Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mahfud: Open Legal Policy Bukan Ranah MK, Tak Boleh Ikut Campur

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Intinya sih...
  • Mahfud: MK tak boleh ikut campur.
  • Mahfud kena semprot dan tuding imbas Putusan MK 135/2024.
  • Mahfud soroti anggapan Putusan MK 135 in konstitusional.

Jakarta, IDN Times - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menegaskan, kebijakan hukum terbuka (open legal policy) untuk menentukan materi muatan dalam undang-undang bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).

Adapun, open legal policy ini adalah kewenangan bagi pembentuk UU yakni pemerintah dan DPR untuk mengatur materi muatan dalam UU, terutama jika konstitusi tidak memberikan batasan yang jelas. Pembentuk UU memiliki keleluasaan dalam menentukan bagaimana suatu ketentuan dalam undang-undang diatur, selama tidak bertentangan dengan konstitusi.

"Oh iya (bukan ranah MK). Sejak dulu, yang buat open legal policy itu secara resmi pada zaman saya, waktu itu ketika terjadi pengujian tentang pemilu supaya diubah sistemnya, supaya ada calon independen di presiden dan sebagainya, kita buat putusan pertama itu bahwa dalam prinsip hukum tata negara itu MK tidak boleh mencampuri apa yang disebut open legal policy," kata Mahfud dalam diskusi membahas soal Putusan MK 135/2024 soal pemilu tingkat nasional dan daerah/lokal dipisah.

1. MK tak boleh ikut campur

Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD ketika memberikan materi di hadapan kepala daerah PDIP di sekolah partai. (Dokumentasi PDIP)
Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD ketika memberikan materi di hadapan kepala daerah PDIP di sekolah partai. (Dokumentasi PDIP)

Menurut Mahfud, MK tidak boleh ikut campur terhadap UU jika tidak ada pelanggaran konstitusi. Ia menegaskan, MK tidak berhak membatalkan UU yang dianggap buruk bagi masyarakat.

"MK tidak boleh mencampuri apa yang kata MK jelek, tapi tidak melanggar konstitusi. Jelek tidak apa-apa tapi tidak melanggar konstitusi karena tugas MK itu membatalkan yang salah, bukan membatalkan yang menurut dia jelek. Jelek (atau bagusnya UU) itu kan pilihan politik dari DPR dan pemerintah," tuturnya.

2. Mahfud kena semprot dan tuding imbas Putusan MK 135/2024

Mantan Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD. (Dok. Istimewa)
Mantan Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD. (Dok. Istimewa)

Dalam kesempatan itu, Mahfud juga mengaku ikut kena semprot dan tudingan imbas kontroversi Putusan MK Nomor 135 Tahun 2024 yang meminta agar pemilu tingkat nasional dan daerah/lokal dipisah. Terlebih, Mahfud merupakan mantan Ketua MK periode 2008 sampai 2013.

"Memang menimbulkan kontroversi, menimbulkan tudingan-tudingan. Termasuk saya kena tuding, kena semprot juga itu, karena saya mantan Ketua MK," kata Mahfud.

3. Mahfud soroti anggapan Putusan MK 135 inkonstitusional

Mantan Menkopolhukam Mahfud MD saat memberi pernyataan kepada para wartawan yang meliput kegiatan pelantikan Gerakan Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta di Ballroom Hotel Tentrem Semarang. (IDN Times/Fariz  Fardianto)
Mantan Menkopolhukam Mahfud MD saat memberi pernyataan kepada para wartawan yang meliput kegiatan pelantikan Gerakan Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta di Ballroom Hotel Tentrem Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Lebih lanjut, mantan calon wakil presiden nomor urut 03 pada Pemilu 2024 ini pun menyoroti adanya anggapan Putusan MK 135/2024 inkonstitusional.

Menurutnya, narasi itu muncul sebab Putusan MK seakan berlawanan dengan Pasal 22E ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang mengamanahkan pemilu dijalankan setiap lima tahun sekali.

"Karena memang terasa Putusan MK ini dituding inkonstitusional, itu rasanya memang ada alasannya. Inkonstitusional kenapa? Jabatan itu kan lima tahunan kok tiba-tiba diperpanjang, yang boleh memperpanjang jabatan itu kan hanya konstitusi itu sendiri. Ramai, bahkan yang mengatakannya ini kemudian partai resmi peserta pemilu seperti Nasdem, itu bilang inkonstitusional," ucap dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us