Nasir Djamil: Mendagri Harusnya Libatkan Gubernur Aceh soal 4 Pulau

- Nasir berharap pemerintah pusat bisa belajar dari peristiwa ini agar turut menggali akar saat mencari solusi.
- Nasir menanggapi langkah Presiden RI Prabowo Subianto yang mengambil alih penyelesaian empat pulau di Aceh yang masuk ke Sumatra Utara.
- Nasir menegaskan, Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang secara historis dan administratif merupakan milik Aceh.
Jakarta, IDN Times - Anggota DPR RI asal Aceh, Muhammad Nasir Djamil menegaskan, semua keputusan yang akan diambil pemerintah pusat terkait Provinsi Aceh harus melibatkan gubernur. Ini telah diatur dalam Pasal 8 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Adapun, pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: "Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur."
Nasir mengatakan, seharusnya Mendagri Tito Karnavian mau memutuskan 4 pulau itu masuk ke wilayah Sumut berkonsultasi terlebih dulu dengan Aceh.
"Itu pengakuan negara lho, bukan maunya orang Aceh. Itu diatur dalam undang-undang. Undang-Undang itu kan negara yang buat, bukan provinsi yang buat," kata Nasir di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/6/2025).
1. Pemerintah harus ambil pelajaran

Nasir berharap, pemerintah pusat bisa belajar dari peristiwa ini agar turut menggali akar saat mencari solusi. Ia kembali menekankan, semua kebijakan pemerintah pusat, yang terkait dengan Aceh, dan itu bersifat administratif, maka konsultasikan dengan Gubernur Aceh.
"Iya makanya mudah-mudahan dengan peristiwa ini, pemerintah pusat menggali akar, mencari solusi. Jadi akarnya ini apa sebenarnya? Lalu cari solusi, salah satunya tadi itu," kata dia.
"Jika ada kebijakan-kebijakan pemerintah, yang terkait dengan Aceh, dan itu bersifat administratif, maka konsultasikan dengan Gubernur Aceh," sambung Legislator Fraksi PKS itu.
2. Prabowo mau koreksi Tito Karnavian?

Lebih jauh, Nasir turut menanggapi langkah Presiden RI Prabowo Subianto yang mengambil alih penyelesaikan empat pulau di Aceh yang masuk ke Sumatra Utara (Sumut) usai menuai polemik. Ia meyakini, Prabowo tidak punya kepentingan tertentu untuk menyelesaikan polemik ini.
Menurut dia, pengambilalihan ini bentuk koreksi Presiden Prabowo terhadap Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian karena kurang bijak dalam mengambil keputusan. Pasalnya, keputusan Tito mengenai empat pulau ini terkesan mengabaikan sejarah panjang Aceh dan pemerintah Indonesia.
"Pengambil alih ini juga dalam pandangan kami sebagai bentuk koreksi terhadap keputusan mendagri tersebut," kata Nasir Djamil, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/6/2025).
"Jadi koreksi presiden sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan terhadap Menterinya yang barangkali dalam keputusan itu belum sepurna. Tidak bijak menyikapi daerah-daerah yang dulu pernah mengalami konflik bersenjata seperti Aceh-Indonesia," imbuh dia.
Nasir mengatakan, pemerintah seharusnya memang mengedepankan unsur sensitivitas dalam merumuskan sebuah kebijakan. Sebuah otoritas yang tidak dibarengi dengan sensitivitas, akibatnya akan memunculkan keputusan yang kurang bijaksana.
"Jadi itu sensitivitas itu dibutuhkan, bukan hanya sekadar otoritas. Jadi otoritas minus sensitivitas ya akibatnya seperti ini," kata dia.
3. Tegaskan 4 pulau yang masuk Sumut punya Aceh

Terakhir, Nasir menegaskan, Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang secara historis dan administratif merupakan milik Aceh.
"Sebenarnya memang secara historis, secara administratis dan juga pengelolaan pulau, penamaan pulau-pulau, aspek hukumnya itu memang berada dalam wilayah Aceh," kata dia.
Namun, ia mengakui, pemerintah Aceh sempat salah menetapkan titik koordinatnya pada tahun 2009 silam. Aceh juga sempat menetapkan 260 pulau, tidak termasuk keempat pulau yang berpolemik sekarang ini.
Kendati demikian, Pemerintah Aceh telah melakukan koreksi atas kesalahan itu, dan mengajukan ke pemerintah pusat. Sayangnya, upaya ini tak pernah digubris oleh pusat.
"Kemudian dikoreksi, kemudian diperbaiki, kemudian diajukan tapi tidak pernah disahuti, tidak pernah diterima, tidak pernah dijawab oleh pemerintah pusat," kata dia.