SETARA Institute: Narasi Penulisan Ulang Sejarah Ala Fadli Zon Isinya Ngawur

- Fadli Zon didesak meminta maaf kepada korban dan keluarganya
- SETARA Institute desak Fadli Zon setop proyek penyusunan ulang sejarah
- Fadli Zon mengakui adanya kekerasan seksual pada perempuan selama Mei 1998
Jakarta, IDN Times - SETARA Institute ikut angkat bicara mengenai pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon yang menyangkal peristiwa perkosaan massal pada Mei 1998. Penyangkalan itu sejalan dengan proyek penyusunan ulang sejarah Indonesia yang sangat problematik dan berpotensi digunakan oleh rezim penguasa untuk membelokkan sejarah bangsa sesuai dengan kepentingan politik rezim.
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi mengatakan peristiwa serupa sudah pernah terjadi di era Orde Baru. Saat itu sejarah bangsa yang dibelokkan terkait dengan kelahiran Pancasila serta tragedi 1965. Ketika itu, penulisan ulang sejarah yang bermasalah tersebut dipimpin oleh Nugroho Notosusanto.
Dalam kasus Fadli Zon, Hendardi menilai menteri dari Partai Gerindra itu ngawur ketika berbicara soal keraguannya mengenai peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998. Hal sensasional lainnya yang disampaikan yakni soal Presiden Prabowo Subianto yang terlibat penculikan aktivis pada 1998.
"Narasi yang disampaikan oleh Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan terkait dengan penulisan ulang sejarah Indonesia hampir semuanya cenderung manipulatif, sarat sensasi dan penuh muslihat alias ngawur," ujar Hendardi di dalam keterangan tertulis pada Senin (16/6/2025).
Ia menilai keraguan Fadli terkait peristiwa perkosaan massal tidak berempati terhadap korban. Padahal, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh Presiden BJ Habibie menyimpulkan perkosaan massal benar-benar terjadi.
1. Fadli Zon didesak meminta maaf kepada korban dan keluarganya

Lebih lanjut, Hendardi mendesak Fadli untuk menarik ucapannya yang menyangkal adanya peristiwa perkosaan massal dan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada Mei 1998. "Fadli juga harus segera meminta maaf kepada publik, khususnya para korban dan keluarga mereka," kata Hendardi.
SETARA Institute pun tidak menganggap Fadli sebagai bagian dari aktivis 1998 yang ikut meruntuhkan pemerintahan Soeharto. Fadli justru lahir, tumbuh dan dikenal luas sejak lama sebagai pendukung serta pembela Orde Baru.
Di sisi lain, SETARA menilai Kementerian Kebudayaan tidak memiliki otoritas menentukan sejarah perjalanan bangsa. Bila pemerintah memang memiliki niat baik untuk menyusun ulang buku sejarah demi kepentingan pembelajaran maka seharusnya itu dikoordinasikan oleh kementerian yang mengurusi pendidikan.
"Hal itu bisa diurus oleh Kemendikdasmen atau Kemendiktisaintek," tutur dia.
2. SETARA Institute desak Fadli Zon setop proyek penyusunan ulang sejarah

Di sisi lain, SETARA Institute juga menilai tidak ada urgensinya bagi Kementerian Kebudayaan menyusun ulang sejarah. Bahkan, harus rampung sebelum 17 Agustus 2025.
"Hal ini justru menguatkan kesan publik bahwa di balik proyek ini terdapat ambisi politik rezim untuk merekayasa dan membelokkan sejarah. Pemerintah memanfaatkan ungkapan 'sejarah adalah milik kaum pemeneng'. Tidak ada kondisi obyektif yang menunjukkan kedaruratan sehingga penulisan ulang sejarah mesti selesai sebelum 17 Agustus 2025," kata Hendardi.
Oleh sebab itu, SETARA Institute mendesak pemerintah sebaiknya membatalkan ambisi mengada-ada dengan merekayasa dan membelokkan sejarah perjalanan bangsa secara insinuatif dan tergesa-gesa. "Proses penulisan ulang sejarah butuh dialog panjang, mendalam dan inklusif terkait dengan fakta sejarah yang harus diakomodasi dalam buku pembelajaran sejarah," tutur dia.
3. Fadli Zon mengakui adanya kekerasan seksual pada perempuan selama Mei 1998

Sementara, Menteri Kebudayaan, Fadli Zon akhirnya bersuara usai pernyataannya menuai kritik dan kecaman dari berbagai pihak terutama kaum perempuan. Keluarga korban dari peristiwa perkosaan massal itu juga mengecam Fadli.
Tetapi, Fadli membantah menegasikan adanya tindak kekerasan seksual yang menimpa perempuan pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. Ia hanya berhati-hati pada penggunaan istilah 'perkosaan massal'. Sebab, hal itu dapat berimplikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.
"Pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum serta bukti yang telah diuji secara akademik dan legal. Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi," kata Fadli di dalam keterangan tertulis pada hari ini.
"Apalagi ini menyangkut angka dan istilah yang masih problematik," imbuhnya.
Istilah massal menurut Fadli juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade, sehingga sensitivitas terkait terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak serta empatik.