Revisi UU Penyiaran Dinilai Bermasalah, jika Disahkan Bisa Berantakan

Jakarta, IDN Times - Revisi Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang tengah dibahas di DPR menimbulkan berbagai kritik. RUU ini dianggap mengancam demokrasi hingga membungkam pers, serta dianggap diskriminatif terhadap hak-hak publik.
Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi yang tergabung dari sejumlah lembaga masyarakat sipil dan organisasi masyarakat, menyuarakan ada upaya diskriminasi serta pembungkaman publik dalam RUU Penyiaran. RUU Penyiaran sudah 10 tahun lebih digodok.
Yovantra Arief dari Remotivi mengungkapkan lambatnya penyelesaian RUU Penyiaran karena adanya berbagai unsur kepentingan.
"Ada tiga hal yang menjadi indikasi kenapa RUU ini tidak disusun berdasarkan masukkan publik dan lembaga-lembaga terkait, dan kalau RUU ini disahkan yang terjadi bukan membuat agar penyiaran agar lebih baik, agar sesuai dengan zamannya, tapi justru akan menciptakan sistem penyiaran yang semakin berantakan dan semakin buruk," kata dia dalam konferensi pers daring, Selasa (21/5/2024).
1. Dikhawatirkan meniadakan keragaman

Pertama, kata Yovantra, RUU Penyaiaran punya tugas agar penyiaran bisa lebih adil, namun dikhawatirkan malah meniadakan keragaman, karena maraknya penguasa yang punya bisnis penyiaran.
Yovantra mengatakan, justru yang terjadi adalah tidak terciptanya keadilan ekonomi dan ganya terpusat hanya pada segelintir orang dan serta hanya di Jakarta. Kemudian, tidak ada distribusi ekonomi dan distribusi konten-konten lokal di daerah.
Dia menjelaksan, RUU Penyiaran memaksakan pola pengaturan penyiaran konvensional TV dan radio pada penyiaran digital, padahal penyiaran konvensional logikanya analog dan linear serta terbatas frekuensinya.
Namun, penyiaran digital adalah sebaliknya dan ada potensi tak adanya batasan. Pengaturan yang ketat pada penyiaran digital dianggap bukannya melindungi, namun malah melanggar banyak hak berekspresi dan kehutuhan informasi.
2. Aturan yang tumpang tinggi, KPI bisa beri tanda lulus sensor

Yovantra juga menjelaskan beleid ini menciptakan aturan tumpang tindih. Salah satunya soal Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang bisa memberi tanda lulus isi siar seperti lulus sensor. KPI juga mengawasi konten di internet atau secara visual, hal ini menimbulkan banyak tumpah tindih dengan UU Penyiaran dan UU ITE.
Kemudian, RUU Penyiaran terkesan dikebut prosesnya, sehingga dikhawatirkan bakal menghancurkan sistemnya dan banyak hak yang dicabut.
"Yang terjadi akhirnya kalau aturan ini sangat dikebut seperti itu, bukannya merapihkan tata penyiaran kita supaya lebih sesuai dengan perkembangan zamannya, tapi malah menghancurkan sistemnya dan akan banyak hak-hak yang dicabut," kata Yovantra.
3. Kekhawatiran tumpang tindih dari RUU Penyiaran

Sementara, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nani Afrida menyoroti pelarangan tayangan jurnalisme di RUU Penyiaran. Dia mengatakan adanya poin tersebut adalah bentuk pembungkaman terhadap pers.
Dia mengatakan adanya pemangkasan wawenang Dewan Pers oleh KPI, di mana KPI dipilih DPR dikhawatirkan tidak independen.
"Yang benar-benar kita harus kuatkan itu justru konten jurnalisme, di mana itu semestinya ranahnya Dewan Pers. Sementara, kalau konten non-jurnalisme, seperti iklan dan siaran hiburan, itu mungkin arahnya KPI. Tapi ini ternyata enggak dipisahkan, dicampur aduk di situ dan itu jadi meresahkan kita semua," kata Nani.
Menurutnya, Undang-Undang Penyiaran Tahun 2002 itu adalah semangat dari reformasi. Namun, jika diubah seperti sekarang ini, dia khawatir akan overlap dan itu akan menimbulkan permasalahan serius bagi masyarakat.
AJI sudah bersuara di sejumlah daerah di Indonesia soal pembahasan RUU Penyiaran yang dianggap bermasalah.
Organisasi atau lembaga yang tergabung dalam koalisi ini adala Kalyanamitra, Perempuan Mahardhika, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Masyarakat, The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia kemudian, Jakarta Feministt.
Selain itu ada Remotivi, Konde.co Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Yayasan Ragam Berdaya Indonesia (YRBI), SEJUK selain itu ada Arus Pelangi, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), PIKAT Demokrasi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) hingga LETSS Talk.