Tangis Gubernur Mualem saat Sebut 4 Kampung Aceh Hilang Akibat Banjir

- Masih banyak daerah di Aceh yang terisolir
- Warga mengalami kesulitan mendapatkan bahan bakar dan listrik
- Aktivis Aceh kecewa masih ada pejabat nirempati di tengah bencana
- Pemerintah dinilai gagap menghadapi bencana
Jakarta, IDN Times - Tangis Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem pecah pada Sabtu, 29 November 2025 ketika memberikan gambaran terkini terkait penanganan banjir dan longsor yang menghantam Aceh.
Ia menyebut banjir dan longsor di Aceh yang terjadi pada pekan lalu ibarat tsunami kedua hingga menghilangkan beberapa kampung. Sebagian besar kondisi Aceh, kata Mualem, dalam kondisi porak-poranda.
Ia mengatakan ada sekitar empat kampung yang hilang usai disapu banjir bandang hingga longsor. Keempat kampung yang hilang yakni daerah Sawang, Jambo Aye di Aceh Utara, hingga kampung di Kawasan Peusangan, Bireun.
"Ada beberapa kampung hilang entah ke mana, yaitu Sawang, Jambo Aye di Aceh Utara, Peusangan di Bireuen. Malam itu empat kampung juga gak tau entah ke mana. Jadi, Aceh sekarang seperti tsunami kedua," ujar Mualem seperti dikutip dari keterangan video, Selasa (2/12/2025).
Ia juga menyampaikan saat ini tugasnya memastikan penanganan bencana banjir dan longsor yang melanda 18 kabupaten atau kota di Aceh, harus dilakukan secara cepat, terukur dan tanpa jeda.
Pembukaan akses darat yang cepat, katanya, harus menjadi prioritas utama, sehingga logistik bisa menjangkau masyarakat. Terutama di desa-desa yang masih terisolasi.
"Jadi, tugas kami adalah untuk melayani mereka-mereka yang terdampak dan menjadi korban," katanya.
1. Masih banyak area di Aceh yang terisolir

Sementara, berdasarkan informasi dari Direktur Eksekutif dari Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh, Farwiza Farhan kondisi di Aceh hingga Senin, 1 Desember 2025 masih kacau. Sebab, masih banyak area yang komunikasinya terputus dan terisolir.
"Jaringan komunikasi di Aceh masih sangat terhambat. Ada beberapa upaya untuk mengirimkan Starlink tapi Starlink kan membutuhkan daya. Sementara, listriknya kan masih belum sepenuhnya tersambung," ujar Farwiza ketika berbincang dengan IDN Times melalui telepon pada Senin kemarin.
Selain itu, warga yang mengandalkan genset untuk mendapat aliran listrik mulai kehabisan minyak. "Jadi, kondisi masih amat sangat darurat," tutur dia.
Ia mengatakan posisinya saat ini berada di Banda Aceh dan minim dari dampak banjir. Namun, kondisi keluarganya yang ada Leuseur tidak dalam keadaan baik.
Waga pun terancam akan kesulitan mendapatkan BBM sebab pasokan dari Medan tidak bisa disalurkan ke Aceh lantaran akses jalan darat masih terputus.
2. Aktivis Aceh kecewa masih ada pejabat nirempati di tengah bencana

Sementara, Farwiza memprediksi jumlah korban meninggal dunia masih akan terus bertambah. Data dari Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana (BNPB) per Senin kemarin menunjukkan sudah ada 96 warga yang ditemukan meninggal dunia.
"Pertama pendataan yang dilakukan oleh pemerintah mungkin tidak lengkap. Kedua, sudah banyak masyarakat yang kelaparan. Saat ini sudah mulai pukul-pukulan untuk (mendapat) BBM dan beras. Kondisi semakin hari semakin parah," kata perempuan yang masuk ke dalam jajaran Time's Time 100 pada 2022 lalu.
Namun, ia mengaku kecewa terhadap penanganan dari pemerintah pusat. Sebab, penanganan banjir dan longsor di Aceh seperti tidak serius. Hal itu ditandai dengan adanya komentar nyeleneh yang dilontarkan oleh sejumlah pejabat tinggi di Jakarta.
"Mulai dari komentar Kepala BNPB yang mengatakan situasi mencekam hanya terlihat di media sosial atau dari Kementerian Kehutanan, itu komentar yang nirempati. Sejujurnya saya sangat kesulitan untuk berpikir jernih karena teman-teman di lapangan ada yang sudah terisolir selama enam atau tujuh hari, kami kesulitan untuk menghubungi mereka," tutur dia.
Ia mengatakan ada koleganya yang harus berjalan kaki dari Linge, Dataran Tinggi Gayo, Aceh ke Takengon selama 3 hari 2 malam. Itu semua dilakukan tanpa perbekalan dan perlindungan.
"Di malam hari mereka beristirahat di bawah pohon sambil mendengar gunung bergerak. Rasanya mengerikan sekali. Saya hanya bisa membayangkan seperti apa perjalanan tersebut," katanya.
3. Pemerintah dinilai gagap menghadapi bencana

Farwiza juga menyentil pemerintah yang masih gagap dalam menghadapi bencana. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara yang rawan terhadap bencana. Dalam pandangannya, bencana yang akan datang sudah bisa diprediksi oleh pemerintah dan dilakukan mitigasi.
"Siklon itu salah satu bencana yang dapat kita perhitungkan. Tapi, bagaimana mungkin kita seenggak siap ini," kata Farwiza.
Ketika ditanyakan apa faktor yang menyebabkan banjir yang melanda Aceh kali ini begitu dahsyat, Farwiza menyebut benang merahnya ada di kombinasi kerusakan hutan yang semakin parah dan sikap pemerintah yang tidak sigap dalam menghadapi bencana.
"Mungkin lebih mudah menyalahkan curah hujan yang tidak biasa. Tapi, curah hujan yang tidak biasa ketemu dengan kerusakan hutan yang sudah sangat parah sehingga resilience tanah berkurang jauh lalu bertemu dengan sistem pemerintahan yang tidak siap dalam mengelola bencana, sehingga dampaknya bisa separah ini," tutur dia.


















