Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

MK Tolak Gugatan agar Kolom Agama Dihapus di KTP dan KK

Ilustrasi ruang sidang di dalam pleno Mahkamah Konstitusi (MK). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.)
Ilustrasi ruang sidang di dalam pleno Mahkamah Konstitusi (MK). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.)

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi yang meminta agar kolom agama dihapus dari pencatatan kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Aturan wajib menulis kolom agama di dokumen kependudukan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk). 

"Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya," ujar Ketua MK, Suhartoyo, dikutip dari situs resmi MK, Minggu (5/1/2024). 

Gugatan ini dilayangkan Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto. Keduanya yang mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan tertentu, mempersoalkan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk.

Dalam gugatannya, kedua pemohon mendalilkan seharusnya data kependudukan di KK dan KTP dapat tidak mencantumkan kolom agama atau kepercayaan bagi warga negara yang tidak ingin memeluk agama atau kepercayaan tertentu. 

Namun, hakim konstitusi berpandangan sebaliknya. Hakim konstitusi menilai pembatasan kebebasan bagi warga negara Indonesia, di mana setiap warga negara harus menyatakan memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, merupakan keniscayaan sebagaimana diharapkan Pancasila dan diamanatkan konstitusi.

"Pembatasan yang demikian merupakan pembatasan yang proporsional, dan tidak diterapkan secara opresif dan sewenang-wenang," kata hakim konstitusi, Arief Hidayat. 

1. MK menilai tidak beragama tak dapat dianggap kebebasan beragama

Hakim konstitusi, Arief Hidayat. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Hakim konstitusi, Arief Hidayat. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

Lebih lanjut, hakim konstitusi menilai, tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan YME tidak dapat dinilai sebagai kebebasan beragama atau menganut kepercayaan. Pembatasan kebebasan bagi Warga Negara Indonesia di mana setiap warga harus memeluk agama atau kepercayaan merupakan keniscayaan yang diharapkan Pancasila dan diamanatkan konstitusi.

"Setiap warga negara hanya diwajibkan menyebutkan agama dan kepercayaannya untuk kemudian dicatat dan dibubuhkan dalam data kependudukan tanpa adanya kewajiban hukum lain yang dibebankan oleh negara dalam kaitannya dengan agama atau kepercayaan yang dipilihnya selain kewajiban untuk menghormati pembatasan sebagaimana dinyatakan dalam UUD NRI 1945 yang juga ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016," kata Arief.

Para pemohon juga mendalilkan Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi, karena tidak mengakomodasi keinginan para pemohon untuk tidak memeluk agama atau menganut kepercayaan. Pasal itu juga dinilai telah membatasi hak para pemohon untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Terkait dengan dalil tersebut, MK menegaskan, UU Perkawinan harus dipahami secara utuh dan tidak parsial. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang diikat dengan tali pernikahan, dan menjadikan status mereka sebagai suami istri.

Tujuannya membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan.

2. Amnesty International nilai putusan MK bukan bagian dari kebebasan beragama

Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid. (IDN Times/Margith Damanik)
Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid. (IDN Times/Margith Damanik)

Sementara, putusan MK itu mendapat kritikan dari Amnesty International Indonesia (AII). Direktur AII, Usman Hamid, mengatakan meski MK menggaungkan istilah kebebasan beragama, tetapi dimensi yang digunakan masih sempit. Sembari mewajibkan warga negara memilih agama, MK juga melarang warga tidak memiliki agama.

"Ini jelas bukan sebuah kebebasan dan menyimpang dari makna kebebasan beragama yang sebenarnya, yang telah diatur dalam norma-norma internasional," ujar Usman dalam keterangan tertulis, Sabtu, 4 Januari 2024. 

"Kebebasan beragama adalah kemerdekaan dalam memilih atau tidak memilih agama atau kepercayaan, dan tidak semestinya diikuti oleh embel-embel kewajiban atau pun pelarangan," imbuh Usman.

3. Amnesty sebut seharusnya negara tak memaksakan warga memeluk agama

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Lebih lanjut, Usman mengingatkan produk hukum Indonesia seharusnya didasarkan pada Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan hukum internasional secara umum. Namun, pertimbangan hakim konstitusi dalam memutus perkara yang dimohonkan Raymond Kamil dan Indra Syahputra menunjukkan hal sebaliknya.

Pasal 18 ayat (1) ICCPR, kata Usman, menjamin hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama, termasuk dalam konteks meyakini maupun mempraktikkan, baik di tempat umum atau pun tertutup. Dia juga menyinggung Komite HAM PBB telah menyatakan istilah kepercayaan dan agama agar dimaknai secara luas. 

"Hingga mencakup kepercayaan teistik, non-teistik, dan ateistik, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apa pun. Seseorang harus bebas dari pemaksaan untuk memiliki atau pun menganut suatu agama atau kepercayaan, dan hak ini semestinya tidak dibatasi oleh negara," kata Usman. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Rochmanudin Wijaya
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us