Masih Ada Celah Polisi di Jabatan Sipil, UU ASN dan Polri Diuji ke MK

- UU ASN memperbolehkan jabatan ASN tertentu diisi anggota Polri
- Terjadi kontradiksi antara Pasal 28 ayat 3 UU Polri dan penjelasannya pasca Putusan 114/2025
- Petitum permohonan pemohon agar MK menyatakan frasa 'anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia' dalam Pasal 19 ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 UU ASN bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Jakarta, IDN Times - Seorang advokat bernama Zico Leonard Djagardo Simanjuntak melakukan uji materiil terhadap Pasal 19 ayat 2, 3, dan 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dan Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan mempermasalahkan soal rangkap jabatan polisi aktif.
Pemohon secara khusus menyoroti Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 yang meminta agar polisi aktif tidak menduduki jabatan sipil di kementerian maupun lembaga negara. Menurutnya, perkara dalam putusan itu tidak secara komperhensif dan substantif memberikan perlindungan hukum yang adil. Sebab putusan itu masih ada celah, belum secara luas melarang polisi aktif rangkap jabatan.
“Karena penghapusan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari kapolri’ tidak serta merta mencegah aparat kepolisian untuk melakukan rangkap jabatan terhadap jabatan-jabatan yang dipandang masih memiliki sangkut paut dengan kepolisian,” kata kuasa hukum pemohon, Ratu Eka Shaira dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (15/11/2025).
1. UU ASN perbolehkan jabatan ASN tertentu diisi anggota Polri

Dalam berkas permohonan yang diajukan, pemohon menyoroti adanya celah dalam UU ASN yang mengizinkan agar jabatan ASN tertentu diisi anggota Polri aktif. Aturan itu dimuat dalam Pasal 19 ayat 2 huruf b yang berbunyi, 'Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari: a. (...); b. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia'.
"Bahwa selain penjelasan pasal dalam UU Kepolisian tersebut, pemohon juga dirugikan karena masih adanya keberadaan Pasal 19 ayat 2 huruf b dalam UU ASN yang masih memperbolehkan aparat kepolisian untuk mengambil jabatan di ASN. Ini tidak terkesan tidak sesuai pula dengan semangat yang diberikan MK dalam Putusan 114 tersebut yang ingin mencegah aparat kepolisian untuk menduduki jabatan sipil yang tidak memiliki kaitan dengan kepolisian," kata pemohon dalam berkas permohonan.
2. Terjadi kontradiksi

Pemohon juga menyoroti bunyi Pasal 28 ayat 3 UU Polri dan penjelasannya pasca Putusan 114/2025. Di mana Pasal 28 ayat 3 UU Polri menjadi, "Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian". Sementara, Penjelasan Pasal 28 ayat 3 berbunyi, "Yang dimaksud dengan 'jabatan di luar kepolisian' adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian'.
"Sekilas tidak terlihat ada masalah, tapi jika diperhatikan secara detail, maka sebenarnya telah terjadi kontradiksi semantis (semantic contradiction) antara keduanya, yakni dua kalimat menggunakan kata-kata yang maknanya saling bertolak belakang, sehingga makna yang dihasilkan tidak mungkin benar secara bersamaan," tutur pemohon.
Menurut pemohon, apabila dijabarkan makna 'jabatan di luar kepolisian', artinya semua lembaga yang bukan bagian dari Polri. Hal ini bersifat struktur organisasi. Misalnya, KPK, Kejaksaan, BPK, Kementerian, Pemda, bahkan universitas negeri — semuanya lembaga di luar kepolisian.
Ia juga menyoroti soal frasa, 'jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian'. Pemohon menilai, maknanya lebih sempit dan bersifat fungsi/relasi.
Artinya lembaga tersebut tidak berhubungan, tidak berwenang, dan tidak bekerja sama dengan kepolisian dalam konteks apapun yang relevan. Contohnya, Perpustakaan Nasional dan BPOM. Namun, frasa itu masih dianggap memiliki celah bagi polri aktif rangkat jabatan. Sebab, ada lembaga yang masih memiliki sangkut paut dengan polisi aktif seperti KPK dan BNPT.
"Walaupun di luar kepolisian, tetap punya sangkut paut (koordinasi, supervisi, BAP, penyidikan, dan sebagainya)," jelas pemohon.
"Anggaplah kita menggunakan lembaga KPK. Lembaga KPK termasuk sebagai lembaga yang dimaksud dalam penjelasan, sehingga bisa saja anggota kepolisian mendapat jabatan di KPK. Namun jika kemudian dibaca pasal 28 ayat 3, yang bunyinya adalah jabatan 'diluar kepolisian', berarti KPK adalah lembaga yang berada di dalam kepolisian. Artinya, KPK dibawah Polri. Ini bermasalah secara gramatikal dan menghasilkan kontradiksi semantik," sambung dia.
Aturan itu berbeda dengan UU TNI yang mengatur secara spesifik didalam pasal 47 tentang lembaga lain yang boleh diisi prajurit. Sebab, UU Polri sama sekali tidak memberikan penjabaran lembaga apapun.
"Apabila penjelasan tersebut tetap hidup, akibatnya akan menjadikan derogasi terhadap kedudukan dan independensi lembaga lainnya," tegas pemohon.
3. Petitum permohonan pemohon

Lebih lanjut, pemohon dalam petitumnya meminta agar MK menyatakan frasa 'anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia' dalam Pasal 19 ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kemudian MK juga diminta menyatakan Penjelasan Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 114/2025, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.


















