Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ngabalin Sebut Amien Rais Halu Soal Masa Jabatan Presiden Bertambah

Ali Mochtar Ngabalin (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)

Jakarta, IDN Times - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Ali Mochtar Ngabalin, mengatakan pernyataan mantan Ketua Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), Amien Rais, yang sebut ada upaya menambah masa jabatan presiden hingga tiga periode hanya ilusi belaka. Sebab, tuduhan itu dibantah langsung oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo sampai dua kali. 

"Tanggapan ini bukan kali pertama, tapi sudah yang kedua kali sejak wacana serupa muncul. Itu berarti, presiden pada prinsipnya tegak lurus pada ketentuan dan ketetapan konstitusi UUD 1945 pada pasal 7 terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden untuk dipilih pada satu periode lagi. Pernyataan yang menghabiskan waktu kita ini, sudah selesai. Artinya, pernyataan Pak Amien Rais ini halusinasi dan layaknya ahli nujum yang malah membenturkan pemerintah dengan rakyat," ujar Ali ketika berbicara di Kompas TV pada Selasa (16/3/2021). 

Pria yang dulu sempat mendukung Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 lalu itu menyebut bukan kali ini saja Jokowi membantah ingin amandemen periode masa jabatan presiden. Pada 2 Desember 2019 lalu, kata Ali, saat berbincang dengan media, mantan Gubernur DKI Jakarta itu sudah membantahnya. 

Saat itu, Jokowi mengaku khawatir wacana amandemen UUD 1945 yang berlangsung di MPR akan melebar ke mana-mana. Kekhawatiran itu terbukti, karena tak lama kemudian muncul isu agar presiden dipilih kembali oleh MPR. Ada yang mewacanakan agar presiden dipilih sekali untuk masa periode delapan tahun hingga presiden menjabat sebanyak tiga periode. Masing-masing periode selama lima tahun. 

"Presiden memilih meluangkan waktu untuk membantah karena di ruang publik sudah berseliweran lah (pernyataan Amien Rais) sehingga ruang publik jadi kotor. Sehingga, sekarang jadi clean dan clear," tutur Ngabalin. 

Tetapi, benar kah pernyataan Jokowi menutup total peluang wacana perpanjangan masa kepemimpinan presiden?

1. MPR sudah bentuk panitia ad hoc 1 dan 2 untuk mengkaji perubahan UUD 1945

Dok.IDN Times

Sementara, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai justru upaya untuk melakukan amandemen pasal tujuh di UUD 1945 mengenai masa jabatan presiden, sudah dimulai di akhir periode pertama kepemimpinan Jokowi. Ketika itu MPR sudah membentuk panitia ad hoc 1 dan 2 yang betugas untuk mengkaji perubahan UUD 1945. 

"Jadi, saat itu sudah ada rencana untuk melakukan amandemen (UUD 1945)," ujar Feri ketika dihubungi oleh IDN Times melalui pesan pendek, Selasa (16/3/2021). 

Menurut Feri, usulan untuk membahas soal revisi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan pemilihan presiden yang dilakukan oleh MPR akan melebar ke amandemen lain. Amandemen yang dimaksud Feri yakni pasal 7 UUD 1945 yang mengatur soal periode kepemimpinan presiden. Hal tersebut yang kini juga dikhawatirkan oleh para ahli dan akademisi. 

"Apalagi, godaan terbesar dalam sistem negara presidensil adalah menambah masa jabatannya. Presiden Soekarno pernah diminta MPRS untuk jadi presiden seumur hidup. Presiden Soeharto memaknai pasal 7 sehingga masa jabatannya bisa diperpanjang berkali-kali," tutur dia. 

Dia mengatakan pernyataan Jokowi yang disampaikan bolak-balik belum tentu ditepati. Sebab, berkali-kali mantan Wali Kota Solo itu menyampaikan sesuatu yang kontradiktif.

Menurut Feri, seharusnya Jokowi tidak mengatakan akan mematuhi konstitusi. Sebab, ketika konstitusinya berhasil direvisi dan diubah harus menjabat jadi presiden selama tiga periode, maka apa yang disampaikan saat sekarang tak lagi berlaku. 

2. UUD 1945 bukan kitab suci, sah-sah saja diamandemen

Amien Rais (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Sementara, pengamat politik, Muhammad Qodari, juga menilai sosok Amien Rais sebagai individu yang kontradiktif. Dia sempat menyampaikan ke publik tak bersedia menjejakkan kaki ke Istana Negara selama Jokowi menjabat. Tetapi, pada akhirnya dia bersedia datang ke sana pada 10 Maret 2021 lalu. Pria yang sempat jadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu datang untuk membahas penembakan enam anggota laskar FPI.

Di sisi lain, Qodari sempat menyebut UUD 1945 bukan kitab suci yang tak boleh diamandemen. "Dia (UUD 1945) bisa berubah dan diubah serta menyesuaikan kondisi. Lalu, mengantisipasi permasalahan yang ada. Justru, bila ada UUD yang tidak bisa mengantisipasi perubahan publik, malah menurut saya itu keliru," ujar Qodari ketika dihubungi. 

Dia mengambil contoh Amerika Serikat, negara yang sering dipuji sebagai negara dengan demokrasi yang maju dan telah berusia 245 tahun, melakukan amandemen UUD sebanyak 27 kali. Artinya, bila dirata-rata maka ada proses amandemen setiap 9 tahun sekali. 

Sedangkan, di Indonesia, UUD 1945, kata Qodari, sudah diamandemen sebanyak empat kali. 

3. Butuh 237 suara MPR untuk bisa amandemen pasal-pasal di UUD 1945

Feri Amsari (Dok. IDN Times/istimewa)

Di sisi lain, kata Feri, sangat mungkin pemerintah melakukan revisi pasal-pasal di dalam UUD 1945. Sebab, merujuk ke pasal 37 UUD 1945, untuk dilakukan perubahan pasal di konstitusi harus diajukan oleh 1/3 dari jumlah anggota MPR. "Artinya, cuma butuh 237 suara MPR," kata Feri melalui pesan pendek. 

Sedangkan, syarat untuk mengubah pasal-pasal di dalam UUD 1945, yaitu melalui sidang istimewa MPR yang dihadiri oleh 2/3 dari anggota MPR atau 474 orang. Untuk mencapai kuota itu, ujar Feri, sangat mungkin. 

Saat ini, koalisi partai pendukung pemerintah di Senayan sudah mencapai 471 orang dari 711 anggota MPR. Kekuatan itu akan semakin bertambah, bila Kementerian Hukum dan HAM mengakui Partai Demokrat kubu Moeldoko dan memilih merapat ke pemerintah. Kekuatan pemerintah di parlemen akan bertambah 54 kursi lagi. 

"Bila kita memang komitmen terhadap UUD 1945 maka lebih baik tidak perlu diamandemen dulu. Tetapi, mari kita fokus untuk melaksanakan apa yang tertulis di sana," tutur dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Satria Permana
EditorSatria Permana
Follow Us