Revisi UU PPMI Dipertanyakan, Pemerintah Dinilai Lamban

- Implementasi UU PPMI dianggap tidak terlaksana karena lambatnya pemerintah dalam menerbitkan aturan turunannya.
- Perbedaan arti revisi UU PPMI bagi pemerintah dan Jaringan Advokasi Kawal RUU PPMI, serta pentingnya revisi bagi pekerja migran perempuan.
- Kehadiran negara dalam membela pekerja migran sangat diperlukan, baik yang berstatus legal maupun ilegal.
Jakarta, IDN Times - Perwakilan Jaringan Advokasi Kawal Revisi Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), Novia Sari, mengaku heran dengan langkah pemerintah yang secara tiba-tiba melakukan revisi terhadap UU PPMI.
Hal tersebut disampaikan Novia dalam diskusi publik bertema "Revisi UU PPMI dan Masa Depan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia" melalui siaran langsung kanal YouTube resmi Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Senin (25/8/2025).
"Dari revisi Undang-Undang PPMI yang dilakukan negara, kami sebenarnya cukup bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba negara melakukan revisi? Karena kalau merefleksikan UU PPMI itu sebenarnya adalah undang-undang yang diperjuangkan panjang dulu, oleh jaringan buruh migran," ujarnya.
1. Implementasi UU PPMI dianggap tidak terlaksana karena lambatnya pemerintah

Novi menyampaikan pandangannya terhadap implementasi UU PPMI yang dinilai lambat, sehingga pada akhirnya tidak terlaksana dengan baik.
"Kalau dilihat, kenapa sih undang-undang itu akhirnya 'tidak terlaksana?' Karena implementasinya. Karena setelah dua tahun undang-undang itu hadir, pemerintah terlambat untuk menerbitkan aturan-aturan turunannya," tegasnya.
2. Perbedaan arti revisi UU PPMI bagi pemerintah dan Jaringan Advokasi Kawal RUU PPMI

Sementara, Koordinator Tenaga Ahli Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Hendro Subiyantoro, menjelaskan revisi UU PPMI mencapai 44 angka perubahan, di mana terdapat 36 pasal perubahan, kemudian 6 pasal dihapus, dan ada tambahan 10 pasal atau ayat yang disisipkan.
Sekretaris Dirjen Perlindungan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KPPMI), Dayan Victor Imanuel Blegur, menambahkan revisi UU PPMI penting bagi pekerja migran perempuan.
"Bagi pekerja migran perempuan, revisi ini memiliki arti yang lebih dalam. Beliau-beliau bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga pilar keluarga sekaligus penggerak ekonomi desa. Namun posisi mereka sering kali rentan menghadapi risiko kekerasan, diskriminasi, hingga eksploitasi biaya yang tidak sebanding dengan kerja keras yang mereka berikan," ujar Dayan.
Namun, kata Dayan, hal tersebut bertentangan dengan pernyataan Novi terkait pemungutan pajak yang kini semakin memberatkan perempuan. Hal ini juga berkaitan dengan banyak pekerja migran perempuan yang bekerja secara non-struktural atau ilegal.
"Pemungutan pajak yang hari ini besar-besaran atas nama untuk pendapatan negara itu juga semakin memiskinkan perempuan. Perempuan gak punya banyak pilihan, pak, bu. Perempuan tidak memiliki banyak pilihan untuk tetap diam dan nunggu," ujarnya.
"Gak bisa. Di mana? Mereka udah gak ada ruang hidup, udah digusur sama negaranya sendiri," lanjut Dayan.
3. Kehadiran negara dalam membela pekerja migran sangat diperlukan

Dalam kata sambutannya, Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor menegaskan pentingnya kehadiran negara untuk membela pekerja migran di mana pun mereka berada meski berstatus ilegal.
"Ada eksploitasi terhadap pekerja migran yang terlepas berangkat legal atau ilegal, mereka adalah warga negara Indonesia di mana pun mereka berada, negara wajib memberikan perlindungan," kata dia.
"Bahwa dia ilegal, betul. Bahwa dia melakukan kesalahan, betul. Tetapi tetap dalam konteks pemenuhan hak hidup dia, pastikan bahwa di mana pun adanya mereka bisa mendapatkan hidup yang layak. Pastikan bahwa negara hadir," lanjutnya.
Menurut Maria, revisi UU PPMI yang masih terus berlanjut hingga saat ini bertujuan untuk menjadikan UU PPMI menjadi ideal.
"Itulah menjadi pentingnya kenapa revisi ini dan tidak ada yang tergesa-gesa, mari kita tetep ngopi bareng, insyaallah nanti ketemu titik tengahnya," kata Hendro.