PTUN Kabulkan Gugatan Ko-Promotor Bahlil, Rektor UI Harus Cabut Sanksi

- Rektor UI dihukum untuk bayar biaya perkara Rp359 ribu
- PTUN juga mengabulkan gugatan Chandra Wijaya yang menjadi promotor Bahlil
Jakarta, IDN Times - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan Ko-Promotor Bahlil Lahadalia, Athor Subroto. Hakim PTUN menyatakan surat keputusan Rektor Universitas tentang penetapan sanksi administratif yang diputuskan pada 7 Maret 2025 lalu, batal. Artinya, sejumlah sanksi mulai dari penundaan kenaikan pangkat, larangan mengajar, dan membimbing mahasiswa baru hingga meminta maaf kepada civitas universitas, tak perlu dipenuhi.
"Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya. Mewajibkan tergugat (Rektor UI) untuk mencabut Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor 475/SK/R/UI/2025 tentang penetapan sanksi administratif terhadap Athor Subroto," demikian yang tertulis di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN, dikutip Jumat (3/10/2025).
Majelis hakim juga memutuskan agar Rektor UI sebagai tergugat untuk mencabut Surat Keputusan nomor 475 dan memulihkan nama baik Athor.
"Memerintahkan tergugat untuk merehabilitasi nama baik serta kedudukan dan tugas penggugat atas nama Athor Subroto," demikian rilis dari PTUN Jakarta.
Gugatan Athor didaftarkan pada 5 Juni 2025 lalu dengan nomor perkara 189/G/2025/PTUN.JKT. Langkah tersebut ditempuh Athor sebagai upaya tindak lanjut yang sudah menyatakan tidak terima atas sanksi yang dijatuhkan oleh Rektor UI.
Athor ikut dikenakan sanksi oleh UI lantaran menjadi ko-promotor disertasi Bahlil Lahadalia. Ketua Umum Partai Golkar itu dianggap telah melanggar kode etik ketika menyusun disertasinya.
1. Rektor UI dihukum untuk bayar biaya perkara Rp359 ribu

Atas dikabulkannya gugatan mantan Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI ini, Rektor UI turut dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp359 ribu. Majelis hakim PTUN Jakarta juga menyatakan eksepsi Rektor UI tidak diterima untuk seluruhnya.
2. PTUN juga mengabulkan gugatan Chandra Wijaya yang menjadi promotor Bahlil

Gugatan serupa juga dilayangkan oleh promotor Bahlil, Chandra Wijaya. Namun, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hanya mengabulkan sebagian dari gugatan mantan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) itu.
Berdasarkan data di SIPP, Chandra melayangkan gugatan pada 10 Juni 2025 lalu dan tercatat dengan nomor perkara 190/G/2025/PTUN.JKT.
"Menyatakan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian," demikian rilis dari PTUN.
Majelis hakim PTUN mengabulkan gugatan Chandra pada poin membatalkan keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor 473/SK/R/UI/2025 pada tanggal 7 Maret 2025 tentang penetapan sanksi administratif. Hakim juga memerintahkan rektor UI untuk mencabut keputusannya yang pernah diterbitkan pada awal Maret 2025 lalu.
Namun, pada bagian gugatan agar UI merehabilitasi Chandra ke dalam status, kedudukan dan martabatnya semula sebagai dosen, ditolak oleh majelis hakim PTUN.
"Menyatakan gugatan penggugat untuk selain dan selebihnya," demikian kata hakim PTUN.
3. Dewan Guru Besar UI masih pelajari putusan PTUN Jakarta

Sementara, ketika dikonfirmasi kepada Ketua Dewan Guru Besar UI, Eko Prasojo, dia mengaku sudah mengetahui putusan PTUN Jakarta itu. Dia mengatakan, DGB dan tiga organ lainnya di UI sedang mempelajari putusan tersebut.
"Masih dipelajari (isi) putusannya. Tetapi, rencananya UI akan melakukan banding (putusan PTUN)," ujar Eko kepada IDN Times, Kamis (2/10/2025).
Ketika IDN Times konfirmasi kepada Rektorat UI, mereka tidak langsung memutuskan untuk mengajukan banding terhadap dua putusan PTUN itu. Rektorat UI memilih untuk mempelajari lebih lanjut dampak dari dua putusan tersebut.
"Atas putusan ini, UI menyatakan menghormati sepenuhnya proses peradilan sebagai wujud komitmen institusi terhadap prinsip-prinsip pengelolaan layanan yang baik, akuntabilitas serta kepastian hukum," ujar Kasubdit Reputasi Digital dan Media Direktorat Humas Media, Pemerintah, Internasional UI, Emir Chairullah di dalam keterangan video.
"UI akan mempelajari secara cermat isi putusan tersebut, termasuk implikasi serta konsekuensi yang mungkin timbul terhadap kebijakan maupun tata kelola universitas," kata dia.
Tindakan tidak terburu-buru merespons itu, ujar Emir, dinilai penting agar setiap langkah ke depan yang ditempuh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melindungi kepentingan civitas akademika.