Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sarjana Teknik Elektro Gugat Syarat Pendidikan Auditor Halal ke MK

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jakarta Pusat (dok. MK)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jakarta Pusat (dok. MK)
Intinya sih...
  • Sarjana Tekni Elektro ajukan pengujian UU Jaminan Produk Halal ke MK karena syarat kualifikasi pendidikan auditor halal diskriminatif.
  • Pemohon menyoroti kerugian konstitusionalnya akibat ketentuan pembatasan kualifikasi pendidikan auditor halal yang tidak memenuhi prinsip kesetaraan dalam UUD 1945.
  • Pemohon juga menilai adanya inkonsistensi antara peraturan auditor halal dan penyelia halal yang menciptakan ketidakseimbangan dalam penegakan standar halal di Indonesia.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Sarjana Tekni Elektro, Putra Arista Pratama, mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 juncto Pasal 14 Ayat (2) Poin c, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014, tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Pemohon mempersoalkan syarat kualifikasi pendidikan untuk menjadi auditor halal.

1. Pemohon ungkap kerugian konstitusional

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Pemohon merupakan lulusan Sarjana Teknik Elektro dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Dalam permohonan Perkara Nomor 6/PUU-XXIII/2025, pemohon mengungkapkan kerugian konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 48 Poin 9 UU 6/2023 juncto Pasal 14 Ayat (2) Poin c UU JPH. 

Ketentuan tersebut mengharuskan auditor halal memiliki latar belakang pendidikan dari bidang tertentu, seperti pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi. Dengan demikian, lulusan teknik elektro seperti pemohon tidak memenuhi persyaratan meskipun memiliki keahlian teknis yang relevan.

Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan di MK, pemohon yang hadir secara daring menyebutkan kerugian konstitusional yang dimaksud, yaitu hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak sesuai Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 terhambat akibat pembatasan kualifikasi pendidikan.

“Kesetaraan di hadapan hukum sesuai Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 tidak terpenuhi, karena gelar Sarjana Teknik Elektro yang setara dengan gelar Sarjana Teknik Industri (S.T) diperlakukan berbeda,” kata dia dalam persidangan di MK, Rabu (5/3/2025).

2. Dianggap bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam UUD 1945

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (IDN Times/ Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (IDN Times/ Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Menurut pemohon, ketentuan ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam UUD 1945, khususnya Pasal 27 Ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. 

Selain itu, pembatasan tersebut dianggap melanggar Pasal 27 Ayat (2) yang menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pemohon menilai aturan ini menciptakan diskriminasi yang tidak beralasan terhadap lulusan dari bidang lain yang memiliki kompetensi serupa.

Lebih lanjut, pemohon menyoroti inkonsistensi antara peraturan auditor halal dan penyelia halal. Dalam Pasal 28 UU JPH, penyelia halal yang berperan sebagai auditor internal di pelaku usaha tidak diwajibkan memiliki kualifikasi pendidikan yang sama dengan auditor halal. Padahal, penyelia halal memiliki peran strategis dalam memastikan kehalalan proses produksi. Perbedaan ketentuan ini dinilai menciptakan ketidakseimbangan dalam implementasi standar halal di Indonesia.

“Auditor halal yang berfungsi sebagai auditor eksternal di Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) memerlukan kolaborasi dengan penyelia halal dalam proses penilaian. Namun, pengaturan kualifikasi pendidikan yang terlalu spesifik untuk auditor halal mengabaikan fakta bahwa fungsi penyelia halal sering kali lebih teknis dan langsung berkaitan dengan proses produksi. Inkonsistensi ini menciptakan ketidakseimbangan dalam penegakan standar halal,” ujar Putra.

3. Petitum pemohon minta bunyi pasal diubah

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Oleh karena itu, dalam petitumnya, pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 48 Poin 9 UU 6/2023 juncto Pasal 14 Ayat (2) Poin c UU JPH, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta Mahkamah agar mengubah bunyi Pasal 14 Ayat (2) Poin c UU JPH menjadi "berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu)" tanpa membatasi bidang studi.

Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih menasihati pemohon mengenai kedudukan hukum yang berisi dua hal pokok menyangkut kualifikasi pemohon dan syarat kerugian konstitusional. 

“Syarat kerugian konstitusional belum Anda uraikan. Di halaman empat saya lihat sangat minim sekali uraian soal syarat-syarat kerugian hak konstitusional itu. Saudara sudah mencantumkan lima syarat itu, tetapi terkait lima syarat ini saudara tidak uraikan. Saudara harus jelaskan apa hak yang diberikan oleh UUD itu. Apakah sama hak itu dengan batu uji yang saudara gunakan. Harus Anda uraikan apakah betul hak itu dirugikan karena berlakunya Pasal 14 ayat 2 huruf c itu,” ujar Enny.

Alhasil, Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada Selasa, 18 Maret 2025.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us