayar sekian, pajaknya (bayar) sekian. Dinego setelah ditawar begini, sudah kami mau bayar penuh, diminta turun. Udah sisanya dibagi," tutur Mahfud menirukan pernyataan para investor asing itu.
Itu sebabnya, Mahfud mendorong hal-hal seperti itu harus diperbaiki di ketatanegaraan Indonesia.