Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

MK Beri Waktu Perbaikan Gugatan Syarat Pendidikan Capres-Cawapres

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Intinya sih...
  • Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji materiil terhadap Pasal 169 huruf r UU Pemilu yang mengatur syarat pendidikan capres dan cawapres.
  • Hakim MK menyarankan para pemohon untuk memperbaiki permohonan karena dasar pengujian tidak terelaborasi dengan jelas.

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji materiil terhadap Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengatur syarat pendidikan calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres) di Ruang Sidang MK, pada Selasa (3/6/2025). 

Permohonan Perkara Nomor 87/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Hanter Oriko Siregar (Pemohon I), Daniel Fajar Bahari Sianipar (Pemohon II), dan Horison Sibarani, (Pemohon III). 

1. MK soroti banyaknya dasar pengujian dan permohonan tidak terelaborasi

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (IDN Times/ Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dalam persidangan itu, Hakim MK, Ridwan Mansyur memberikan nasihat agar para pemohon memperbaiki permohonannya. 

Ia menyoroti dasar pengujian yang banyak, namun tidak terelaborasi dengan jelas.

“Dasar pengujiannya banyak sekali, ini ada enam pasal UUD 1945. Dari sekian banyak permohonan saudara tidak terelaborasi dengan cukup jelas bahwa pasal ini bertentangan dengan pasal UUD. Apa tidak terlalu banyak ini? Nanti saudara kontestasikan ini antara norma yang diuji dengan dasar pengujiannya. Nanti saudara elaborasi. Pada bagian ini bisa dikurangi juga,” ujar Ridwan.

2. Hakim MK beri waktu perbaikan 14 hari

Ilustrasi ruang sidang di dalam pleno Mahkamah Konstitusi (MK). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.)

Di akhir persidangan, majelis hakim memberikan waktu 14 hari kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada 16 Juni 2025 pukul 12.00 WIB.

Dalam permohonannya, para pemohon menilai ketentuan yang hanya mensyaratkan pendidikan capres-cawapres paling rendah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat, tidak memadai untuk menjamin kualitas kepemimpinan nasional.

3. Pemohon ungkap alasan presiden dan wakil presiden harus S1

Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di kantor KPU. (www.instagram.com/@prabowo)

Sementara dalam persidangan yang dipimpin Wakil Ketua MK, Saldi Isra tersebut, Hanter (Pemohon I) menyebutkan bahwa pendidikan setingkat SMA hanya memberikan pengetahuan umum dan tidak membekali peserta didik dengan pemahaman yang komprehensif tentang tata kelola negara. Materi mengenai fungsi legislatif, yudikatif, dan eksekutif, serta kemampuan analisis kritis terhadap isu-isu global, hanya diperoleh di jenjang pendidikan tinggi.

“Presiden sebagai kepala negara adalah simbol marwah bangsa. Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin yang memiliki wawasan luas, termasuk dalam membaca dinamika global dan memahami dampak perdagangan internasional terhadap Indonesia,” ujar dia dalam persidangan.

Permohonan ini juga menyoroti kewenangan Presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Dengan demikian, kemampuan intelektual dan pengetahuan yang mendalam sangat penting untuk mengemban amanah tersebut.

Atas dasar pertimbangan itu, para pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk mengabulkan permohonan mereka dan menyatakan ketentuan Pasal 169 huruf r UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun Pasal 169 huruf r UU Pemilu memang secara khusus mengatur batas paling rendah bagi capres dan cawapres yakni SMA/sederajat. 

Berikut bunyi pasal tersebut:

“Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat."

Para pemohon menganggap, aturan ini bertentangan dengan Pasal 22E Ayat 1 dan Ayat 2, Pasal 27 Ayat 1; Pasal 28C Ayat 2; Pasal 28D Ayat 1; Pasal 28I Ayat 4 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD/1945).

Oleh sebab itu, para pemohon meminta agar syarat minimal pendidikan dari yang semula SMA/sederajat menjadi S1 (sarjana) minimal di kampus dan jurusan dengan akreditasi B.

Dengan demikian, pemohon meminta agar aturan dalam pasal itu diganti menjadi:

“Berpendidikan paling rendah dengan lulusan gelar sarjana dari pendidikan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta dengan akreditasi Universitas B dan akreditasi bidang kejurusan B."

Dalam pertimbangan gugatan tersebut, para pemohon menyoroti peran penting presiden dan wakil presiden yang merupakan nahkoda bagi sebuah negara sekaligus citra jati diri bangsa.

Terlebih dalam pembukaan UUD 1945 telah diamanatkan mengenai cita-cita besar negara Indonesia.

Menurut para pemohon, kepala negara yang ideal ialah yang memiliki pengetahuan kritis dan luas. Selain itu, syarat minimal pendidikan bagi capres-cawapres berkaitan erat dengan kompetensi dan kapabilitas dalam memimpin

"Pendidikan SMA sederajat memiliki keterbatasan pengetahuan yang tidak mengakar pada sistem pemerintahan yang baik, maka jika terpilih presiden dan wakil presiden yang hanya lulusan pendidikan SMA sederajat sebagai pemimpin suatu negara Indonesia akan berpotensi memberikan dampak negatif, di mana kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang dibuat, justru jauh dari kategori keadilan itu sendiri— yang ada hukum dikekang demi memperpanjang kekuasaan. Hal tersebut dapat dan berpotensi merugikan hak konstitusional seluruh masyarakat Indonesia," tulis pemohon dalam permohonan.

Para pemohon pun menekankan, pendidikan SMA/sederajat dalam pemahaman umum memiliki keterbatasan. Di antaranya kurang pengetahuan spesifik tentang pemerintahan dan kebijakan publik, kurangnya pengembangan keterampilan analitis dan kritis, kurangnya pengalaman praktis dan pengambilan keputusan dan manajemen, serta kurangnya pemahaman tentang etika dan moralitas dalam pemerintahan. 

Menurut mereka, hal tersebut akan memberikan dampak kerugian konstitusional bagi seluruh warga negara republik Indonesia, jika sosok kepala negara/pemerintah yang terpilih tersebut tidak memiliki pengetahuan yang luas. 

Dengan begitu, segala kebijakan yang dibuat pemerintah yang terpilih tidak efektif dan tidak efisien, pengambilan keputusan yang salah dan merugikan negara, konflik kepentingan dan korupsi, kerusakan citra pemerintah dan negara, kehilangan kepercayaan masyarakat.

Termasuk juga dapat memberikan dampak ekonomi, seperti keterpurukan ekonomi dan inflasi, pengangguran dan kemiskinan meningkat, kerugian negara dan keuangan publik, investasi dan pertumbuhan ekonomi terhambat, hingga ketergantungan pada utang luar negeri.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us