Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Tak Cuma Brigadir J, Ini Daftar Kasus Besar di RI Sampai Dibentuk TGPF

IDN Times/Axel Jo Harianja

Jakarta, IDN Times - Mabes Polri menggandeng Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) membentuk tim pencari fakta untuk mengungkap sejumlah kejanggalan dalam kasus tewasnya Brigadir J akibat diberondong peluru pada Jumat 8 Juli 2022 lalu. Tim khusus bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mulai bekerja pada 13 Juli 2022 .

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) merupakan istilah umum yang merujuk kepada sekelompok orang yang ditunjuk oleh suatu lembaga atau atas kesadaran kolektif untuk mengusut suatu kasus dengan cara menelisik fakta lapangan, koronologi, saksi-saksi, dan tempat kejadian perkara.

TGPF biasanya dibentuk dan diterjunkan setelah terjadinya kasus besar berskala nasional, atau sebuah kasus yang sudah berketetapan hukum tetap, tapi masih menyisakan tanda tanya besar di mata masyarakat.

Pembentukan tim pencari fakta ini bukan pertama kalinya. Untuk beberapa kasus khusus, pemerintah dengan melibatkan lembaga tertentu juga pernah membentuk tim gabungan pencari fakta. Lalu pada kasus apa saja?

1. TGPF Mei 1998

Ilustrasi Kerusuhan Mei 1998. (IDN Times/Capture Buku Politik Huru Hara Mei 1998)

Pada 23 Juli 1998, Presiden Republik Indonesia B. J. Habibie membentuk TGPF yang beranggotakan 17 orang dari gabungan unsur Pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan ormas lainnya.

Tim gabungan ini bekerja dalam rangka menemukan dan mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa 13-15 Mei 1998. Tim ini diketuai Marzuki Darusman dari Komnas HAM.

Dari proses pengumpulan data dan bukti selama tiga bulan, TGPF merilis laporan akhir dalam bahasa Indonesia dan Inggris pada 23 Oktober 1998. Hanya ringkasan eksekutif dari laporan akhir yang dapat diakses oleh publik; seri lainnya dari laporan akhir tidak pernah dipublikasikan. Ringkasan eksekutif kemudian dicetak oleh Komnas Perempuan pertama kali pada November 1999.

Sebab pokok peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah terjadinya persilangan ganda antara dua proses pokok, yakni proses pergumulan elite politik yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional dan proses pemburukan moneter yang cepat. Di dalam proses pergumulan elite politik itu, disebut ada pemeran-pemeran kunci di lapangan pada waktu kerusuhan.

Peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 disebut adalah puncak dari rentetan kekerasan yang terjadi dalam berbagai peristiwa sebelumnya, seperti penculikan yang sesunguhnya sudah berlangsung lama dalam wujud kegiatan intelijen yang tidak dapat diawasi secara efektif dan peristiwa Trisakti. Kemudian juga disimpulkan bahwa peristiwa penembakan mahasiswa di Trisakti telah menciptakan faktor martir yang telah menjadi pemicu (triggering factor) kerusuhan.

2. Tim pencari fakta kasus Munir 2004

Mahasiswa mengikuti aksi refleksi 17 tahun kematian Munir di depan Kampus UNS, Solo, Jawa Tengah, Selasa (7/9/2021). (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)

Tim Pencari Fakta Kasus Munir dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 pada 22 Desember 2004 oleh Presiden SBY. Tim ini diketuai oleh Brigjen Pol. Drs. Marsudi yang juga merangkap sebagai anggota.

TPF telah bekerja selama enam bulan, dan menyerahkan laporan penyelidikan pada 24 Juni 2005. Penyerahan ini sehari setelah berakhirnya masa kerja anggota TPF Munir.

Namun, hasil penyelidikan sampai sekrang tidak diungkap ke publik. Bahkan dokumen tersebut sampai masa Presiden Joko "Jokowi" Widodo saat ini dinyatakan hilang.

Mantan Sekretaris Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Munir, Usman Hamid, pada 7 September 2021 mengungkapkan ringkasan hasil investigasi yang tertuang dalam dokumen penyelidikan.

Usman menuturkan dokumen itu berisi proses kerja tim dalam mencari fakta di sejumlah lokasi. Dari mulai tempat kejadian perkara yaitu di dalam penerbangan Garuda sampai dengan di luar tempat kejadian perkara yang disebut sebagai lingkar kedua.

Usman mengatakan proses penyelidikan itu tidak sempurna, tetapi memperlihatkan sesuatu yang tidak beres di lembaga pemerintah khususnya di BIN dan Garuda Indonesia.

Diketahui aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib, dibunuh 17 tahun lalu, tepatnya pada 7 September 2004. Munir meninggal di dalam pesawat Garuda Indonesia tujuan Amsterdam, Belanda. Hasil autopsi menyimpulkan bahwa Munir tewas karena racun arsenik.

3. Kasus penyiraman air keras Novel Baswedan, 2019

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak

Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menunjuk 65 orang menangani kasus penyerangan penyidik KPK Novel Baswedan. Surat tugas yang ditandatangani Tito Karnavian pada 8 Januari 2019, menyebutkan anggota TGPF Novel Baswedan terdiri dari unsur Polri, KPK, dan pakar.

Tim yang telah bekerja selama 6 bulan tersebut sudah menyerahkan laporan hasil investigasi kepada Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian pada 9 Juli 2019. Setelah dipelajari Tito, tim mengungkapkan hasilnya kepada publik dalam sebuah konferensi pers di Mabes Polri, Rabu (17/7/2019).

Tim mengungkapkan tentang zat kimia yang digunakan hingga adanya dugaan penggunaan kekerasan yang berlebihan oleh Novel sehingga terjadi penyerangan. Akan tetapi, hasil investigasi TGPF belum juga menemukan titik terang. Kekerasan dan teror terhadap Novel Baswedan yang terjadi lebih dari lima tahun lalu ini belum juga diketahui pelaku dan dalang di baliknya.

Saat mengumumkan hasil investigasi, terdapat sejumlah poin penting yang diperlihatkan TGPF. Adapun paparannya, pertama terdapat kejanggalan sebelum kejadian. Kedua,  zat kimia asam sulfat (H2S04), ketiga, serangan terhadap wajah korban bukan dimaksud untuk dibunuh, tapi membuat korban menderita. Keempat, dia diserang karena pekerjaannya. Kelima, penggunaan kekuasaan berlebihan oleh Novel, hingga pelaku sakit hati. Dan keenam, diduga terkait 6 kasus high profile.

Kasus itu diketahui bermula ketika dua orang bermotor menyiram wajah Novel Baswedan menggunakan air keras. Kejadian berlangsung sekira pukul 05.10, saat Novel pulang berjalan kaki usai salat subuh di Masjid Al-Ikhsan. 

4. Kasus penembakan Pendeta Yeremia di Papua melibatkan TGPF, 2020

Tim TGPF Intan Jaya saat melakukan investigasi lapangan (Dok.TGPF Intan Jaya)

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Penembakan Pendeta Yeremia Zanambani.

Pembentukan TGPF ini berdasarkan Keputusan Menko Polhukam Nomor 83 Tahun 2020 tentang Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kekerasan dan Penembakan di Kabupaten Intan Jaya yang ditandatangani Mahfud pada Kamis (1/10/2020).

Tak hanya itu, TPF ini juga dibentuk untuk menyelidiki kasus penembakan yang terjadi pada September 2020. Kasus tewasnya warga sipil bernama Badawi dan prajurit TNI Serka Sahlan pada Kamis (17/9/2020), serta kasus penembakan yang menewaskan prajurit TNI bernama Pratu Dwi Akbar.

Pratu Dwi Akbar tewas usai kontak tembak dengan kelompok sipil bersenjata pada Sabtu (19/9/2020). Ada 4 kasus yang diselidiki oleh tim ini.

Tim ini dibagi ke dalam dua kelompok, pertama tim pengarah yang diketuai langsung oleh Tri Soewandono yang merupakan Sekretaris Kemenko Polhukam. Kedua, ada tim lapangan yang diketuai oleh Benny Mamoto selaku Ketua Harian Kompolnas.

Setidaknya, ada lima temuan TGPF yang disampaikan Mahfud MD. Pertama, ada dugaan keterlibatan KKB membunuh 2 aparat dan 1 warga. Kedua, oknum aparat diduga terlibat pembunuhan Pendeta Yeremia. Ketiga, TGPF belum temukan saksi mata penembakan Pendeta Yeremia. Keempat, jenazah Pendeta Yeremia akan diautopsi di RS Independen. Dan kelima, alasan Pendeta Yeremia dikubur Minggu.

Pendeta Yeremia disebut tewas karena ditembak oknum TNI. Kabar itu, diklaim TNI, adalah upaya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) untuk mencari perhatian menjelang sidang utama PBB.

"Dan inilah yang saya khawatirkan bahwa rangkaian kejadian beberapa hari ini adalah rekayasa mereka, untuk kemudian diputarbalikkan bahwa TNI menembak pendeta. Harapan mereka, kejadian ini jadi bahan di Sidang Umum PBB. Saya tegaskan bahwa ini semua fitnah keji dari KKB," kata Kapen Kogabwilhan III, Kolonel Czi IGN Suriastawa, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (20/9/2020).

5. Kasus Brigadir J juga akan dibentuk tim khusus

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit akhirnya turun tangan dalam kasus baku tembak antara Brigadir J dengan Bharada E di rumah dinas Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo.

Sigit mengatakan, Polri akan membentuk tim khusus untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, atas kasus yang menewaskan ajudan Ferdy, Brigadir J.

“Saya telah membentuk tim khusus yang dipimpin Wakapolri, Irwasum, Kabareskrim, Kabin, ASDM, karena memang unsur tersebut harus kita libatkan, termasuk fungsi Provos,” kata Sigit di Mabes Polri, Selasa (12/7/2022).

Selain melibatkan internal Polri, Kapolri juga melibatkan Komisi Kepolisian Naional (Kompolnas) dan Komnas HAM.

Sigit menjelaskan, dirinya mendapatkan banyak informasi dan berita liar terkait isu-isu yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, ia berharap dengan tim khusus ini kasus menjadi terang benderang.

“Kami juga ingin peristiwa yang ada menjadi terang, oleh karena itu tim nanti akan dibentuk, sehingga rekomendasi dari tim gabungan eksternal dan internal yang kita bentuk ini jadi masukan yang akan digunakan, untuk menindaklanjuti terkait dengan hal-hal terkait yang bisa kita dapatkan untuk melengkapi proses penyelidikan dan penyidikan yang ada,” ujar Kapolri.

Sigit juga menyebut tak menutup kemungkinan tim khusus akan mengkaji kesaksian dan bukti dari keluarga korban.

Namun, Komnas HAM menolak bergabung di dalam Tim Khusus (Timsus) bentukan Kapolri, Jenderal Pol Listyo Sigit terkait kasus baku tembak ajudan Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo di Perumahan Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Meski bertugas sebagai pengawas Timsus, tetapi Komnas HAM memastikan akan tetap independen dalam mengusut peristiwa tersebut.

Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menegaskan, pihaknya akan tetap berada di luar Timsus yang dikomandoi oleh Wakapolri, Komjen Gatot Eddy Pramono itu.

“Komnas akan bekerja sendiri, tentu saja dengan SOP dan mekanisme yang ada di internal Komnas HAM. Jadi kami bukan bagian dari Tim Khusus atau tim gabungan,” kata Beka di Mabes Polri, Rabu (13/7/2022).

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rendra Saputra
EditorRendra Saputra
Follow Us