Pedagang Menjerit Pasar Depok Ditutup karena Corona, Pemkot Bisa Apa?

Perlu ada penataan pasar yang adaptif akan bahaya corona

Depok, IDN Times - Pasar, baik tradisional maupun modern menjadi satu di antara pusat keramaian yang berpotensi menjadi tempat penularan virus corona. Di Kota Depok, Jawa Barat, Pasar Cisalak terpaksa ditutup dua hari (31 Mei-1 Juni), setelah empat pedagang dinyatakan positif COVID-19 usai menjalani tes swab.

Selama hiatus dua hari, pasar disterilisasi dengan penyemprotan cairan disinfektan di seluruh kawasan pasar, termasuk sterilisasi dua jalan yang bersemuka dengan pasar berlantai empat itu.

Namun, langkah yang ditempuh pemerintah setempat dinilai bukan sebagai langkah efektif dalam menekan risiko penularan virus corona dalam pasar. Ada hal lain yang dianggap lebih mendesak dilakukan selain langkah kuratif (mensterilisasi pasar) pasca-temuan kasus, yakni penataan pasar.

Baca Juga: Pakar Epidemiologi UI: Depok Belum Siap Normal Baru, Perpanjang PSBB

1. Perlu ada penataan pasar yang mengacu pada protokol kesehatan yang berlaku

Pedagang Menjerit Pasar Depok Ditutup karena Corona, Pemkot Bisa Apa?Pasar Rangkasbitung, Lebak (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)

Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Depok Alif Noeriyanto Rahman menyayangkan kerja Pemkot yang hanya melakukan sterilisasi, tanpa menentukan upaya pencegahan yang efektif sebelumnya, misal penataan pasar yang adaptif akan bahaya virus corona.

Hal yang pertama-tama mendesak dilakukan, kata Alif, ialah langkah konkret dalam hal pembatasan jaga jarak fisik antara pedagang-pembeli dan pembeli-pembeli.

“Jadi bagaimana pasar itu ditata berdasar protokol kesehatan. Antar kios itu ada jaraknya. Jadi masing-masing ada jaraknya 1,5 sampai 2 meter. Terus selasar atau lorong pasar jaraknya sebaiknya 2 meter. Lorong itu dijaga jaraknya agar antar orang gak saling bersinggungan,” kata Alif saat dihubungi IDN Times, Senin (1/6).

Selain itu, pengaturan jumlah pengunjung juga mesti ada. Kapasitas pasar semestinya tak bisa disamakan dengan hari-hari sebelum pandemik melanda.

“Jumlah pengunjungnya dibatasi. Dihitung kapasitasnya, 40 persen itu cukup, 40 persen dari kapasitas pasar. Jadi misalnya jumlah kios 100, orang yang boleh masuk itu 40 orang. Sisanya gimana? Ya harus menunggu giliran, ya itu harus diatur di awal supaya orang itu tidak berdesakan di dalam,” ujar dia.     

Hal berikut yang semestinya dilakukan Pemkot, kata Alif, menyediakan masker bagi setiap pengunjung dan pedagang, seraya memfasilitasi pasar dengan banyak tempat mencuci tangan.

“Ini saatnya pihak pengelola pasar untuk menata diri sebetulnya, juga saatnya pemkot menata diri supaya pasar itu nyaman. Supaya orang itu belanja ke pasar gak merasa risih,” katanya.

2. Jangan sampai pasar jadi klaster baru yang bisa menambah jumlah kasus positif virus corona

Pedagang Menjerit Pasar Depok Ditutup karena Corona, Pemkot Bisa Apa?(Ilustrasi virus corona) IDN Times/Arief Rahmat

Dalam pandangannya, upaya pencegahan Pemkot Depok dalam menekan penularan virus di kawasan pasar, tak cukup dengan hanya skrining. Semestinya intervensi medis turut dibarengi dengan intervensi Pemkot dalam menata pasar.  

“Jangan hanya skrining massal lalu pas ditemui kasus baru lantas ditutup pasarnya. Ya setelah itu dibenahi lah pasarnya. Jangan cuma ditutup dan disiram disinfektan saja. Itu kan sama seperti api kebakaran lalu dipadamkan apinya, lalu sudah selesai,” ucap Alif.

“Ini saatnya jadi evaluasi bagi Pemkot. Karena dari kejadian ini bisa saja merembet ke pasar lain. Karena kita gak tahu pergerakan warga Depok itu kan dinamis sekali,” imbuhnya.  

Kini, Pemkot bak berpacu dengan waktu, karena penularan virus di dalam pasar bisa menyebabkan klaster baru dan pada saat bersamaan menambah jumlah kasus positif. Terlebih, saat nanti fase new normal atau normal baru diberlakukan, di mana ada pelonggaran pembatasan sosial dari sebelumnya, yang menuntun tinggi aktivitas masyarakat.   

“Kalau pasar gak ditata baik, munculnya klaster baru itu besar terjadi. Apalagi ketika nanti new normal. Ketika banyak fasilitas yang dibuka lagi. Masyarakat untuk cari kebutuhan pangan itu kan jadi tinggi ya, ya kalau ga diatur dari awal ya susah,” jelasnya.  

Sementara itu, intervensi medis yang ada, kata Alif, belum siap untuk menghadapi bila munculnya lonjakan kasus baru positif, mengingat terbatasnya antara skrining massal dan mesin penguji sampel.

“Ingat pemeriksaan kita itu tak setinggi di Padang, di sana itu sehari bisa 800-an sampel yang diperiksa PCR swab. Kalau di Depok kan gak sampai segitu. Kita kan cuma punya jatah 1.300-an sampel swab. Jadi dicicil per harinya, sekitar puluhan sampai seratus. Di Depok itu jauh dari ideal lah kalau untuk tes,” katanya.

3. Ketika pasar ditutup, otomatis pemasukan pedagang ikut tertutup

Pedagang Menjerit Pasar Depok Ditutup karena Corona, Pemkot Bisa Apa?ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Kendati penutupan pasar jadi langkah penanggulangan agar penularan tak meluas, namun di sisi lain pihak pedagang merasakan dampaknya. Seperti yang dialami oleh Darius, pedagang yang bergantung hidup menjual pakaian di Pasar Cisalak sejak medio 1996 ini.

Sejak pandemik virus corona mendera, penghasilannya menyusut setengah. Hari-harinya pun jadi kian pelik ketika tempat mengais rezekinya ditutup dua hari. Selain karena pemasukannya terhenti sementara, ia merasa dihantui bayang-bayang pasar sepi pasca-temuan kasus positif baru.  

“Per hari selama pas corona omzet Rp400-500 ribu, sebelum corona padahal omzet bisa sejuta. Sekarang dampak pasar setelah ditutup pasti jelas ada pengaruhnya. Pengaruhnya bisa jadi sepi pasar,” kata Darius kepada IDN Times.

Ia lantas berharap kepada Pemkot Depok untuk bisa membenahi pasar. Langkah konkret dalam hal jaga jarak fisik dan penataan lapak pedagang di luar gedung diharapkan muncul.

“Ya kalau bisa jangan ada hal yang sama. Harapannya aturan makin diperketat. Di akses keluar masuk pasar itu susah banget jaga jarak fisik. Mungkin pemerintah punya cara lain. Kalau ada hal sama, terus pasar ditutup, otomatis pedagang gak ada pemasukan. Bagaimana dengan biaya dapur pedagang, menghidupi keluarga,” tuturnya.

4. Belum ada teknis jaga jarak fisik dalam pasar, sifatnya sebatas imbauan

Pedagang Menjerit Pasar Depok Ditutup karena Corona, Pemkot Bisa Apa?Aktivitas pasar yang tidak mengindahkan jaga jarak di tengah pandemik COVID-19 (ANTARA FOTO/Makna Zaezar)

IDN Times coba mengonfirmasi kepada pihak yang berwenang mengatur implementasi protokol kesehatan dalam pasar.

“Untuk aturan physical distancing artinya menjaga agar tidak terjadi kerumunan. Nanti dinas terkait (Disdagin) yang mengatur teknisnya,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok Novarita.

Hingga berita ini dimuat, Kepala Disdagin Zamrowi belum merespons panggilan maupun menjawab pesan IDN Times soal ini. Namun yang jelas, upaya pencegahan dalam Pasar Cisalak memang masih bersifat imbauan, misal imbauan jaga jarak fisik, tanpa ada teknis jelas jarak antara pedagang-pembeli dan pembeli-pembeli.

“Teknis jaga jarak fisik itu memang belum ada, kami baru sebatas kasih imbauan aja,” kata Tisna, Kepala UPT Pasar Cisalak.

Sejauh ini langkah pencegahan, kata dia, sudah diterapkan seperti imbauan kepada orang di pasar untuk memakai masker, menyediakan tempat cuci tangan, dan penyemprotan rutin cairan disinfektan.

“Ya yang udah dilakukan baru sebatas imbau pakai pengeras suara agar bisa menjaga jarak. Karena gak bisa mengawasi seratus persen masyarakat buat jaga jarak, ya personel kita juga gak banyak. Kemudian pedagang dan pengunjung juga aktivitasnya bukan hanya siang. Kan ada yg malam juga,” ucapnya.  

Baca Juga: Getir Perantau di Depok: Hilang Mata Pencaharian hingga Gadai Barang

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya