Pilkada Dipilih DPRD: Penghematan yang Menyandera Hak Rakyat

Jakarta, IDN Times - Presiden Prabowo Subianto mengakui perlu ada evaluasi dalam sistem politik Indonesia, termasuk dalam hal pemilihan kepala daerah. Ia mengusulkan seperti sistem pemilu yang pernah ada, kepala daerah seperti gubernur dan bupati dipilih DPRD.
Usulan Prabowo ini merespons pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia yang menyoroti pelaksanaan Pilkada 2024 seperti Pilkades. Karena itu, Bahlil menyarankan perlu evaluasi menyeluruh terkait demokrasi Indonesia pada masa mendatang.
Dalam acara puncak HUT ke-60 Partai Golkar yang digelar di Sentul, Bogor, pada 12 Desember 2024 itu, Prabowo mengakui pelaksanaan Pilkada di Indonesia membutuhkan biaya besar, baik yang dikeluarkan negara maupun partai politik.
Prabowo mengajak seluruh pimpinan partai politik yang hadir dalam acara itu, untuk memikirkan dengan cermat untuk merevisi sistem politik Indonesia. Ia lantas membandingkan dengan beberapa negara lain, seperti Malaysia, Singapura, hingga India, di mana pelaksanaan pemilu di negara-negara itu sangat efisien.
“Saya lihat negara tetangga kita efisien Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur bupati. Efisien tidak keluar duit keluar duit," kata Prabowo.
Menurut Prabowo, alangkah baiknya jika anggaran Pilkada yang begitu besar dialihkan untuk anggaran kesejahteraan rakyat, seperti biaya pendidikan dan sebagainya.
Pemilihan kepala daerah dipilih melalui DPRD memang sudah berlangsung sejak 1974. Namun, Presiden Soeharto ketika itu bisa mengangkat atau memberhentikan kepala daerah yang memimpin provinsi atau gubernur.
Usulan agar format pemilihan kepala daerah tidak lagi secara langsung dan dikembalikan lewat pemilihan di DPRD memang sudah sering muncul. Selain Prabowo, sebelumnya usulan serupa pernah digaungkan Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid.
1. Partai politik menyambut gembira

Terang, usulan Prabowo ini disambut riang gembira partai politik. Terutama partai politik anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang mendukung pemerintahan Prabowo. Mereka mayoritas setuju usulan ini, karena jelas bakal menguntungkan partai.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Demokrat, Teuku Riefky Harsya, menyatakan para ketua umum partai politik akan menindaklanjuti usulan kepala daerah yang dipilih langsung DPRD.
Rifky meyakini, seluruh partai politik memiliki mekanisme di internalnya masing-masing dalam menyikapi berbagai dinamika yang terjadi, termasuk terkait bagaimana format Pilkada yang terbaik.
"Nanti dibicarakan ketua umum-ketua umum partai karena masing-masing punya mekanisme di internal partai," kata Riefky saat ditemui usai menghadiri puncak acara HUT ke-60 Golkar, di SICC, Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024.
Senada, Ketua DPP Partai Demokrat Herman Khaeron menanggapi usulan tersebut akan dikaji secara matang, apakah nantinya masuk inisiatif pemerintah atau DPR RI.
Menurut dia, usulan itu harus dibahas bersama dalam mekanisme revisi undang-undang pemilu. Ia meyakini partai politik akan meninjau mana yang lebih menguntungkan bagi bangsa Indonesia.
"Tentu nanti memiliki kajian masing-masing apakah inisiatif nanti dari DPR atau pemerintah karena kan harus dibahas dalam mekanisme revisi UU," kata dia.
Pada kesempatan sama, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar, Muhammad Sarmuji membantah munculnya usulan kepala daerah dipilih DPRD berangkat dari kekalahan Ridwan Kamil dan Suswono pada Pilkada Jakarta 2024.
Sarmuji mengatakan, evaluasi terhadap tatanan demokrasi Indonesia, termasuk mekanisme pemilihan kepala daerah sudah sewajarnya dievaluasi secara rutin.
"Jadi kita memang harus secara rutin mengevaluasi, mengkaji setiap kebijakan yang sudah kita keluarkan bersama," kata Sarmuji.
Dia mengatakan, Prabowo meyakini semua partai politik memiliki perasaan yang sama terkait mekanisme Pilkada, tinggal ada siapa yang berani menginisiasi untuk menyuarakan.
"Tadi kan Pak Presiden juga menyatakan semua partai politik itu perasaannya sama hari ini, tinggal siapa yang akan menginisiasi dan menyuarakan saja. Dan tadi Ketua umum Partai Golkar sudah menginisiasi dan menyuarakan," kata dia.
Pendapat senada juga disampaikan politikus Partai Gerindra yang juga Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Dia mengatakan usulan kepala daerah dipilih DPRD perlu dipertimbangkan. Menurutnya, pemilihan kepala daerah tidak harus dilakukan secara langsung.
"Saya rasa itu wacana yang baik, yang perlu kita pertimbangkan. Pertama, pemilihan kepala daerah di Undang-Undang Dasar maupun di Undang-Undang Pemilu itu kan diksinya adalah dipilih secara demokratis. Dipilih secara demokratis itu kan tidak berarti harus semuanya pilkada langsung," ujar Supratman di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat, 13 Desember 2024.
Menurutnya, pemilihan kepala daerah oleh DPRD bisa terkait dengan efisiensi anggaran penyelenggaraan Pilkada. Dia menyebut wacana ini sudah bergulir sejak lama, pada saat pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo.
"Dari dulu bukan soal di kabinet, kalau yang kabinet kan baru. Tapi dari zaman Presiden Jokowi juga sudah lama bergulir. Di antara partai-partai politik juga sudah, tetapi sekarang karena menemukan momentum kita baru selesai melakukan pilkada dan digulirkan oleh Ketua Umum Partai Golkar, dan itu disambut oleh Bapak Presiden," kata dia.
Supratman mengatakan, wacana tersebut merupakan hal yang positif dan perlu menjadi pertimbangan. "Presiden merespons itu dalam kaitan usulan dari Ketua Umum Partai Gokar. Tapi sesungguhnya usulan ini sudah lama dibicarakan di tingkat partai politik ya, dan hari ini saya melihat trennya positif sambutan dari masyarakat," kata dia.
Ketua Komisi II DPR RI yang juga politikus Partai NasDem, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda juga menilai, usulan kepala daerah dipilih DPRD masih konstitusional.
Dia menjelaskan, dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan gubernur atau bupati atau wali kota masing-masing sebagai kepala daerah dipilih secara demokratis.
Artinya, Rifqi menyatakan, usulan itu konstitusional sepanjang masih ada derajat dan legitimasi demokratis dalam pemilihan kepala daerah.
“Sepanjang kita masih memiliki derajat dan legitimasi demokratis dalam pemilihan kepala daerah sepanjang itu pula usulan itu konstitusional,” kata Rifqi saat dihubungi IDN Times, Jakarta, Jumat, 13 Desember 2024.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan B Najamuddin juga memberikan sinyal dukungan wacana kepala daerah dipilih DPRD. Namun, menurutnya, usulan tersebut harus dipertimbangkan secara serius.
Sultan mengaku, telah intens mengawasi dan mengkaji proses pilkada serentak yang lalu. Ia beranggapan Pilkada adalah pesta demokrasi masyarakat dan eksistensi otonomi daerah yang harus dilaksanakan secara berkualitas agar melahirkan kepala daerah yang berkualitas.
"Pernyataan Pak Presiden dan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia adalah kajian hampir semua pihak yang mulai khawatir dengan proses pilkada yang semakin tidak efisien," kata Sultan di Jakarta, Jumat, 13 Desember 2024.
"Kami pun secara pribadi pernah menyinggung isu ini dengan Pak Prabowo dalam beberapa pertemuan kami dengan beliau," imbuh dia.
Artinya, menurut Sultan, diperlukan penyempurnaan dalam sistem politik, khususnya sistem pemilu hingga sistem partai politik yang ada di Indonesia saat ini.
Sultan kemudian menawarkan sebuah ide yang telah dituliskan dalam sebuah buku berjudul Green Democracy. Ia menawarkan beberapa opsi yang mungkin bisa memperbaiki sistem pemilu saat ini secara bertahap.
Salah satu opsi yang paling murah dan efektif adalah bisa melalui DPRD untuk pemilihan gubernur, sementara pilkada kabupaten/kota masih perlu dilaksanakan secara langsung.
"Terutama pilkada Gubernur, sejak awal memang kurang relevan dengan posisi dan fungsi gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Gubernur seharusnya menjadi mandataris pemerintah, sama seperti seorang camat yang ditentukan oleh bupati," kata dia.
Sedikit pandangan berbeda, anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB Indrajaya menilai, wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukan berarti membajak hak politik rakyat. Menurut dia, masyarakat masih mempunyai hak pilih dalam pemilu lainnya, seperti pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres).
Menurut Indra, PKB hanya mengusulkan agar pemilihan gubernur (Pilgub) dilakukan melalui DPRD. Sedangkan untuk bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, tetap dipilih secara langsung.
Indra berpandangan, sudah saatnya dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pilkada. Sebab, banyak masalah yang terjadi.
Misalnya, Pilkada 2024 yang baru saja digelar. Penyelenggara pemilu banyak disorot karena boros dalam penggunaan anggaran, peserta identik dengan money politics, dan partisipasi pemilih yang cenderung menurun.
"Presiden Prabowo juga mengusulkan kepala daerah dipilih DPRD. Kami mendukung. Namun, kami mengusulkan pilgub yang dilakukan oleh DPRD," ujar Indrajaya, Kamis, 19 Desember 2024.
2. Sikap PDIP masih abu-abu

Berbeda dengan partai politik lainnya, PDIP yang kini menjadi oposisi pemerintahan sikapnya masih abu-abu terkait wacana usulan Prabowo. Juru bicara PDIP, Chico Hakim mengatakan yang harus dijunjung tinggi adalah kedaulatan rakyat.
"PDI Perjuangan menempatkan kedaulatan rakyat sebagai hukum tertinggi. Apa pun sistemnya, selama moral, etika dan sistem hukum diabaikan, ya akan rapuh semuanya," ujar Chico melalui pesan singkat, Jumat, 13 Desember 2024.
Kendati, kata Chico, PDIP belum berada pada posisi menerima atau menolak usulan Prabowo tersebut. Menurutnya, yang harus diubah adalah perilaku pelaku politik.
"Tentunya bukan sistem atau teknis dari pemilihan itu, yang perlu diubah utamanya yang diubahnya adalah perilaku dari insan-insan politik, baik itu partai politik dan juga kekuasaan dan juga aparat penyelenggara negara," ucap dia.
Selain itu, Chico juga menyinggung pentingnya netralitas aparat penyelenggara pemilu dan penegak hukum, sehingga pada prosesnya tidak ada kecurangan.
Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat, juga merespons wacana ini. Menurutnya, hal itu bisa diterapkan di daerah dengan indeks demokrasi yang rendah.
"Contoh yang secara langsung indeks demokrasi di DKI Jakarta itu memungkinkan demokrasi atau pilkada itu dilakukan secara langsung," ujar Djarot saat ditemui usai perayaan satu dekade Perindo di Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu, 14 Desember 2024.
Meski begitu, usulan Presiden Prabowo tak bisa langsung diterima begitu saja. Menurut Djarot, hal itu tetap membutuhkan kajian mendalam.
"Untuk Pilkada itu memang perlu kajian secara mendalam, karena yang dikatakan dengan demokrasi itu, memang benar bisa demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Maka usul dari Pak Prabowo tentunya harus dikaji secara mendalam supaya demokrasi kita itu lebih bermutu," ujar dia.
Sementara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga bakal mengikuti aturan terkait wacana mengubah format pemilihan kepala daerah usulan Prabowo. Namun, hal itu tetap harus ada perubahan aturan lebih dulu.
"Makanya ini lah pentingnya evaluasi, diskursus usai pilkada. Langkah apapun yang dipilih, dimulai dari aturan atau undang-undang yang menurut prolegnas untuk dibahas. Salah satunya akan mengatur bagaimana penyelenggaraan pilkada atau pemilu serentak di negara kita," ujar Ketua KPU Mochammad Affifuddin seperti dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu, 14 Desember 2024.
Affifuddin mengingatkan Indonesia pernah menjalankan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Rakyat bisa langsung memilih kepala daerahnya mulai 2004. Ketika itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang meminta agar format Pilkada diubah menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat.
3. Anggaran murah tapi tidak serta-merta hilangkan praktik politik uang

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, pun menanggapi wacana kepala daerah dipilih DPRD. Ia menilai, rakyat akan semakin tersandera dan tak punya posisi tawar bila kepala daerah dipilih DPRD.
"Kedaulatan rakyat makin tersandera dan masyarakat makin tidak punya posisi tawar sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam bernegara," kata Titi Anggraini, Jumat, 13 Desember 2024.
Menurut dia, apabila pemilihan dikembalikan ke DPRD mungkin saja biayanya menjadi lebih murah, tetapi tidak serta-merta menghilangkan praktik politik uang dan juga politik biaya tinggi dalam proses pemilihannya. Menurut dia, buruknya penegakan hukum dan demokrasi di internal partai tidak pernah benar-benar dibenahi dan diperbaiki dengan baik.
"Kita seolah hanya memindahkan persoalan dari ruang publik ke dalam ruang-ruang tertutup di DPRD," kata dia.
Di lain sisi, dia mengatakan, tata kelola bernegara hanya menjadi urusan eksklusif dari politisi partai politik. Hal itu bisa bisa tereskalasi menimbulkan ketidakpuasan dan juga kemarahan politik yang bisa berdampak buruk bagi kepercayaan publik dan dukungan bagi tata kelola pemerintahan di daerah.
Titi berpandangan, lebih baik pemerintah fokus menata konsolidasi demokrasi di Indonesia tanpa harus banyak membuat narasi yang bisa menimbulkan kontroversi karena mempreteli hak rakyat dalam nerdemokrasi. Menurut dia, terlalu banyak kontroversi bisa mengganggu konsentrasi pemerintahan Probowo dalam melaksanakan program pembangunan dan pemenuhan janji-janji politiknya.
Alih-alih mengembalikan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung, dia menyarankan agar pembentuk UU mestinya fokus merevisi UU Pilkada sehingga persoalan-persoalan terkait politik uang, lemahnya penegakan hukum, dan problematika integritas partai politik serta penyelenggara pemilu bisa dibenahi serius.
Dia menegaskan, efisiensi juga bisa dilakukan tanpa harus mengembalikan pemilihan langsung menjadi pemilihan DPRD. Caranya, antara lain dengan melakukan pengaturan tranparansi dan akuntabilitas dana kampanye secara serius dan efektif sehingga bisa menekan dana-dana ilegal yang dikeluarkan oleh parpol dan calon.
"Apabila hal itu dilakukan, maka juga bisa berkontribusi mengurangi biaya dalam penyelenggaraan pemilu tanpa harus memberangus suara dan hak rakyat yang hanya diberikan lima tahun sekali itu," kata dia.
Sama seperti Titi Anggraini, Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, tegas menolak usulan ini. Menurut Bivitri, usulan mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD tidak akan mengatasi substansi isu Pilkada, yakni politik berbiaya tinggi atau politik uang.
"Ini gimana analisisnya? Kalau mau menganalisa hukum dan kebijakan, maka kita harus lihat akar masalahnya apa? Kebijakan itu selalu menyasar akar masalah, bukan menyasar gejala. Gejala orang yang berkurang partisipasinya di TPS (Tempat Pemungutan Suara), bukan berarti semua digebyah uyah," ujar Bivitri, ketika dihubungi pada 7 Desember 2024.
"Jadi, ibaratnya kalau ada tikus di lumbung, tikusnya ya kita cari, bukan lumbungnya kita bakar," imbuhnya.
Menurut Bivitri pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD tidak akan menghapus praktik politik uang hingga penyalahgunaan kekuasaan.
"Semua praktik itu malah akan pindah ke DPRD. Cuma akan lebih elite. Hal ini menurut saya lebih mengerikan," katanya.
Sedangkan dalam praktik Pilkada langsung, calon kepala daerah masih bisa mengerem agar tidak terlalu mencolok melakukan praktik politik uang.
Kekhawatiran adanya money politic jika wacana pemilihan kepala daerah dipilih DPRD, juga disampaikan Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW). Ia menilai perlu ada kajian komprehensif dari seluruh partai politik yang mengusulkan wacana ini.
Dia mengatakan narasi seperti pernah terjadi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di mana Undang-Undang Pilkada mengatur kepala daerah dipilih melalui DPRD. Namun, dia mengatakan, undang-undang tersebut dicabut melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Karena itu, Hidayat mengatakan, dibutuhkan kajian yang komprehensif, termasuk bagaimana mahalnya biaya penyelenggaraan Pilkada ini, baik secara anggaran oleh pemerintah maupun juga kandidat yang bertarung.
Termasuk, bagaimana munculnya diharmoni atau ketegangan sosial di tingkat masyarakat selama pelaksanaan Pilkada berlangsung. "Tahun 2014 itu sudah pernah diputuskan usulan dari pemerintah dan kemudian dengan DPR sudah menyetujui dan ketok palu menjadi undang-undang, kemudian dicabut sendiri oleh pemerintah," kata dia saat dihubungi wartawan, Jumat, 13 Desember 2024.
Lebih jauh, Hidayat khawatir bila kepala daerah dipilih DPRD, ini hanya akan memindahkan praktik money politic dari yang semula terjadi di masyarakat, beralih ke lingkungan DPRD.
"Biasanya kemudian muncul adalah kekhawatiran bila kemudian kehadiran di DPRD saja, maka itu hanya seolah-olah merubah lokus daripada money politik, dari ke masyarakat menjadi ke anggota DPRD," kata dia.
Kendati, Hidayat mengatakan, kekhawatiran ini bisa diantisipasi bila Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dilibatkan memantau pelaksanaan Pilkada secara tidak langsung tersebut. Sehingga segala jenis transaksi yang melibatkan anggota DPRD, partai politik, dan kandidatnya bisa terpantau dengan baik.
"Semuanya dalam pantauan PPATK sehingga transaksi ini pun juga akan bisa minimalisir," ujar mantan Presiden PKS itu.
4. Amanat konstitusi sudah jelas

Sementara, pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraeni mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menutup ruang bagi pembentuk undang-undang untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke DPRD. Menurutnya, wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD seharusnya tak perlu dilanjutkan.
Titi menjelaskan, MK sudah mengeluarkan putusan nomor 55/PUU-XXII/2019 yang menyatakan pembentuk undang-undang jangan acap kali mengubah mekanisme pemilihan langsung yang ada di Indonesia. Dalam putusan tersebut, MK menawarkan sejumlah model keserentakkan pemilu yang juga menyertakan Pilkada di dalamnya.
Praktik keserentakkan yang akhirnya dipilih pembentuk undang-undang adalah yang terealisasi pada 2024, yakni penyelenggaraan dua agenda kepemiluan pada satu tahun yang sama.
"Dan itu diperkokoh lagi oleh MK lewat Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022. MK menyatakan Pilkada adalah pemilu yang harus dijalankan sesuai asas pemilu luber jurdil," ujar Titi, ketika dihubungi pada Sabtu, 14 Desember 2024.
Putusan MK Nomor 85 Tahun 2022 juga menegaskan, Pilkada harus diselenggarakan penyelenggara pemilu yang juga menyelenggarakan pemilu legislatif (Pileg) dan pemilu presiden (Pilpres), yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
"Makanya kita sudahi perdebatan untuk sesuatu yang isu konstitusionalitasnya, sudah terang benderang seperti matahari di siang bolong," katanya.
5. Tidak cocok dengan sistem di Indonesia

Sementara, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti, mempertanyakan klaim para politisi bahwa pemilu di Indonesia berbiaya mahal. Sebab hal itu tidak tercermin dalam laporan penggunaan dana kampanye.
"Semua orang mengatakan Pilkada ini mahal, Pileg mahal, Pilpres mahal, tapi laporan dana kampanyenya paling Rp2 miliar-Rp3 miliar. Di mana mahalnya? Kan itu bisa dicek laporan penggunaan dana kampanye yang ada di situs KPU," ujar Ray ketika dihubungi Jumat, 13 Desember 2024.
Ray menduga kuat tidak ada satu pasangan calon pun yang jujur dalam melaporkan penggunaan dana kampanye.
"Tapi teriaknya selalu biaya penyelenggaraan pemilu mahal. Mahalnya di mana? Wong anda hanya melaporkan dana kampanye Rp2 miliar. Dari mana saya tahu? Dari laporan anda ke KPU soal penggunaan dana kampanye," katanya.
Ray justru curiga biaya yang akan dihabiskan untuk memilih kepala daerah melalui DPRD justru lebih mahal. Sebab permainan politik uang juga bisa tetap terjadi di sana.
Ray juga mempertanyakan apakah anggota DPRD yang selama ini terpilih betul-betul mewakili aspirasi publik. DPR juga sulit dipercaya bisa memilih presiden yang didambakan rakyat kecil.
"Satu-satunya kegembiraan bagi publik di dunia politik sekarang, karena kita bisa memilih presiden secara langsung. Kalau kita salah pilih, ya kita ambil risikonya. Ketimbang DPR yang pilih, mereka yang salah, tapi kita yang tanggung risikonya," tutur dia.
Senada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan, menilai wacana yang diusulkan Presiden Prabowo tidak cocok dengan sistem yang saat ini berjalan di Indonesia.
Akademisi Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) itu mengkritisi pernyataan Prabowo yang mencontohkan kepala daerah dipilih DPRD sudah berjalan di negara seperti India, Singapura, dan Malaysia. Padahal, kata dia, Singapura dan Malaysia bukan tergolong negara demokrasi seperti yang dianut Indonesia, sehingga perbandingan yang dilontarkan tidak setimpal.
"Yang disampaikan oleh Pak Prabowo itu kemarin kan dia mencontohkan India, Singapura, Malaysia, ya, ada dua isu di situ. Pertama, menurut saya, Singapura dan Malaysia belum tergolong ke dalam negara demokrasi ya. Jadi contohnya itu tidak apple to apple dengan Indonesia," ucap Djayadi dalam acara Indonesia Electoral Reform Outlook Forum 2024 yang diselenggarakan Perludem di Jakarta, Rabu, 18 Desember 2024.
Selain itu, kata dia, negara yang dicontohkan Prabowo menganut sistem parlementer. Sejak awal rakyatnya tahu ketika mereka milih DPR, nantinya DPR itu akan memilih pimpinan pemerintahan. Dengan begitu, rakyat juga memahami pimpinan pemerintahannya yang terpilih akan berasal dari politisi yang terpilih.
"Nah kalau di kita (Indonesia) kan rakyat gak tahu bahwa nanti mereka akan memilih kan gak dikasih tahu. Lalu siapa itu yang akan dipilih kan gak tahu. Kalau misalnya di sistem parlementer memang milihnya DPR, tapi kita tahu salah satu di antara mereka akan menjadi kepala pemerintahan," ucap dia.
Karena itu, Djayadi meyakini, apabila sistem kepala daerah dipilih DPRD, maka berpotensi menimbulkan polemik terkait mekanisme demokrasi perwakilan. Ia mengusulkan apabila berniat mengubah sistem pemilihan kepala daerah, pemerintah harus mengganti sistem di Indonesia dari presidensial menjadi parlementer.
"Tapi kalau pakai pola seperti yang tidak langsung sebagaimana wacana itu, pernah diterapkan di Indonesia tahun 2000 sampai 2005, itu rakyat milih anggota DPR. Itu rakyat tahu bahwa anggota DPR akan memilih kepala daerah, tapi mereka nggak tahu siapa kepala daerahnya, berasal dari mana dia," kata dia.
"Dengan demikian ada problem dalam pengertian democratik representatif, kecuali kalau memang sistem kita diubah jadi sistem parlementer," imbuh Djayadi.