Tak Digaji, Kisah Perjuangan Ike Layani Pasien TBC Meski Dengan Satu Ginjal

- Ike Layani Pasien TBC dengan Tulus
- Tidak Ada Upah dari Pemerintah
- Tetap Layani Pasien TBC Usai Operasi
Jakarta, IDN Times - Pukul sebelas siang, matahari di Warakas terasa menyengat. Jalan gang sempit di Kelurahan Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, tampak lengang. Hanya suara knalpot motor yang sedikit berisik memecah keheningan siang itu, Senin ( 13/10/2025).
"Ayo mbak kita jemput pasien," ucap Ike Nimah pada IDN Times meminta untuk duduk di belakang di atas sepeda motor tuanya.
Di atas motor merah hitamnya, Ike Nimah melaju perlahan, menembus panas dan sempitnya gang, menuju rumah pasien TB yang sudah menunggunya. Dengan masker hijau menutupi wajah dan tas kain putih bergambar hati merah di bahunya, Ike tak pernah lelah menapaki jalan yang mungkin dihindari banyak orang.
“Jam segini panasnya luar biasa, tapi saya harus jalan. Ada pasien yang belum saya tengok dan ambil dahaknya,” ujarnya sambil menyeka keringat di dahi.
Ike berhenti di sebuah rumah bercat hijau. Sambil membawa selembar kertas di tangan berisi alamat pasien TBC. Nafasnya sedikit terengah, namun matanya tetap ramah di balik masker hijau yang menutupi wajahnya.
“Assalamualaikum, Bu…” sapanya lembut.
Seorang perempuan keluar, tampak kaget melihat kedatangannya. Ia tak menyangka rumahnya didatangi petugas kesehatan, padahal belum pernah melapor ke puskesmas.
“Iya, saya dapat datanya, Bu. Meski Ibu belum lapor, suaminya tercatat sebagai pasien TBC. Saya ke sini mau ambil dahak, ya. Di rumah ini ada berapa orang, Bu?” katanya pelan, menjaga agar suaranya tetap menenangkan.
Ike mengeluarkan lima toples kecil untuk diberikan pada perempuan tersebut dan meminta untuk memberikan dahaknya esok hari.
"Besok saya ambil ya Bu, mau dites semua," katanya.
1. Layani pasien TBC dengan tulus

Perjalanan Ike belum berakhir. Ia kembali menyalakan motornya dan menyusuri gang-gang sempit di Warakas, yang hanya cukup dilewati satu motor. Udara panas bercampur debu menyambutnya.
Sekitar 15 menit kemudian, Ike berhenti di depan sebuah rumah kecil dengan pintu terbuka setengah. Dari dalam terdengar suara batuk berat. Seorang pemuda yang tadinya tengah tiduran di ruang tamu kemudian duduk dengan tubuh tampak kurus, bahunya menurun, dan wajahnya pucat.
“Berat badan saya turun, Bu… dari 57 (kg) jadi 48 (kg). Dua bulan ini cepat banget turunnya,” ujar pemuda itu lirih sambil menahan batuk.
Ike menatapnya dengan iba, namun tetap tegas. Ia mengeluarkan buku catatan dari tas putihnya dan mencatat kondisi pasien itu.
“Kamu jangan lupa minum obat, ya. Harus tiap hari, nggak boleh putus. Kalau lupa, nanti kuman TBC-nya bisa kebal,” katanya pelan tapi mantap.
Ia kemudian mengingatkan hal-hal penting lain: makan makanan bergizi, cukup istirahat, dan selalu memakai masker agar tidak menulari orang lain. “Dan satu lagi, jangan merokok lagi. Rokok bikin paru-paru kamu makin rusak,” ujarnya.
Namun, di balik senyumnya yang sabar dan suaranya yang lembut, tersimpan perjuangan besar yang jarang terlihat. Selama puluhan tahun, Ike bekerja dengan satu ginjal dan tanpa gaji.
2. Tidak ada upah dari pemerintah

Meski jadi ujung tombak, kehadiran kader TBC seperti Ike sering kali tidak dianggap oleh pemerintah. Padahal, merekalah yang menjadi tangan pertama saat pasien membutuhkan pertolongan, saat obat harus diminum, dan saat harapan mulai pudar.
Ike merupakan satu dari puluhan kader TBC yang tidak lelah mengedukasi dan melayani pasien TBC. Selama 13 tahun, Ike mendampingi pasien TBC di wilayah Warakas, Jakarta Utara.
Mirisnya, kehadiran kader TBC nampaknya tidak dianggap oleh Pemerintah. Ike terkadang harus merogoh uang pribadi untuk operasional sehari-hari.
"Tidak ada gaji dari pemerintah atau setidaknya vitamin atau pendukung. Padahal kami merupakan garda terdepan dalam penanganan TBC," ucapnya.
Selama ini, Ike hanya mendapat bantuan operasional dari NGO (Non-Governmental Organization) sebesar Rp900 ribu per bulan. Jumlah yang jauh dari cukup dibanding risikonya.
"Namanya di jalan butuh bensin, makan, kadang ban bocor, beli susu, vitamin. Bahkan seringkali pasien TBC juga berutang karena mereka anggap kami seperti keluarga. Jadi ya kalau kami dampingi biasanya kami pakai uang transport kami sendiri. Bukan berarti kami banyak uang tapi kami merasa sudah panggilan dari hati," ucapnya lirih.
Namun, saat program berhenti maka dia tidak mendapatkan fee. Meski demikian, Ike masih melayani pasien TBC.
"Tetap jemput dahak bagi pasien, siapa yang mau periksa dahak tetap saya jemput. Saya antar ke Puskesmas. Saya tetap memberikan edukasi, memberikan penyuluhan, memberikan screening ke masyarakat tetap jalan terus setiap hari. Jadi nggak melihat ada apa tidak tapi saya mohon si pemerintah coba tengoklah kami," ucapnya.
3. Tetap layani pasien TBC usai operasi

Perjuangannya bukan tanpa pengorbanan. Di satu masa, tubuhnya sendiri nyaris tak sanggup berdiri. Ia baru saja menjalani operasi besar karena ginjalnya bermasalah. Namun, bahkan di tengah rasa sakit pada tubuhnya yang belum pulih, Ike tetap melangkah dengan selang yang membalut tubuhnya.
"Aku bawa-bawa selang ginjal itu, selang pasang masuk ke samping, nah itu cumanya jadi orang nggak ngeliat karena saya masuk ke dalam baju. Jadi nggak keliatan saya pakai selang ginjal. Ginjalku bermasalah, nah sekarang ginjalku udah diangkat, jadi tinggal satu ginjal saja. Tapi tetap semangat untuk pasien TBC itu, karena sudah panggilan hati saya, saya harus membantu pasien TBC," katanya
Bayangkan, seorang perempuan dengan tubuh rapuh, masih membawa wadah dahak dan data pasien, menembus gang-gang sempit demi memastikan pengobatan berjalan.
“Kader ini penyemangat bagi mereka. Mereka bilang senang kalau didatangi kader, karena ada teman ngobrol, teman curhat,” katanya.
Bagi banyak pasien, kehadiran Ike bukan sekadar pendamping medis. Ia adalah sosok yang memberi semangat di saat mereka kehilangan daya. Setiap sapaan, setiap kunjungan, menjadi pengingat bahwa mereka tidak sendirian.
Menurut Ike, tanpa kader TBC, banyak pasien yang bisa berhenti minum obat karena tidak ada yang mengingatkan secara langsung.
“Peran kader ini sebagai garda terdepan sudah sangat membantu pihak kesehatan, terutama puskesmas. Karena tidak semua puskesmas memiliki tenaga medis yang banyak untuk turun ke lapangan. Makanya dari puskesmas itu selalu minta bantuan ke kami,” jelasnya.
4. Ike berharap perhatian pemerintah

Ike tahu betul betapa besar tantangan penyakit ini. Indonesia menempati peringkat kedua dunia untuk jumlah kasus TBC setelah India. Setiap tahun, tercatat sekitar 1.090.000 kasus TBC dan lebih dari 125.000 kematian angka yang setara dengan hilangnya satu kota kecil setiap tahunnya.
“Kalau tidak ada kader TBC, kemungkinan kasus bisa meledak. Karena kasus TBC harus ditemukan. Kader TBC adalah ujung tombak penanggulangan. Kami tidak hanya menemukan kasus dan mendampingi pasien, tetapi juga memastikan pengobatan dijalani sampai tuntas,” tegasnya.
Menjadi kader TBC bagi Ike bukan sekadar pekerjaan, melainkan jalan hidup. Meski tubuhnya kini bertahan dengan satu ginjal, semangatnya tak pernah berkurang. Ia percaya, setiap langkah yang diambil, setiap pasien yang disemangati, adalah bagian dari panggilan hati yang suci.
“Saya harus tetap berjuang untuk orang-orang di bawah. Walaupun saya tidak mendapatkan apresiasi dari pemerintah, tapi saya yakin ada tangan-tangan dari Allah,” ucapnya lirih, sambil menatap ke arah motor tuanya yang setia menemaninya selama bertahun-tahun.
Meski bekerja tanpa kepastian, Ike hanya berharap satu hal: perhatian.
“Kepada pemerintah, baik presiden, gubernur, wakil gubernur, semua tolonglah. Kami, kader TBC ini, biar ada reward sekadar susu atau vitamin untuk kami yang tiap hari berhadapan dengan pasien TBC,” pintanya.
Suara mesin motor Ike mungkin bising dan sudah renta, namun setiap kali suaranya terdengar di gang Warakas, warga tahu ada harapan yang datang dari perempuan dengan satu ginjal.