Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sebanyak 138 Anggota DPR RI Terpilih Terasosiasi Dinasti Politik

Gedung DPR/MPR (IDN Times/Amir Faisol)
Intinya sih...
  • Sebanyak 138 anggota DPR terpilih, atau 23,79%, terasosiasi dengan dinasti politik di level nasional.
  • Anggota DPR terpilih mayoritas adalah anak dari dinasti politik (38,4%), diikuti istri (21,7%) dan adik (14,5%).
  •  

Jakarta, IDN Times - Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam sebuah studi yang dilakukan memotret adanya afiliasi anggota DPR RI terpilih pada Pemilu 2024 dengan dinasti politik. 

Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS), Arya Fernandes mengungkapkan, sebanyak 138 dari total 580 anggota DPR terpilih atau 23,79 persen terasosiasi dengan dinasti politik. 

"(Sebaanyak) 138 itu sekitar 23,79 persen dari total anggota DPR yang terpilih itu terasosiasi dengan dinasti politik di level nasional," kata dia.

Bila data tersebut di-breakdown berdasarkan asal partai politik, terlihat beberapa partai memiliki angka dinasti politik yang cukup tinggi, atau di atas rata-rata nasional, seperti Nasdem, PDI Perjuangan, Golkar dan Gerindra.

Kemudian, berdasarkan hubungan darah atau kekerabatan dengan dinasti politik, sebagian besar dari 138 anggota DPR terpilih adalah anak dari dinasti politik, yaitu sebesar 38,4 persen, disusul istri (21,7 persen), lalu adik (14,5 persen), dan kategori lainnya di bawah 10 persen.

1. Calon kepala daerah di Pilkada 2024 terasosiasi dinasti politik bakal lebih besar?

Arya mengasumsikan, gejala yang sama akan terjadi di level daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota.

Diakuinya, CSIS belum memiliki data rigid terkait kepala daerah yang terasosiasi dengan dinasti politik, tapi ia menduga angka itu bisa lebih tinggi daripada data anggota DPR RI yang terasosiasi dengan dinasti politik. 

"Untuk Pilkada, dugaan saya saya nggak tahu persis angkanya berapa, tapi dugaan saya calon-calon yang berlatar belakang dinasti baik dia anak dari kepala daerah petahana perkiraan saya cukup besar kalau kita pakai estimasi nasional saja 23,79 persen dari 580," kata dia.

2. Tren pertumbuhan politik dinasti terjadi setelah 2015

Wakil Presiden terpilih periode 2024-2029, Gibran Rakabuming Raka blusukan di Pasar Nangka, Jakarta Pusat, Rabu (3/7/2024) (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Arya menjelaskan, tren pertumbuhan dinasti politik di Indonesia semakin meningkat setelah 2015 bila melihat berdasarkan sikuen pilkada yang dimulai 2005.

 "Artinya, pertumbuhan dinasti itu kalau kita lihat periodisasi Pilkada tumbuhnya itu pasca 2015 atau pasca 2015 karena kan Pilkada langsung itu 2005 ya," ucapnya.

Dia menjelaskan, bila diambil rata-rata, akhir masa jabatan seseorang adalah dua periode, maka dinasti politik telah terjadi sejak 2005-2015. 

Pada generasi awal, mereka sudah menyelesaikan jabatan dua periode, yang mungkin saja mereka kembali maju ke level yang lebih tinggi, yaitu ke DPR RI. Karena dinasti kelurga mereka masih kuat maka akan dilanjutkan ke generasi di bawahnya, baik anak istri, atau adiknya.

Arya mencontohkan, dalam kasus dinasti politik keluarga Limpo di Sulawesi Selatan. Mereka membangun dinasti di generasi pertama, yang dilanjutkan ke generasi kedua di keluarga itu. 

Contoh lain, adalah dinasti Alex Noerdin yang memulai karier dalam bidang politik di sebagai Bupati Musi Banyuasin. Anaknya, yang pertama, yaitu Dodi Reza Alex Noerdin.

"Jadi dugaan saya juga pertumbuhannya cukup tinggi setelah 2015, artinya setelah 10 tahun terakhir. Tapi umumnya dia berkembang itu setelah generasi awal itu menjabat selesai menjabat atau tengah menjabat," kata dia.

3. Alasan dinasti politik berlangsung secara sistemik

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian ketika melantik lima penjabat gubernur di kantor Kemendagri pada 17 Mei 2024. (Dokumentasi Puspen Kemendagri)

Arya mengungkapkan, alasan politik dinasti di Indonesia sulit terputus karena praktiknya sudah berlangsung secara sistemik. Pertama, terbatasnya kompetitor yang dipicu karena elit dinasti telah menguasai semua sumber daya yang ada. 

Kedua, elit dinasti menduduki jabatan strategis di partai politik, baik di tingkat lokal maupun nasional, sehingga memudahkan bagi dinasti politik itu untuk memberikan rekom pencalonan.

Ketiga, partai tidak mensyaratkan batasan bagi seseorang yang dicalonkan itu untuk menempuh proses kaderisasi dalam jangka waktu tertentu. 

Lebih jauh, Arya juga berpandangan bahwa politik dinasti akan membuat kompetisi politik tidak kompetitif dan menutup ruang bagi semua pihak untuk mau terlibat dalam proses politik. 

"Kedua membuat terjadinya demotivasi untuk aktif di politik nggak memiliki motivasi," ujarnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Amir Faisol
EditorAmir Faisol
Follow Us