Mengenal 24 Kapolri, Tokoh di Balik Suksesnya Kepolisian RI

Jakarta, IDN Times - Sejak 1946, setiap tanggal 1 Juli diperingati sebagai Hari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atau Hari Bhayangkara. Polri berperan penting dalam proses kemerdekaan Indonesia. Tak hanya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, Polri turut terlibat dalam pertempuran saat masa penjajahan.
Polri umumnya dipimpin oleh jenderal yang disebut sebagai kepala kepolisian Republik Indonesia atau kapolri.
Sejak pertama kali dibentuk, jabatan kapolri pernah mengalami beberapa pergantian hierarki dan nama jabatan. Pada era Orde Lama, jabatan ini pernah mengalami beberapa kali pergantian nama. Sedangkan pada era Orde Baru, jabatan kapolri secara hierarki berada di bawah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Panglima ABRI).
Mulai 1 April 1999, Polri mulai berdiri sendiri dan dipisahkan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kapolri dipilih oleh presiden berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Berikut Ini tokoh-tokoh yang pernah menjabat sebagai kpolri yang dirangkum dari berbagai sumber.
1. Komisaris Jenderal Polisi (Purn.) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo

Komisaris Jenderal Polisi (Purn.) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo merupakan kapolri pertama yang dulu sempat bernama Kepala Djawatan Kepolisian Negara. Soekanto menjabat dari September 1945 hingga 14 Desember 1959.
Pria kelahiran Bogor 7 Juni 1908 ini dikenal visioner, disiplin, jujur, dan konsisten terhadap komitmen dalam membentuk dan membangun Kepolisian Nasional. Soekanto juga telah membuktikan komitmen dan profesionalismenya dalam melaksanakan fungsi dan tugas kepolisian yang memegang teguh politik negara selama 14 tahun menjabat kapolri.
Pengalaman tentang pergumulan, baik berupa pemikiran-pemikiran maupun tindakan-tindakannya yang terkonstruksi sebagai remembered history, menjadikan kehadirannya membawa warna dan pengaruh yang harus diingat dan dicatat sebagai bagian dari perjalanan unik sejarah Kepolisian Negara dan sejarah bangsa Indonesia umumnya.
Pada masa Orde Baru, tepatnya 8 Agustus 1973, Soekanto sebagai tokoh nasional ditunjuk dan kemudian dilantik oleh Presiden Soeharto untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) bersama 11 anggota lainnya dengan ketuanya Mr. Wilopo dan wakilnya Alamsyah Ratu Perwiranegara.
Sebagai anggota DPA, Soekanto menduduki jabatan Ketua Seksi Kesejahteraan Rakyat. Tugas tersebut dia tekuni dengan segala kemampuan. Namun, dunia Orhiba (Olahraga Hidup Baru) yang ia besarkan hingga mancanegara tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Selama menjadi anggota DPA, Soekanto sering melatih Orhiba sesama rekan anggota DPA, dan mereka pun merasakan manfaatnya.
Salah satu contohnya, mereka selalu menolak pemeriksaan kesehatan bila hendak dinas ke luar negeri.Tetapi, setelah mengikuti program latihan Orhiba, hasilnya menunjukkan tes kesehatan mereka pun baik.
Setelah lima tahun menjadi anggota DPA, pada 23 Maret 1978, Soekanto diberhentikan dengan hormat. Ia meninggalkan tugas tersebut dengan penuh kepuasan, bahwa pemerintah masih mempercayai dirinya untuk mengabdikan diri guna kepentingan rakyat dan negara lewat jalur formal.
Soekanto wafat pada tanggal 24 Agustus 1993. Namanya diabadikan dalam nama sebuah rumah sakit di Jakarta, yakni Rumah Sakit Polri Soekanto di Kramat Jati, Jakarta Timur.
2. Komisaris Jenderal Polisi (Purn.) Raden Soekarno Djojonegoro

Komisaris Jenderal Polisi (Purn.) Raden Soekarno Djojonegoro adalah Kapolri (dulu bernama Kepala Kepolisian Negara) dari 15 Desember 1959 hingga 29 Desember 1963.
Karier kepolisiannya dimulai pada 1928, setelah ia menamatkan pendidikannya di Osvia. Jabatan pertamanya adalah AIB di Jatibarang. Ia kemudian menjadi Mantri Polisi Residen Jepara Rembang (1931), Asisten Wedana Banyumas (1934), Asisten Residen Lampung (1935), Mantri Polisi Kedungwuni Pekalongan (1936), Asisten Wedana Polisi Tegal(1941), Kepala Seksi IV Polisi Kota Semarang (1942), Kepala Polisi Salatiga (1943), Kepala Polisi Istimewa Kota Semarang (1944), Keibikatyo Kota Semarang (1944), Kepala Polisi Kendal (1945), Kepala Umum Kantor Besar Polisi Semarang (1945), Kepala Polisi Karesidenan Pekalongan (Februari 1950), Kepala Polisi Karesidenan Surabaya (Agustus 1950), Kepala Kepolisian Provinsi Jawa Timur (Desember 1950), dan Ajun Kepala Kepolisian Negara (November 1959).
Pada 15 Desember 1959, Djojonegoro dilantik menjadi Kepala Kepolisian Negara menggantikan Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo.
Berikut ini beberapa peristiwa semasa dia menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara:
- 1960 - Kepolisan Negara bergabung dalam ABRI
- 1 Juli 1960 - empat janji prajurit kepolisian, "Catur Prasetya" diikrarkan
- April 1961 - Catur Prasetya resmi dijadikan pedoman kerja kepolisian RI selain Tribrata sebagai pedoman hidup
- 1962 - Kepolisian Negara Republik Indonesia berubah nama menjadi Angkatan Kepolisian RI (AKRI)
Masa kepemimpinan pria kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, 15 Mei 1908 itu juga ditandai konflik Irian Barat dengan Belanda serta pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan PKI, DI/TII, APRA dan lain-lain. Namun, hal-hal tersebut dapat ditanganinya dengan baik.
Ia kemudian digantikan Ajun Komisaris Besar Polisi Soetjipto Danoekoesoemo pada 30 Desember 1963, dan segera diangkat menjadi Menteri Penasihat Presiden untuk Urusan Dalam Negeri. Djojonegoro memasuki masa pensiun mulai 31 Juli 1966. Hari-harinya dinikmati dengan berkumpul bersama keluarga.
Djojonegoro meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia meninggalkan istrinya, R.A. Sukatinah dan lima orang anak. Sesuai permintaannya, jenazah Djojonegoro dimakamkan di makam khusus untuk keluarga Djojonagoro, "Kuwondo Giri" di Banjarnegara.
3. Jenderal Polisi (Purn.) Soetjipto Danoekoesoemo

Jenderal Polisi (Purn.) Soetjipto Danoekoesomo lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 28 Februari 1922. Soetjipto merupakan Kapolri dari 30 Desember 1963 hingga 8 Mei 1965.
Masa kecilnya dihabiskan di bangku HIS, MULO, dan SMA-C. Ia kemudian mengikuti pendidikan di Kotoka I (Sekolah Bagian Tinggi Kepolisian) Sukabumi (1943). Setelah tamat, Soerjipto diangkat menjadi Komandan Batalyon Polisi Istimewa Surabaya (1945).
Soetjipto kembali mengikuti pendidikan Hersholing Mobrig di Sukabumi (1950). Setelah itu, ia diangkat menjadi Wakil Koordinator dan Inspektur Mobile Brigade Polisi Jawa Timur (1951), dan Wakil Koordinator dan Inspektur Mobrig Polisi Jawa Tengah (1954).
Ia lalu dikirim ke Italia untuk memperdalam ilmu kepolisian. Akhir 1960, dia ditempatkan sebagai Ajun Komisaris Besar Polisi Kastaf pada Markas Pimpinan Komandan Mobrig Polisi Pusat.
Tahun 1961, Soetjipto menempuh pendidikan militer-kepolisian di Advance Army School, Fort Benning, Amerika Serikat, dilanjutkan dengan pendidikan di Army Command & General Staff College, Fort Leavenworth, serta kursus pertahanan sipil di New York.
Sekembalinya ke Indonesia, ia dipromosikan menjabat Komandan Mobrig Polisi Pusat (1962). Dua tahun kemudian, Soetjipto dilantik menjadi Kepala Kepolisian Negara (1964) menggantikan Jenderal Polisi Soekarno Djojonegoro.
Berikut ini beberapa peristiwa semasa Soetjipto menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara:
- 19 Maret 1965 - Sekolah Staf dan Komando Angkatan Kepolisian (Seskoak) di Lembang, Bandung, didirikan.
- 15 Maret 1965 - pemberlakuan KUHP Tentara, HAP Tentara, dan KUDT bagi anggota Polri
Pada 9 Mei 1965, Soetjipto Danoekoesoemo digantikan oleh R. Soetjipto Joedodihardjo. Selepas itu, ia menjadi Duta Besar Rl untuk Bulgaria (1966-1969) lalu menjadi anggota DPRGR dan MPRS (1970), serta anggota DPR-MPR RI selama empat tahun (1971-1974).
Soetjipto Meninggal di RSPAD Gatot Soebroto pada 1998 dan disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
4. Jenderal Polisi (Purn.) Soetjipto Joedodihardjo

Jenderal Polisi (Purn.) Soetjipto Joedodihardjo lahir di Jember, Jawa Timur, 27 April 1917. Ia menjabat sebagai Kapolri dari 9 Mei 1965 hingga 8 Mei 1968.
Pada masa kecilnya ia belajar di HIS, KAE, MULO dan menamatkan Mosvia pada 1939.
Joedodihardjo kemudian menjadi ambtenaar (pegawai negeri) dengan menjabat sebagai AIB Tanggul/Besuki (1939). Kemudian AIB di kota kelahirannya, Jember, pada 1940. Sesudah itu, kariernya terus menanjak.
Ia berturut-turut menjadi Mantri Polisi Situbondo (1941), Mantri Polisi Surabaya(1941), Mantri Polisi Bondowoso (1942), Mantri Polisi Kalisat/Jember (1942), dan Itto Keibu Bondowoso (1943). Dari sini, dia mendapat latihan ilmu kepolisian di Taiwan (1944). Sebulan menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI, dia masih menjadi Itto Keibu di Bondowoso.
Dua bulan setelah Kemerdekaan RI, tepatnya pada 1 Oktober 1945, Joedodihardjo menjadi Inspektur Polisi Kelas I pada Pasukan Polisi Istimewa Besuki (1945). Prestasinya menanjak, ketika dia ditarik ke Surabaya sebagai Wakil Komandan Mobrig Polisi Jawa Timur (1947).
Kemudian menjadi Komandan Mobrig Polisi Jakarta Raya (1950), Komandan Mobrig Polisi Jawa Timur (1950), Komisaris Polisi Kelas I pada Jawatan Kepolisian Negara (1954), Lektor PTIK (1960), Komandan Komandemen Mobrig Pusat (1960), Asisten II Kastaf Komisaris Jenderal MBPN (1962), dan Kepala Pusat Pertahanan Sipil (1962).
Pada 1962, Joedodihardjo sempat dikirim ke Amerika Serikat selama satu setengah bulan. Pada tahun itu pula, ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV, Joedodihardjo ditunjuk menjadi Pimpinan Harian Organizing Committeenya. Tiga tahun kemudian, yakni pada 1965, dia diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara untuk masa jabatan sampai 1968.
Semasa kepemimpinan Joedodihardjo, mulai berdiri Akademi Angkatan Kepolisian (1 Oktober 1965). Namun, pada 16 Desember 1965, pendidikan akademi itu disatukan ke dalam pendidikan ABRI, dan namanya menjadi AKABRI Bagian Kepolisian.
Masa kepemimpinan Kapolri Joedodihardjo penuh dengan gejolak. Sebab, inilah masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada 9 Mei 1965, Presiden Sukarno melantik Raden Soetjipto Joedodihardjo menjadi Menteri/Pangak RI berpangkat Inspektur Jenderal Polisi.
Nama Departemen Angkatan Kepolisian (Depak) diubah menjadi Kementerian Angkatan Kepolisian (Kemak). Perubahan ini sehubungan dengan keluarnya Keputusan Presiden 27 Maret 1966 tentang susunan Kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi (Dwikora III).
Namun, namanya berubah lagi menjadi Depak, pada 21 Agustus 1966. Hal ini dilakukan menyusul pembentukan organisasi Kabinet Ampera. Struktur organisasi kepolisian pun beberapa kali berubah karena kondisi dan situasi politik ketika itu agak memanas.
Jabatannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian digantikan oleh Drs. Hoegeng Imam Santoso. Kemudian ia mulai memasuki masa persiapan pensiun. Pada 1 November 1972, dia pensiun dari jajaran kepolisian. Pada 26 Maret 1984, Joedodihardjo meninggal dunia.
5. Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Hoegeng Imam Santoso

Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Hoegeng Imam Santoso lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921. Dia bertugas sebagai Kapolri dari 1968-1971. Hoegeng merupakan salah satu penandatangan Petisi 50. Namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Bahayangkara di Mamuju dengan nama Rumah Sakit Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso.
Hoegeng masuk pendidikan HIS pada usia enam tahun, kemudian melanjutkan ke MULO (1934), dan menempuh sekolah menengah di AMS Westers Klasiek (1937).
Lulus sekolah menengah, Hoegeng belajar ilmu hukum di Rechts Hoge School Batavia pada 1940. Sewaktu pendudukan Jepang, ia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943).
Setelah itu, ia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang (1944), lalu menjadi Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara Laut Jawa Tengah (1945-1946). Kemudian, dia mengikuti pendidikan Polisi Akademi dan bekerja di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.
Di luar dinas kepolisian, Hoegeng terkenal dengan kelompok pemusik Hawaii, The Hawaiian Seniors. Selain ikut menyanyi, Hoegeng juga memainkan ukulele.
Saat menjadi Kapolri, Hoegeng melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut struktur organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru terkesan lebih dinamis dan komunikatif. Pada masa jabatannya, terjadi perubahan nama pimpinan polisi dan markas besarnya.
Berdasarkan Keppres No.52 Tahun 1969, sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Dengan begitu, nama Markas Besar Angkatan Kepolisian pun berubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabak).
Perubahan itu membawa sejumlah konsekuensi untuk beberapa instansi yang berada di Kapolri. Misalnya, sebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI atau Kadapol. Demikian pula sebutan Seskoak menjadi Seskopol.
Di bawah kepemimpinan Hoegeng, peran serta Polri dalam peta organisasi polisi internasional, International Criminal Police Organization (ICPO), semakin aktif. Hal itu ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.
Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, Georgia, Amerika Serikat. Dari situ, dia menjabat sebagai Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu, menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatera Utara (1956) di Medan.
Pada 1959, Hoegeng mengikuti pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966.
Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian Negara, kariernya pun terus menanjak. Di situ, dia menjabat Deputi Operasi Pangak (1966), dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi tahun 1966. Terakhir, pada 5 Mei 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (tahun 1969, namanya kemudian berubah menjadi Kapolri), menggantikan Soetjipto Joedodihardjo.
Hoegeng mengakhiri masa jabatannya pada 2 Oktober 1971, dan digantikan oleh Drs. Mohamad Hasan.
6. Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Mohamad Hasan

Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Mohamad Hasan lahir di Muaradua, 20 Maret 1920. Dia menjabat sebagai Kapolri pada 1971–1974.
Hasan pernah menjadi anggota MPR dan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia (1974-1978). Ia juga telah menerima 17 bintang tanda jasa.
Ia meninggal dunia pada 23 Februari 2005 karena menderita sesak napas di RSPP dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Hasan meninggalkan seorang istri, Nani Hasan (Nyi Rd Djumanten), sembilan anak, 24 orang cucu dan seorang cicit.
7. Jenderal Polisi (Purn.) Widodo Budidarmo

Jenderal Polisi (Purn.) Widodo Budidarmo lahir di Surabaya, Jawa Timur, 1 September 1927. Dia adalah mantan Kapolri periode 1974-1978.
Widodo mengenyam pendidikan umum di HIS (1934-1941), lalu melanjutkan ke Sekolah Teknik (1942-1946). Semasa dalam pendidikan sekolah menengah itu, ia sudah aktif mengangkat senjata untuk ikut dalam perang kemerdekaan di Jawa Timur. Widodo masih dapat menyelesaikan SMA-nya tahun 1950.
Widodo kemudian memasuki karier kepolisian dan belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian hingga lulus pada 1955. Setelah itu, dia menjabat Kabag Organisasi Polisi di Purwakarta selama tiga tahun, 1956-1959. Selama masa itu pula dia ikut dalam Operasi Penumpasan Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat.
Salah satu prestasi Kapolri Widodo Budidarmo adalah ketika Polri sepakat mendirikan Kantor Bersama 3 Instansi (Samsat) di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Ketiga instansi itu masing-masing adalah Polri, Pemda DKI Jakarta, dan Perum AK Jasa Raharja. Mereka mencapai kata sepakat untuk membuka kantor seatap di Polda.
Program bersama ini dioperasikan dalam rangka pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, seperti STNK, BPKB dan lain-lain. Pada masa Widodo pula, pemerintah mengeluarkan UU No. 9 tentang Narkotik, tertanggal 26 Juli 1976. Pada masa Kapolri Widodo, diterbitkan juga sebuah Skep Kapolri yang khusus mengenai Satama Satwa guna menunjang langkah-langkah operasional Polri (1977).
Pada awal 1960, dia pergi ke Amerika Serikat untuk memperdalam ilmu militernya di US Coast Guard Officers Candidate School, dan rampung pada 1960. Pulang dari AS, Widodo menjabat Kabag Operasi Polisi Jakarta Raya (1960). Setelah itu berbagai jabatan disandangnya, berturut-turut menjadi Panglima Korps Perairan dan Udara (1964), Panglima Daerah Kepolisian II Sumatra Utara (1967), dan Kadapol VII Metro Jaya periode 1970-1974.
Di sini, Kadapol Widodo bertanggung jawab atas operasi pengamanan langsung Pemilu 1971 di Jakarta, yang ketika itu suasananya panas. Bahkan setelah pemilu, dia juga harus mengamankan Sidang Umum MPR-RI yang berlangsung di Jakarta. Dalam hal ini, Widodo pun diangkat menjadi anggota MPR-RI.
Selepas menjabat Kadapol Metro Jaya, pada 25 Juni 1974, Widodo dilantik oleh Presiden Soeharto menjadi kapolri. Dia memangku jabatan kapolri selama periode 1974-1978. Widodo dilantik dan diambil sumpah jabatannya pada 26 Juni 1974 di Istana Negara oleh Presiden Soeharto. Dia dilantik bersama KASAL Laksamana Madya TNI R.S. Subijakto.
Jenderal Widodo meninggal dunia di Jakarta dalam usia 89 tahun, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
8. Jenderal Polisi (Purn.) Prof. Dr. Awaloeddin Djamin

Jenderal Polisi (Purn.) Prof. Dr. Awaloeddin Djamin, M.P.A., Ph.D. lahir di Padang, Sumatra Barat, 26 September 1927. Ia pernah menjabat sebagai Kapolri pada periode 1978 sampai 1982, menjadi Menteri Tenaga Kerja pada Kabinet Ampera (1966), dan juga pernah ditugaskan sebagai Duta Besar untuk negara sahabat.
Setamat SLTA, dia melanjutkan studinya di Fakultas Ekonomi (1949-1950). Masuk menjadi prajurit polisi, kemudian menempuh pendidikan di PTIK hingga lulus tahun 1955.
Pada 25 April 1955, ia turut mendirikan Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA) bersama 23 mahasiswa lainnya. Dia lalu ditempatkan pada bagian Sekretariat Jawatan Kepolisian Negara (1955) dan menjabat Kasi Umum Sekretariat Jawatan Kepolisian Negara (1958).
Awaloeddin kemudian memperdalam studinya di University of Pittsburgh dan dilanjutkan ke University of Southern California, Amerika Serikat, hingga menggondol gelar PhD pada 1962.
Sepulang dari Amerika Serikat, Awaloeddin menjabat sebagai Lektor Luar Biasa PTIK (1964). Kemudian berturut-turut menjadi Direktur Kekaryaan Depak (1964), anggota Musyawarah Pembantu Perencana Nasional (1965), anggota DPRGR (1964-1966), Menteri Tenaga Kerja Kabinet Ampera (1966), dan Deputi Pangak Urusan Khusus semasa Kapolri Hoegeng Imam Santoso (1968).
Sebelum ditugaskan sebagai Duta Besar untuk Jerman Barat (1976), Awaloeddin terlebih dulu menjadi Direktur Lembaga Administrasi Negara(1970). Dia kemudian dipanggil pulang ke Jakarta untuk dilantik oleh Presiden Soeharto menjadi Kapolri, pada 26 September 1978.
Awaloeddin menjabat Kapolri selama empat tahun, dari 1978 sampai 1982. Pada masa kepemimpinannya, organisasi Polri diarahkan menjadi lembaga yang dinamis dan profesional, dan pada masa Awaloeddin pula KUHAP UU No. 8 Tahun 1981 sebagai hasil karya bangsa Indonesia, disahkan DPR RI.
KUHAP sebagai pengganti Het Herziene Inlandsh Reglement (HIR), hukum acara pidana produk kolonial Belanda yang dianggap telah usang dan tidak manusiawi. Dalam hal ini, Polri berperan aktif menyumbangkan pokok-pokok pikiran untuk materi KUHAP baru itu.
Hasratnya dalam bidang pendidikan ternyata belum sirna. Terbukti, Awaloeddin masih pula mengabdikan dirinya dalam pendidikan dan pengembangan profesi kepolisian. Setelah tidak lagi menjadi Kapolri, dia masih bersedia menjabat sebagai Dekan PTIK yang notabene berada di bawah Kapolri.
Kecintaannya kepada Polri dan demi nusa dan bangsa, membuat Awaloedin tidak mau terjebak dalam status simbol. Maka dia memilih tetap menerima jabatan Dekan PTIK. Awaloeddin meninggal di Jakarta, 31 Januari 2019 pada usia 91 tahun.
9. Jenderal Polisi (Purn) Anton Soedjarwo

Jenderal Polisi (Purn.) Anton Soedjarwo lahir di Bandung, Jawa Barat, 21 September 1930. Anton menjabat Kapolri dari 4 Desember 1982 hingga 1986. Ia meninggal di Jakarta, 18 April 1988 pada umur 57 tahun.
Berikut ini karier Anton semasa hidup:
- 1952 - lulus dari SMU di Magelang
- 1954 - lulus dari Akademi Kepolisian (Akpol) di Sukabumi
- 1954-56 - Inspektur Kepala Kepolisian di Palopo
- 1956 - ajudan Kapolri Sukanto Tjokrodiatmodjo
- 1956-57 - Kepala Bagian Lalu-lintas di Makassar
- 1957-58 - Atase Seksi Hubungan Luar Negeri Biro Organisasi Markas Besar Polri
- 1959-61 - Komandan Pasukan di Brimob
- 1960 - pelatihan ranger di Porong
- 1961 - pelatihan infantri di Amerika Serikat
- 1962-64 - Komandan Batalyon 1232/Pelopor di Brimob
- 1962 - memimpin unit yang masuk ke Irian Barat
- 1964-72 - Komandan, Resimen Pelopor, Brimob
- 1968 - menghadiri Police Staff College di Lembang
- 1969 - lulus kursus pasukan penerjun payung di Sukasari
- 1969-72 - mengepalai Kepolisian wilayah Tanjung Priok dan Pasar Ikan
- 1972-74 - Komandan, Kores 102, Kodak 10 di Malang
- 1974 - Komandan, Komapta
- 1974 - Komandan, Komando Daerah Kepolisian (Kodak) 11 (Kalimantan Barat)
- 1978 - Komandan, Kodak 2 (Sumatra Utara)
- 1978 - 82 - Brigjen (Pol.), kemudian Mayjen (Pol.), Kodak 7 (Jakarta Raya)
- 1982 - 1986 - Kapolri
10. Jenderal Polisi (Purn) Mochamad Sanoesi

Jenderal Polisi (Purn) Mochamad Sanoesi lahir di Bogor, Jawa Barat, 15 Februari 1935. Sanoesi menjabat sebagai Kapolri sejak 7 Juni 1986 hingga 19 Februari 1991.
Lulusan PTIK Angkatan VII ini dilantik menjadi Komisaris Polisi II, selanjutnya belajar di International Police Academy, Amerika Serikat (1969). Dia pun mengikuti pendidikan karier lainnya di Polri dan ABRI, seperti Seskopol (1970) dan Sesko ABRI-Gabungan (1976).
Namun, karier Sanoesi dalam dinas kepolisian dimulai sejak menjabat sebagai Komandan Resort Kepolisian 1051 Madiun (1963-1968). Lalu menjabat Kastaf Komdin 104 Kediri (1968-1972) dan Paban III/Litbang, Komandan Pusat Kesenjataan Administrasi dan Kastaf Kobangdildat Polri (1972-1981).
Kapolri Mochamad Sanoesi mempunyai pandangan bahwa dalam menjalankan tugas, Polri harus mengoptimalkan seluruh potensi yang ada, baik yang dimilikinya sendiri maupun yang ada pada masyarakat.
Selain itu, seluruh potensi yang ada harus dinamis agar mampu mendukung tugas-tugas Polri. Berangkat dari itulah, Sanoesi sebagai Kapolri kemudian mencanangkan motto Optimasi dan Dinamisasi yang kemudian terkenal dengan istilah Opdin.
Dari pengalaman bertugas di kewilayahan dan di bidang pendidikan, Sanoesi melihat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di lingkungan Polri perlu ada penyempurnaan mekanisme dan sistem pendidikan Polri. Lantas, dia pun mengajukan wawasan bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya Polri mutlak harus dilandasi dengan penggunaan ilmu dan teknologi.
Maka, lahirlah falsafah Vidya Satyatama Mitra, yang berarti, Pengetahuan adalah Sahabat Paling Setia. Agar wawasan itu terus diingat, kemudian dilekatkan pada Pataka Kobangdildat Polri berupa Sasanti Widya Satyatama Mitra.
Sewaktu Sanoesi menjabat Kadis Litbang Polri (1981-1982), peran ilmu pengetahuan (Iptek) makin menjadi pengasah profesionalisme Polri. Misalnya, waktu itu Sanoesi mengajak sejumlah pakar berbagai disiplin ilmu dari Universitas Indonesia untuk merumuskan deskripsi tentang masyarakat dari dimensi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
Pendidikan dan Iptek itu pula yang menjadi modal dan pengalaman berharga dalam mendinamisasikan tanggung jawabnya selaku Kapolda Kalimantan Selatan dan Tengah (1982-1984). Di Kalimantan itu, dia menjalin dialog komunikatif dengan para tokoh masyarakat, terutama tokoh agama, dalam memelihara Kamtibmas.
Dia kemudian diangkat menjadi Asisten Kepala Staf Umum ABRI Bidang Kamtibmas (Askamtibmas Kasum ABRI) pada 1984-1985, lalu menjadi Kapolda Jawa Tengah (1985).
Ketika menjabat Askamtibmas Kasum ABRI, Sanoesi diperintahkan menyusun Strategi Pembinaan Kamtibmas jangka sedang (1984-1988). Naskah inilah yang kelak menjadi embrio dari penggelaran Strategi Opdin (Optimasi dan Dinamisasi) sewaktu Sanoesi menjabat Kapolri.
Strategi Opdin ini juga dimaksudkan sebagai benang merah kelanjutan dari kedua Strategi Kapolri sebelumnya, yaitu "Pola Dasar Pembenahan Polri" oleh Kapolri Jenderal Pol DR Awaloedin Djamin MPA, dan "Rencana Konsolidasi dan Fungsionalisasi (Rekonfu)" oleh Kapolri Jenderal Pol Anton Soedjarwo.
Semua itu didasarkan pada kesadarannya bahwa proses pembangunan Polri dan citranya dalam masyarakat bukanlah merupakan proses yang ditempuh secara terpenggal-penggal, melainkan merupakan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan dan konsisten.
Atas segenap pengabdiannya, antara lain Sanoesi menerima Bintang Dharma, Bintang Bhayangkara Utama, dan Bintang Yudha Dharma Nararya. Sementara dari dunia internasional dia menerima Bintang Pratama Born (Thailand), Bintang Panglima Satya Mahkota (Malaysia), dan Comandeur de la Legian D'honneur. Sanoesi meninggal di Jakarta, 26 Desember 2008, pada usia 73 tahun.
11. Jenderal Polisi (Purn) Kunarto

Jenderal Polisi (Purn.) Kunarto lahir di Yogyakarta, 8 Juni 1940. Kunarto menjabat sebagai Kapolri periode 1991-1993. Ia masuk pendidikan polisi, PTIK angkatan IX pada 1961. Ia pernah menjabat sebagai ajudan mantan Presiden Soeharto dari 1979 hingga 1986.
Dia juga pernah menjabat Wakil Kepala Polda Metro Jaya dari 1 September 1986 hingga Desember 1987, serta sebagai Kapolda Sumatera Utara periode 1987-1989. Pada 11 Agustus 1993, ia dilantik sebagai Wakil Ketua BPK RI mendampingi J.B. Sumarlin, dan bertugas sampai 1998.
Kunarto meninggal dunia di Rumah Sakit Internasional Surabaya, 28 September 2011 pada pukul 04.00 WIB. Jenazahnya disemayamkan di STIK-PTIK Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan dengan acara kemiliteran.
12. Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Banurusman Astrosemitro

Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Banurusman Astrosemitro lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 September 1941. Dia adalah mantan Kapolri peridoe 1993-1996. Sebelum menjadi Kapolri, dia pernah menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat dan Kapolda Metro Jaya.
Banurusman menyelesaikan pendidikan menengah atasnya di SMA Negeri 1 Tasikmalaya. Lalu pada 1 September 1961, dia masuk dinas kepolisian dengan mengikuti serangkaian pendidikan kepolisian, hingga tamat pada Februari 1965 dengan pangkat Letnan Satu. Ia meninggal di Jakarta, 6 November 2012, pada usia 71 tahun.
13. Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Dibyo Widodo

Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Dibyo Widodo lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 26 Mei 1946 . Ia adalah Kapolri ke-13 yang mempertegas peran kepolisian sebagai pengayom masyarakat. Hal ini sesuai dengan latar belakang tugas yang diemban oleh lulusan PTIK tahun 1975, yang tidak bergeser dari berbagai permasalahan yang selalu muncul di masyarakat.
Selama periode kepemimpinannya yang ditandai dengan adanya peristiwa penting bagi bangsa dan negara yakni Pemilihan Umum 1997, menunjukkan bahwa dia memang dituntut oleh tugas yang memerlukan disiplin tinggi maupun kerja sama tim yang solid.
Garis kebijakan yang dikeluarkan sejak dilantik pada 18 Maret 1996 lalu tertuang dalam butir-butir kebijakan, yaitu: Sosialisasi Gerakan Displin National, Pembentukan/Kerja Sama Tim, Konsistensi Pendekatan Hukum, Pelayanan Terbaik dan Amankan dan Sukseskan Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR 1998, yang diarahkan untuk mewujudkan penampilan individu, penampilan satuan dan penampilan operasional.
Pengalaman lapangan yang luas, termasuk di daerah yang potensi konfliknya cukup tinggi semacam Surabaya dan Medan, cukup untuk memberi bekal bagi seorang pemimpin dengan beban yang tidak kecil.
Dibyo Widodo memulai kariernya di kepolisian sejak 1 Desember 1968 dengan pangkat Inspektur Polisi tingkat II. Mengawali tugas sebagai Perwira Operasi di Komres 1012 Surabaya.
Pada masa bertugas ini juga, Dibyo mempersunting Dewi Poernomo Aryanti sebagai istrinya. Pasangan ini dikarunia tiga orang anak, satu di antaranya perempuan.
Sebagai sosok yang menyusuri karier mulai dari bawah, putra pertama pasangan Drs Soekardi dan Toerniati Sukardi ini pernah menduduki 32 jabatan sebelum sampai puncak kariernya sebagai Kapolri. Hal ini dilalui dengan ketekunan menapaki berbagai jenjang pendidikan maupun kursus dan penataran.
Pendidikan umumnya sendiri adalah sampai tingkat SMA pada 1965 yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan di Akademi Angkatan Kepolisian (1968), Bakaloreat PTIK (1972), Doktoral PTIK (1975), Sesko ABRI Bagpol (1981), Lemhannas (1993).
Penyandang brevet Para Brimob Polri, Selam Polri, Selam Angkatan Laut, dan Pandu Udara dari Kopassus Angkatan Darat ini, punya komitmen untuk meningkatkan operasional Polisi dalam memberantas kejahatan dengan tetap memperhatikan garis-garis kebijakan pendahulunya.
Catatan prestasi operasionalnya cukup menonjol ketika bertugas di Operasi Seroja Timor Timur, namun sebenarnya lonjakan kariernya tercatat setelah menyelesaikan tugas sebagai Kapolres Deli Serdang tahun 1986, dan kemudian diangkat sebagai ADC Presiden RI sampai 1992. Berturut-turut setelah itu ia menjabat sebagai Irpolda Sumut, Wakapolda Nusa Tenggara, Wakapolda Metro Jaya, Kapolda Metro Jaya kemudian Kapolri.
Semasa menjabat Kapolda Metro Jaya banyak langkah taktis dilakukan maupun tindakan tegas yang seringkali membuat berdebar anak buahnya, karena sikapnya yang menindak segala bentuk penyimpangan di lingkungan Polri maupun dalam menghadapi gangguan kamtibmas di Ibu Kota. Dia tak segan-segan bertindak keras tanpa pandang bulu.
Untuk melayani dengan cepat segala keluhan masyarakat, muncullah gagasan pembentukan satuan Unit Reaksi Cepat atau lebih dikenal dengan singkatan URC, di mana setiap ada laporan dari masyarakat, dalam tempo singkat satuan Polri segera tiba di tempat kejadian.
Satuan khusus ini didukung oleh kendaraan roda empat dan roda dua dengan anggota yang terlatih dan handal, sehingga mampu menjadi tulang punggung kesatuan Polri dalam mengantisipasi setiap gangguan kamtibmas agar masyarakat benar-benar merasa aman dan tenteram.
Kehadiran URC di TKP pertama-tama adalah pengamanan TKP dengan memberikan pita kuning bertanda "DILARANG MELINTAS GARIS POLISI" sehingga semua data, baik berupa sidik jari maupun bukti-bukti yang lain belum terjamah oleh orang lain. Hal ini memudahkan petugas Laboratorium Forensik dalam mengidentifikasi setiap bukti yang ada, dan dengan cepat pula dianalisis untuk mengungkap kejadian guna pengusutan selanjutnya.
Pada masa kepemimpinannya, Polda Metro Jaya benar-benar dibuat tidak pernah tidur dan seolah-olah setiap jengkal tanah di wilayah Jabotabek ini selalu terdengar langkah anggota Polri berjalan seirama detak jarum jam.
Sebelum menduduki tampuk pimpinan tertinggi Polri, jauh-jauh hari masyarakat telah meramalkan bahwa nanti Jenderal ini pasti segera berpindah kantor dari Semanggi ke Trunojoyo.
Namun, semua orang juga tak mengira akan secepat itu penyerahan tongkat komando dari Jenderal Polisi Drs. Banurusman kepada Letjen.Pol. Drs. Dibyo Widodo, sehingga masyarakat pun kembali dibuat seolah seperti kejadian yang tiba-tiba. Dengan pengalaman yang lengkap inilah Jenderal Dibyo Widodo mampu melangkah ke jenjang tertinggi di lingkungan Polri.
Dibyo Widodo meninggal dunia akibat serangan jantung, setelah sebelumnya mengalami koma selama 2 hari. Ia meninggal di Singapura, 15 Maret 2012 pada usia 65 tahun.
14. Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Roesmanhadi

Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Roesmanhadi lahir di Madura, Jawa Timur, 5 Maret 1946. Dia adalah mantan Kapolri periode 1998 sampai 2000. Sebelumnya ia adalah perwira tinggi Mabes ABRI sebagai Staf Ahli Menhankam Bidang Kamtibmas.
Pendidikan militer yang pernah ditempuh oleh Roesmanhadi adalah PTIK angkatan 11, Sespim Polisi pada 1980, Sesko ABRI tahun1990 dan kursus Lemhannas pada 1992.
Jabatan pertama yang diemban Roesmanhadi setelah lulus PTIK adalah Irdin Res 86 Bandung Polda Jabar pada 1969, kemudian meningkat terus hingga jabatan terakhir sebagai Staf Ahli Menhankam Bidang Kamtibmas yang diembannya sejak 15 Oktober 1997.
Roesmanhadi juga pernah menjabat Wakapolda Kalbar pada 1991, Wakapolda Jatim pada 1992, Kapolda Sumatera Utara pada 1993, Kapolda Jatim tahun 1995, Demin Kapolri pada 1996.
15. Jenderal Polisi (Purn.) Kanjeng Hario Rusdihardjo

Jenderal Polisi (Purn.) Kanjeng Pangeran Hario Rusdihardjo lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 7 Juli 1945. Ia adalah Kapolri dari 4 Januari 2000 hingga 22 September 2000. Setelah tidak lagi menjabat sebagai kapolri, ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Malaysia dari 2004 hingga 2006.
Ia sempat mendapat kecaman pada awal 2005 karena meminta maaf kepada pemerintah Malaysia, akibat peristiwa pembakaran bendera Malaysia dalam aksi unjuk rasa di depan kedubes Malaysia terkait kasus Ambalat.
Lahir dari pasangan suami istri G.P.H. Notoprodjo dan R. Ayu Soenarni Wongsonegoro, Rusdihardjo mulai masuk sekolah di Sekolah Dasar Margorejo, Kecamatan Tayu, Pati. Di sekolah tersebut ia belajar dari kelas I hingga kelas IV, sedangkan kelas V hingga kelas VI diselesaikan di Walikukun, Ngawi, Jawa Timur.
Selesai menempuh pendidikan di sekolah dasar, Rusdihardjo kemudian melanjutkan sekolah di SMP Negeri I Tangerang pada 1957. Tiga tahun kemudian, ia lulus dari SMP tersebut dan selanjutnya meneruskan pendidikan di SMA Regina Pacis, Bogor. Rusdihardjo pindah-pindah tempat sekolah karena mengikuti pekerjaan ayahnya yang seringkali dipindahtugaskan, dari perkebunan satu ke perkebunan lainnya.
Setamat SMA, Rusdihardjo memutuskan untuk masuk Akademi Kepolisian. Rusdihardjo resmi diterima di Akademi Kepolisian di Sukabumi pada 1964. Kemudian ia lulus Baccaloreat PTIK pada 1967 dengan pangkat letnan dua.
Rusdihardjo kemudian ditempatkan sebagai perwira samapta di Komwil 73 (sekarang disebut polres) Jakarta Barat. Inilah awal karier bagi Rusdihardjo di Kepolisian.
Pada 1971, Rusdihardjo melanjutkan pendidikan di PTIK tingkat (doktoral), yang diselesaikan pada 1974. Setelah menyelesaikan pendidikan di PTIK, selanjutnya Rusdihardjo mendapat tugas baru di Polda Kalimantan Barat dengan jabatan sebagai Kabag Reserse.
Pada 1979, Rusdihardjo berhasil lulus testing Sesko ABRI bagian Kepolisian. Sejak saat itulah, ia menjadi mahasiswa di Seskopol dan selesai pada 1980. Pada tahun yang sama, Rusdihardjo mendapat Surat Keputusan (Skep) baru, yaitu pindah ke kesatuan utama reserse narkotika di Mabes Polri, Jakarta.
Dua tahun kemudian, Rusdihardjo naik pangkat menjadi letnan kolonel (letkol) polisi dan ditempatkan di Kanit II Sattama Serse Narkotik Mabes Polri. Berdasarkan pengalamannya di bidang narkotika, Letkol Polisi Rusdihardjo diangkat sebagai Kasubdit Reserse Narkotika di Mabes Polri.
Rusdihardjo memegang jabatan sebagai Kasubdit Reserse Narkotika di Mabes Polri cukup lama, yakni hingga 1989. Saat memangku jabatan tersebut, banyak hal yang telah dilakukan oleh Rusdihardjo, salah satunya adalah mengembangkan teknik dan taktik untuk menanggulangi masalah narkotika, teknik tersebut ditemukan oleh Rusdihardjo dan dinamakan Controlled Delivery.
Teknik tersebut berhasil membongkar sindikat narkoba antarnegara, selanjutnya teknik ini digunakan dan disahkan oleh semua anggota PBB pada Februari 1988 melalui Sidang Umum Divisi Narkotika PBB di Wina.
Setelah memangku jabatan sebagai Kasubdit Reserse di Mabes Polri, kemudian selama tiga tahun hingga 1992, Rusdihardjo diangkat menjadi Kapolwil Daerah Istimewa Yogyakarta. Seiring dengan program Visit Indonesia Year 1990, selaku Kapolwil Yogyakarta, Rusdihardjo membentuk "turis polisi" yang modern dan ramah.
Gagasan Rusdihardjo tentang tourist police tersebut mendapat dukungan kuat dari banyak kalangan. Dalam perkembangannya, gagasan ini kemudian diangkat menjadi program nasional oleh Mabes Polri.
Pada 2008, KPK menyatakan Rusdiharjo sebagai tersangka dalam kasus pungutan liar pembuatan visa di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia. Rusdiharjo diduga menerima pungutan liar sebesar Rp900 juta.
Kasus pungutan liar ini terungkap setelah Badan Pencegah Rasuah Malaysia melaporkannya kepada KPK. Oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rusdihardjo divonis 2 tahun penjara.
Upaya banding mengurangi vonisnya menjadi satu setengah tahun. Pada 30 Maret 2009, Rusdihardjo selesai menjalani masa tahanannya karena telah mendapatkan pembebasan bersyarat.
16. Jenderal Polisi (Purn.) Surojo Bimantoro

Jenderal Polisi (Purn) Surojo Bimantoro lahir 1 November 1946. Ia menjabat sebagai Kapolri sejak 23 September 2000 hingga 21 Juli 2001. Ia dipilih oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), akan tetapi ditentang oleh kalangan internal Polri.
Polemik ini dipicu karena diadakannya kembali jabatan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Wakapolri oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Kemudian, gerakan ini terakomodir oleh para perwira menengah Polri yaitu antara lain Kolonel (Pol) Alfons Lemau, yang ingin perubahan dalam tubuh Polri dengan cara jabatan Wakapolri ditiadakan.
Pada 21 Juli 2001, Presiden Abdurrahman Wahid memberhentikan Surojo Bimantoro sebagai Kapolri karena telah diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Malaysia, dan melantik Wakapolri Letnan Jenderal (Pol) Chairuddin Ismail sebagai penggantinya.
17. Jenderal Polisi (Purn.) Chairudin Ismail

Jenderal Polisi (Purn.) Chairudin Ismail lahir pada 1 November 1946. Ia adalah Kapolri yang menggantikan Jenderal Surojo Bimantoro dan pernah menjadi tim sukses pasangan capres Jusuf Kalla-Wiranto.
Pada masa kepemimpinan Surojo Bimantoro, terjadi polemik di tubuh Polri. Presiden Abdurrahman Wahid dan para pendukungnya memang belakangan sukses membujuk parlemen agar menerima pengangkatan Bimantoro, meski dengan syarat.
Tetapi belakangan, muncul ironi baru: Presiden mengulangi kekeliruan dengan "memecat" Bimantoro dan mengangkat Jenderal Chaerudin Ismail tanpa persetujuan parlemen.
Situasi pun berbalik, Bimantroro menjadi salah satu pion DPR dalam perang politiknya melawan Presiden. Bagaimana pun, masa bulan madu antara Bimantoro dan Presiden memang hanya sebentar. Baru satu bulan menjadi Kapolri, Bimantoro sudah berseberangan pikiran dengan Presiden.
Mereka berbeda dalam penanganan gerakan Papua Merdeka. Presiden Abdurrahman memperbolehkan pengibaran Bintang Kejora, simbol Organisasi Papua Merdeka. Sedangkan Bimantoro tegas tidak menoleransinya.
Perbedaan pendapat itulah yang menurut Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri, menjadi awal mula kerenggangan hubungan antara Polri dan Istana.
Hubungan baik tidak dapat diraih, keretakan semakin bertambah, dan Bimantoro semakin tidak populer di mata Presiden. Kasus penangkapan dua eksekutif perusahaan asuransi berkebangsaan Kanada yang diduga terlibat dalam pembelian saham ganda, menjalar menjadi persoalan diplomatik Indonesia-Kanada.
Lewat Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Presiden gagal menghentikan persoalan ini di polisi. Penuntutan kasus itu baru bisa dihentikan setelah Jaksa Agung Marzuki Darusman ikut turun tangan. Seiring dengan memanasnya suhu politik nasional, ketika DPR melahirkan Memorandum II pada Mei lalu, lagi-lagi polisi dituding tidak bersikap adil oleh Presiden.
Polisi, misalnya, dituding terlalu ketat melakukan razia terhadap para pendukung Presiden yang hadir ke Jakarta untuk mengikuti "doa politik" mempertahankan Abdurrahman Wahid, sementara mereka membiarkan demonstran yang membawa pedang ke Istana.
Puncak ketegangan hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan Kapolri terjadi menyusul penanganan demonstrasi para pendukung Abdurrahman Wahid di Pasuruan, Jawa Timur. Dalam insiden itu, satu pendukung Presiden tewas diterjang peluru aparat. Presiden marah besar. Ia menuduh polisi tidak proporsional menembak orang yang, kata dia, sedang berada di warung makan.
Pada awal Juni itu, hampir bersamaan waktu dengan pergantian lima menteri dan Jaksa Agung, Presiden meminta Bimantoro mengundurkan diri. Namun, Bimantoro menolak. Pada 2 Juni 2001, Presiden melantik Inspektur Jenderal Chaerudin Ismail sebagai Wakil Kapolri.
Yang menarik, jabatan Wakil Kapolri ini sebenarnya telah dihapuskan oleh Presiden sendiri melalui Keppres No. 54/2001 tertanggal 1 April 2001. Pengangkatan Chaerudin sekaligus merevisi Keppres tersebut dengan keluarnya Keppres No. 77 tertanggal 21 Juni, yang berlaku surut 1 Juni 2001.
Kasus ini telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseturan Presiden dengan parlemen.
Pengangkatan Chaerudin memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri. Masalah Polri ini semakin berlarut-larut. Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Presiden Abdurrahman Wahid mengumumkan pemberhentian Kapolri nonaktif Bimantoro, dan akan menugaskan mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia.
Beberapa jam kemudian, lagi-lagi Bimantoro menolak. Situasi Mabes Polri semakin panas, apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri, meminta Bimantoro ikhlas mundur, ditambah lagi berita akan ditangkapnya Bimantoro karena dianggap telah membangkang terhadap perintah Presiden.
Bimantoro tidak goyah dan memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis. Pada 21 Juli 2001, Presiden melantik Chaerudin Ismail resmi sebagai Pejabat sementara Kapolri, meski dengan bayaran yang mahal.
Pelantikan itu memicu krisis politik baru: DPR meminta MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa, meski Presiden mengangkat Chaerudin hanya sebagai Pejabat sementara Kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang empat. Ismail merupakan pejabat sementara de facto Kapolri, dalam Keppres 97/2001 dianggap tidak sah.
18. Jenderal Polisi (Purn.) Da'i Bachtiar

Jenderal Polisi (Purn.) Da'i Bachtiar lahir di Indramayu, Jawa Barat, 25 Januari 1950. Ia adalah mantan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia sejak 8 April 2008 sampai September 2012. Da'i juga pernah menjabat sebagai Kapolri dari 29 November 2001 hingga 7 Juli 2005.
Ia juga pernah menjadi anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 (TGPF). Pada 15 Oktober 2002, ia mengumumkan bahwa hasil penyelidikan para penyelidik Indonesia pada lokasi Bom Bali 2002 telah berhasil menemukan bekas bahan peledak plastik C-4.
Setelah salah satu tersangka Bom Bali, Amrozi, ditangkap, Da'i mengadakan pertemuan dengannya. Pada kesempatan itu, Da'i Bachtiar tampak gembira, berjabatan tangan, dan berfoto dengan Amrozi.
19. Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Sutanto

Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Sutanto lahir di Comal, Pemalang, Jawa Tengah, 30 September 1950. Ia adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Indonesia sejak 22 Oktober 2009 hingga 19 Oktober 2011. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Kapolri sejak 8 Juli 2005 hingga 30 September 2008.
Lulusan Akabri tahun 1973 ini sebelumnya adalah Kepala Badan Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Narkotika Nasional. Ia pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto pada 1995–1998, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatra Utara (2000), dan Kapolda Jawa Timur (17 Oktober 2000-Oktober 2002).
Berikut ini perjalananan karier Sutanto :
- Pamapta Konwiko 74 Jakarta Selatan PMJ (1973-1975)
- Kapolsek Metro Kebayoran Lama PMJ (1978-1980)
- Kapolsek Metro Kebayoran Baru PMJ (1980)
- Komandan Detasemen Provoost Polda Jatim (1990-1991)
- Kapolres Sumenep Polda Jatim (1991-1992)
- Kapolres Sidoarjo Polda Jatim (1992-1994)
- Paban Asrena Polri (1994-1995)
- Ajudan Presiden RI (1995-1998)
- Wakapolda Metro Jaya (1998-2000)
- Kapolda Sumatra Utara (2000)x
- Kapolda Jawa Timur (17 Oktober 2000-Oktober 2002)
- Kalemdiklat Polri (24 Oktober 2002-28 Februari 2005)
- Kalakhar BNN (28 Februari 2005-Juli 2005)
- Kapolri (8 Juli 2005-30 September 2008)
- Komisaris Utama PT Pertamina (Januari 2009-21 Oktober 2009)
- Kepala Badan Intelijen Negara (21 Oktober 2009 - 19 Oktober 2011)
- Komisaris Independen MNC Group (2011-sekarang)
Beberapa peristiwa penting semasa menjabat sebagai Kapolri:
- Pencanangan pemberantasan perjudian pada 100 hari pertama menjabat yang terhitung sukses dalam pelaksanaannya.
- Penangkapan buronan terorisme asal Malaysia, Dr. Azahari
- Pengungkapan identitas para pelaku Bom Bali 2005
- Penyelesaian kasus penyuapan saat penanganan kasus pembobolan Bank BNI, dengan tersangka Brigjen Ismoko, Komisaris Besar Irman Santosa dan Komisaris Jendral Suyitno Landung.
20. Jenderal Polisi (Purn) Bambang Hendarso Danuri

Jenderal Polisi (Purn.) Drs. H. Bambang Hendarso Danuri, M.M. lahir di Bogor, Jawa Barat, 10 Oktober 1952. Ia menjabat sebagai Kapolri sejak 1 Oktober 2008 hingga 22 Oktober 2010.
Bambang adalah lulusan Akademi Kepolisian tahun 1974 dan meraih gelar sarjana dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Jakarta. Istrinya, Nanny Hartiningsih, dan merupakan adik dari mantan Pangdam I/Bukit Barisan Mayjen TNI (Purn) Tri Tamtomo.
Berikut Karier Bambang selama di Korps Bhayangkara :
- Wakasat Sabhara Polresta Bogor Polda Jawa Barat(1975)
- Kapolres Jayapura Polda Papua (1993)
- Wakapolwil Bogor Polda Jawa Barat (1994-1997)
- Kadit Serse Polda Nusa Tenggara Barat (1997–1999)
- Kadit Serse Polda Bali (1999–2000)
- Kadit Serse Polda Jawa Timur (2000)
- Kadit Serse Polda Metro Jaya
- Kapolda Kalimantan Selatan (2005)
- Kapolda Sumatra Utara (2005–2006)
- Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (2006–2008)
- Kapolri (2008–2010)
21. Jenderal Polisi (Purn.) Timur Pradopo

Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Timur Pradopo, S.I.K. lahir di Jombang, Jawa Timur, 10 Januari 1956. Dia menjabat sebagai Kapolri sejak 22 Oktober 2010 hingga 25 Oktober 2013. Jenderal bintang empat alumnus Akpol 1978 ini merupakan Kapolri pengganti Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri.
Timur dilantik menjadi Kapolri pada Jumat, tanggal 22 Oktober 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta. Timur Pradopo yang kala itu menjabat Kabaharkam Polri, diusulkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon Kapolri kepada DPR.
Dia mengungguli Komjen Pol Nanan Soekarna (Irwasum Polri) dan Komjen Pol Imam Sudjarwo (Kalemdiklat Polri), yang sebelumnya sebagai kandidat kuat calon Kapolri. Pada 19 Oktober 2010, Timur disahkan sebagai Kapolri dalam Sidang Paripurna DPR.
Saat Tragedi Trisakti, Timur Pradopo menjabat Kapolres Jakarta Barat. Dia dipanggil Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM), tetapi tidak memenuhi panggilannya. Timur Pradopo juga pernah bekerja sama dengan Front Pembela Islam (FPI) untuk menjaga ketertiban Jakarta.
22. Jenderal Polisi (Purn.) Sutarman

Jenderal Polisi (Purn.) Drs. H. Sutarman, S.I.K. lahir di Weru, Sukoharjo, Jawa Tengah, 5 Oktober 1957. Ia menjabat sebagaj Kapolri sejak 25 Oktober 2013 hingga 2015, menggantikan Jenderal Timur Pradopo. Sutarman dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta pada 25 Oktober 2013.
Sebelumnya ia merupakan Kabareskrim Mabes Polri yang menjabat sejak 6 Juli 2011 hingga 24 Oktober 2013. Dia didapuk sebagai orang nomor satu di Bareskrim menggantikan Ito Sumardi Ds yang pensiun.
Jenderal Sutarman tercatat pernah menduduki sejumlah jabatan penting. Pada tahun 2000, dia adalah Ajudan Presiden RI pemerintahan Abdurrahman Wahid. Kemudian, akhir 2004, dia menjabat Kapolwiltabes Surabaya, lantas berturut-turut sebagai Kapolda Kepri, Kaselapa Lemdiklat Polri, lalu Kapolda Jabar, dan Kapolda Metro Jaya.
23. Jenderal Polisi (Purn.) Badrodin Haiti

Jenderal Polisi (Purn.) Badrodin Haiti lahir di Paleran, Umbulsari, Jember, Jawa Timur, 24 Juli 1958. Ia menjabat sebagai Kapolri mulai 17 April 2015, sejak Presiden Joko Widodo memberhentikan dengan hormat Jenderal Polisi Sutarman sebagai Kapolri pada 16 Januari 2015.
Sebelumnya, ia menjabat sebagai Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri), dan sebelum itu mengemban tugas sebagai Kabaharkam Mabes Polri, di mana ia dikenal karena kesederhanaan, integritas, ketegasannya, dari 2 Agustus 2013 hingga pengangkatannya sebagai Wakapolri pada 27 Februari 2014.
Badrodin merupakan alumnus terbaik Akpol 1982 (meraih Adhi Makayasa) yang pernah menjabat Kapolda Banten, Kapolda Sulawesi Tengah, dan Kapolda Sumatra Utara. Dia dan istrinya dikaruniai dua orang putera. Setelah menjabat Kapolda Jatim sekitar tujuh bulan, dia ditarik ke Mabes Polri dan menjabat Koorsahli Kapolri.
Badrodin menjadi orang nomor dua (Wakapolri) di Korps Bhayangkara menggantikan seniornya, Komjen. Pol. Drs. Oegroseno yang pensiun. Pengangkatan Badrodin diumumkan sendiri oleh Kapolri Jenderal Polisi Sutarman.
Pada 16 Januari 2015 malam, Badrodin ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo menjadi pelaksana tugas (Plt.) Kapolri menggantikan Sutarman yang resmi diberhentikan dan selagi menunggu pelantikan Kapolri terpilih Budi Gunawan, yang dijadikan tersangka oleh mantan Ketua KPK Abraham Samad.
Pada 18 Februari 2015, ia akhirnya resmi diajukan Presiden Joko Widodo ke DPR sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Budi Gunawan yang telah menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat , dan pada 17 April 2015 Badrodin akhirnya resmi dilantik Presiden Jokowi sebagai Kapolri definitif, setelah sehari sebelumnya DPR menyetujui pencalonannya sebagai Kapolri.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyesalkan penunjukkan Badrodin Haiti sebagai Wakapolri menggantikan Oegroseno. Hal ini karena mereka menyebut adanya indikasi Badrodin terkait pelanggaran HAM di Poso tahun 2007.
24. Jenderal Polisi Muhammad Tito Karnavian

Jenderal Polisi Prof. Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M.A., Ph.D. lahir di Palembang, Sumatera Selatan, 26 Oktober 1964. Ia adalah seorang perwira tinggi polisi yang saat ini menjabat sebagai Kapolri.
Tito termasuk seorang polisi yang mendapat kenaikan pangkat cukup cepat. Saat masih menyandang pangkat AKBP, ia memimpin tim Densus 88 yang berhasil melumpuhkan teroris Dr. Azahari di Batu, Jawa Timur, pada 9 November 2005.
Pangkatnya dinaikkan dan ia menerima penghargaan dari Kapolri saat itu, Jenderal Polisi Sutanto bersama dengan para kompatriotnya seperti Idham Azis, Saiful Maltha, Petrus Reinhard Golose, Rycko Amelza Dahniel, dan lainnya.
Tito juga pernah memimpin sebuah tim khusus kepolisian yang berhasil membongkar jaringan teroris pimpinan Noordin M. Top. Atas prestasi ini, pangkatnya dinaikkan menjadi Brigadir Jenderal Polisi dan diangkat menjadi Kepala Densus 88 Anti-Teror Mabes Polri.
Kariernya terus menanjak, dan dia sempat menjabat sebagai Kapolda Papua dan Kapolda Metro Jaya. Pada 14 Maret 2016, ia diangkat menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menggantikan Komjen. Pol. Saud Usman Nasution yang memasuki masa pensiun.
Pada 15 Juni 2016, Presiden Joko Widodo mengirim surat kepada DPR, yang isinya menunjuk Tito sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Pol. Badrodin Haiti yang akan segera pensiun. DPR menyetujui usulan ini dalam sidang paripurna pada awal Juli 2016.
Tito resmi dilantik sebagai Kapolri oleh Presiden Joko Widodo pada 13 Juli 2016. Dengan jabatan ini, ia menjadi lulusan AKPOL angkatan 1987 tercepat yang menyandang pangkat bintang empat.
Tito Karnavian mengenyam pendidikan di SMA Negeri 2 Palembang kemudian melanjutkan pendidikan AKABRI pada 1987 karena gratis dan tidak ingin membebankan biaya orang tuanya.
Tahun 1993, Tito menyelesaikan pendidikan di Universitas Exeter di Inggris dan meraih gelar MA dalam bidang Police Studies, dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) di Jakarta pada 1996 dan meraih Strata 1 dalam bidang Police Studies.
Sekolah dasar dan sekolah menengah pertama ditempuh di Sekolah Xaverius, kemudian sekolah menengah atas ditempuh di SMA Negeri 2 Palembang. Tatkala duduk di kelas 3, Tito mulai mengikuti ujian perintis.
Semua tes yang ia jalani lulus, mulai dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Kedokteran di Universitas Sriwijaya, Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada, dan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Keempatnya lulus, tapi yang dipilih adalah AKABRI, terutama Akademi Kepolisian.