Tokoh Gerakan Nurani Bangsa Desak Banjir Sumatra Jadi Bencana Nasional

- Banjir Sumatra merupakan cermin keserakahan manusia
- Menko PMK sebut penanganan banjir sudah skala nasional
- Jatam nilai pemberlakuan status bencana nasional bisa ganggu investasi
Jakarta, IDN Times - Sejumlah tokoh nasional yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB) mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan banjir di Sumatra sebagai bencana nasional. Sebab, korban jiwa yang sudah jatuh terus bertambah setiap harinya. Bahkan, aktivitas sosial dan ekonomi di banyak wilayah di Pulau Sumatra lumpuh.
"Gerakan Nurani Bangsa (GNB) menilai tragedi kemanusiaan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan kelumpuhan aktivitas sosial dan ekonomi di banyak wilayah di Pulau Sumatra ini patut dinyatakan sebagai bencana nasional," demikian salah satu poin pernyataan dari GNB, dikutip Jumat (5/12/2025).
GNB digerakan oleh sejumlah tokoh nasional seperti istri mendiang mantan Presiden Gus Dur, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid; Quraish Shihab; Ignatius Kardinal Suharyo; Romo Frans Magniz-Suseno; Alissa Wahid; Lukman Hakim Saifuddin hingga Makarim Wibisono. Mereka menilai dengan pemberlakuan status bencana nasional untuk penanganan banjir Sumatra, maka langkah yang diambil bisa lebih komprehensif dan terpusat.
"Mobilisasi sumber daya nasional harus segera dikerahkan secara maksimal di tengah keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah daerah," kata GNB.
Apalagi berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), total korban meninggal dunia akibat banjir di tiga provinsi per hari ini sudah menembus angka 867 jiwa. Sedangkan 521 jiwa lainnya dilaporkan masih hilang.
1. Bencana banjir Sumatra merupakan cermin keserakahan manusia

Lebih lanjut, GNB menilai, banjir Sumatra bukan semata-mata disebabkan adanya curah hujan yang tinggi. Sumatra dapat dilanda banjir hebat akibat cerminan atas kebodohan dan ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan.
"Ini bentuk keserakahan manusia terhadap kelestarian alam," kata GNB.
Selain mendesak agar diberlakukan status bencana nasional, GNB turut meminta agar pemerintah memperketat kebijakan atau peraturan yang menyangkut kelestarian lingkungan hidup. Sebab, bencana tersebut tidak mustahil terjadi akibat pelanggaran tentang ketentuan lingkungan hidup yang didorong oleh keserakahan manusia.
"Gerakan Nurani Bangsa juga mengimbau kepada seluruh warga negara Indonesia untuk melakukan solidaritas kemanusiaan. Lakukan aksi-aksi nyata untuk meringankan beban mereka yang terdampak dan meneguhkan persatuan sesama anak bangsa," tutur dia.
2. Menko PMK sebut penanganan banjir Sumatra sudah skala nasional

Sementara, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Pratikno mengatakan, meski belum berstatus bencana nasional namun sejauh ini penanganan yang diberikan sudah bertaraf nasional.
"Penanganannya sudah nasional," ujar Pratikno ketika memberikan keterangan pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur pada Rabu, 3 Desember 2025.
Ia menyebut, Presiden Prabowo Subianto sudah memerintahkan seluruh kementerian/lembaga, termasuk TNI/Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), untuk mengerahkan sumber daya maksimal mungkin dalam menangani bencana di Sumatra.
"Jadi sekali lagi, penanganannya benar-benar penanganan full kekuatan secara nasional," kata mantan Sekretaris Negara di era kepemimpinan Presiden Joko "Jokowi" Widodo itu.
3. Jatam nilai pemberlakuan status bencana nasional bisa ganggu investasi

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, menduga ada tiga alasan mengapa pemerintah enggan menetapkan banjir di tiga provinsi sebagai bencana nasional.
"Pertama, status bencana nasional akan memaksa pemerintah pusat mengambil alih komando dan membuka lebih luas akuntabilitas negara. Termasuk membuka data perizinan dan kelemahan tata ruang yang selama ini dilindungi di balik istilah 'kewenangan daerah,'" ujar Melky kepada IDN Times melalui pesan pendek, Senin 1 Desember 2025.
Alasan kedua, kata Melky, penetapan bencana nasional diduga berpotensi mengganggu kepentingan investasi, karena akan menyoroti langsung peran izin tambang, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), panas bumi, sawit dan konsesi lain di hulu sebagai faktor risiko. Jadi, bukan lagi sebagai latar belakang.
Alasan ketiga, bila banjir Sumatra diakui sebagai bencana nasional, maka bakal muncul tuntutan dari publik untuk meninjau ulang, membekukan, bahkan mencabut izin-izin bermasalah. "Sehingga akan sulit lagi dibendung dengan narasi banjir disebabkan oleh cuaca ekstrem atau siklon semata," tutur dia.















